Arum menceritakan seluruh hal yang telah terjadi di dalam panti asuhan selama ini. Tentang bagaimana "hukuman" yang seringkali diberikan oleh Bude Mirah kepada para penghuni panti termasuk Arum. Tetapi sebelumnya, Arum meminta Galih untuk berjanji agar tidak melakukan tindakan impulsif yang akan berdampak pada panti asuhan, terutama yang berpengaruh kepada Eyang. Arum terlalu banyak berhutang budi kepada wanita tua itu.
"Tapi Rum, apa eyang tidak tahu?" Galih masih dipeluk perasaan terkejutnya. Atau mungkin justru ini sebuah kekesalan dan kekecewaan karena melihat Arum diperlakukan sedemikian buruknya.
"Tidak pasti. Tapi kebanyakan, bude Mirah melakukan itu ketika Eyang berada di teras rumah atau kamar. Pendengaran beliau kurang berfungsi dengan baik. Tidak ada seorang pun dari kami yang berani mengadu." jelas Arum yang berusaha membuat Galih memahami situasi tersebut.
Arum hanya memikirkan anak-anak panti. Bagaimana nasib mereka. Tetapi untuk mengungkap fakta ini rasanya juga butuh waktu. Sedangkan dirinya sendiri seperti tidak punya kendali penuh atas hal itu.
"Rum, untuk masa recovery kamu tinggal di rumah nenekku saja, ya .." tawar Galih langsung, tidak ada hal yang perlu dipertimbangkan lagi. Terlebih ketika mengetahui bahwa berada di panti hanya akan membuat kondisi Arum menjadi semakin buruk saja.
"Tapi bagaimana dengan, Eyang?" maksud dari pertanyaan Arum adalah apakah Eyang telah memberikan Galih ijin tentang hal ini.
Lelaki itu mengangguk. Seperti sudah dengan gamblang membaca pikiran Arum.
"Cepat atau lambat aku juga akan mengurus nasib anak-anak lain yang ada di panti, Rum." Galih telah mengambil jeda untuk berpikir cara apa yang bisa digunakan untuk mengambil tindakan mengenai hal ini. Sedangkan hanya seminggu lebih dua atau tiga hari lagi dia sudah harus kembali ke Jerman.
...•••...
Arum dua hari stay di rumah sakit, tentunya bersama dengan Galih. Eyang sempat melakukan panggilan video call melalui ponsel Amir yang dihubungkan ke ponsel Galih. Wanita sepuh itu terlihat lebih segar, sedikit lebih segar dari sebelumnya. Mungkin saja karena merasa lega setelah mengetahui bahwa kondisi Arum baik-baik saja.
Saat ini Arum sedang berada di dalam sebuah mobil bersama Galih yang sedang duduk di bangku kemudi. Keduanya hendak menuju rumah eyang. Tadi, Galih lah yang menggendong Arum masuk ke dalam mobil setelah selesai mengurus segala administrasi rumah sakit.
"Rasanya kayak gendong bayi, Rum." kekeh Galih berusaha menggoda Arum yang asyik menikmati perjalanan kota yang cukup ramai.
Gadis itu tersenyum sambil memicingkan sedikit matanya pertanda tidak setuju dengan perkataan Galih. Dirinya memang kecil. Tapi tidak seringan bayi juga.
"Di rumah nenek kamu makan yang banyak loh, ya." Galih sedikit membanting stir untuk berbelok ke arah sebuah gang. Sebentar lagi mereka akan sampai.
"Aku juga akan berusaha untuk tidak diam saja." sahut Arum yang mulai memikirkan tentang pekerjaan rumah tangga seperti apa yang akan menjadi tanggung jawabnya nanti selama menumpang hidup di rumah nenek Galih.
"Tidak perlu, dan kira sudah sampai. Kamu diam saja. Nanti aku gendong lagi."
Pagar sudah terbuka ketika Galih tiba di rumah yang cukup besar itu. Dia sudah berpesan kepada bibi sebelumnya. Sebenarnya keluarga ini punya seorang security yang berjaga dibalik pagar setiap hari. Tapi hari ini, pria itu terpaksa mengambil cuti untuk menghadiri acara keluarga.
Seorang wanita tua yang hampir sebaya dengan Eyang tampak sedang duduk di atas kursi roda. Di belakangnya, seorang wanita paruh baya terlihat tersenyum cerah melihat kedatangan Galih.
"Di mana gadisnya? Biar bibi bantu." wanita itu agak berteriak karena jaraknya yang memang agak jauh.
"Tidak perlu, Bi. Biar Galih saja." balas Galih sembari membuka pintu dan dengan hati-hati menggendong Arum keluar dari mobil itu. Gadis itu tampak malu-malu, atau mungkin merasa tak enak hati. Dia beberapa kali tampak memejamkan mata. Entah menahan nyeri atau memang sedang menyembunyikan binar merah muda di pipinya.
Nenek tetap duduk tenang diatas kursi roda dengan kedua tangan yang diletakkan diatas pangkuan, begitu anggun. Senyumnya menyambut kedatangan si cucu kesayangan sekaligus Arum. Sebelumnya, Galih juga berpesan kepada nenek agar tidak mengatakan tentang kepulangannya kepada orang tuanya. Nenek juga tidak curiga tentang siapa gadis belia yang dibawa cucunya ini karena Galih berjanji akan menjelaskannya suatu hari nanti.
Ada sekitar lima kamar di rumah nenek. Bibi sudah menyiapkan satu untuk Arum. Galih membawanya ke ruangan itu.
"Arum minta maaf ya, Kak Galih." ucap Arum ketika Galih baru meletakkannya di atas pembaringan yang cukup mewah.
"Untuk apa? Bahkan kamu tidak lebih berat dari galon." goda Galih lagi-lagi. Tetapi kali ini Arum tidak sempat bersungut-sungut karena tiba-tiba nenek dan bibi datang.
"Selamat datang ya, Nak Arum. Semoga kamu betah di rumah ini." sambutan nenek yang terdengar begitu ramah. Galih sudah memberitahu nama Arum ke nenek dan juga bibi pagi tadi ketika meminta bantuan untuk menyiapkan sebuah kamar.
"Kalau butuh apa-apa jangan sungkan untuk meminta tolong ke bibi, ya .." timpal bibi yang juga menyodorkan senyumnya kepada Arum.
"Terimakasih sekali. Arum bersyukur bisa diterima di sini dengan baik."
Nenek tidak punya cucu perempuan. Keempat cucunya laki-laki, dan yang stay di Indonesia hanyalah Galih. Ketiga yang lain berada di Canada. Berkarir di sana, mendapatkan pasangan di sana. Karena itulah Galih menjadi cucu yang paling dekat, yang paling kesayangan. Dan kehadiran Arum seperti membuat harapan hening nenek terkabul, tentang memiliki seorang cucu perempuan.
Semuanya mengobrol setidaknya hingga hampir tiga puluh menit lamanya. Kemudian nenek dan bibi berpamitan dengan dalih memberikan kesempatan kepada Arum untuk beristirahat terlebih dahulu. Jadi, kini tinggallah Arum dan Galih di ruangan tersebut.
"Kak, kenapa sih selalu pakai masker?" tanya Arum hati-hati. Karena pada dugaannya, gadis itu berpikir mungkin saja Galih punya bagian dari wajahnya yang membuatnya tidak percaya diri jika tanpa masker.
Galih terhenyak, tidak mengira jika Arum memperhatikan tentang ini. Apa sebaiknya dia jujur saya sebelum kembali ke Jerman. Tapi ini juga akan sangat beresiko.
"Karena kalau aku buka masker ini kemungkinan kamu tidak akan bersedia di sini bersamaku lagi." jawab Galih seperti melempar teka-teki.
"Memangnya kenapa, Kak?"
"Kamu beneran mau tahu?"
Arum mengangguk, matanya tidak beralih menatap wajah Galih yang sepertinya terlihat sangat tampan.
-
-
-
Ahhh after a week, akhirnya aku ke sini lagi🌚🌚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments