Arum berjalan terseok-seok sambil menyeret tas berisi pakaian yang dilemparkan ibunya menuju ke sebuah toko tutup yang memiliki emperan di depannya. Dengan mata yang masih basah, dia mencoba menilik apa saja yang ada di dalam tas itu. Dan ternyata tidak hanya ada beberapa pakaian, tapi juga ada satu bungkus biskuit rasa kelapa yang sudah berkurang satu deret. Ujungnya dilipat dan diikat dengan karet gelang. Selain itu juga ada satu botol air dengan sebuah catatan yang ditempel pada bagian tutupnya.
"Rum, jaga diri baik-baik. Aku menyayangimu, tapi maaf aku tidak bisa membantumu. Semoga suatu hari takdir mempertemukan kita kembali."
Arum memeluk catatan tersebut. Dia tahu, itu adalah tulisan tangan Paramitha. Kakak terbaiknya. Hati perempuan itu selembut sutra. Tutur katanya tidak pernah menyakitkan. Arum hanya berharap jika keluarganya tidak akan menyentuh dan memperlakukan Paramitha sebagaimana dia diperlakukan.
Malam sangat gelap gulita, mungkin sebentar lagi subuh dan fajar akan datang. Tapi kantuk bergelayut dimata sembab gadis itu. Maka setelah memakan beberapa keping biskuit dan meneguk setengah botol air karena kelaparan, Arum meringkukan tubuhnya, mengganjal kepalanya dengan bantal, kemudian tertidur pulas di tempat itu.
Ketika pagi tiba, Arum terkejut setelah dibangunkan oleh seorang wanita paruh baya yang berjongkok di hadapannya. Wanita itu membangunkan Arum dengan lembut sembari menepuk pelan tubuhnya.
"Dik, apakah kamu baik-baik saja?" tanyanya hangat setelah melihat Arum membuka mata dan berusaha untuk duduk. Ternyata wanita itu adalah pemilik toko. Jika dilihat dari nama tokonya, mungkin saja wanita itu bernama Murni.
"Ibu buka dulu ya tokonya, nanti kamu cerita di dalam." Arum mengangguk dan kemudian berpindah tempat untuk memberikan akses kepada ibu tersebut untuk membuka tokonya.
...°°°...
"Ini seperti tidak manusia, Dik." ucap wanita yang benar saja bernama Murni itu setelah mendengar seluruh cerita yang disampaikan oleh Arum.
Gadis itu sudah berganti pakaian. Sudah terlihat segar juga setelah mandi di toilet kecil yang berada di dalam toko Bu Murni. Arum juga sudah dibuatkan mie instan dan susu hangat untuk mengganjal perutnya.
"Seharusnya Dik Arum berada dalam lindungan keluarga, tidak dibuang seperti ini." Mata Bu Murni mulai berkaca-kaca. Dia beberapa kali memberikan pelukan kepada Arum.
"Tapi Dik Arum, ibu benar-benar tidak bisa memberikan bantuan banyak. Tapi ibu cuma punya satu cara."
"Apa, Bu?" tanya Arum, setelah menelan dengan pelan mie instan di mulutnya.
"Dik Arum tinggal di panti asuhan, satu jam perjalanan dari sini. Sore nanti biar ibu antar ke sana, ibu yang bicara. Tapi apakah Dik Arum bersedia?"
Karena tidak punya pilihan lain, dan pikirannya sedang buntu, maka dengan gampang Arum mengiyakan tawaran dari Bu Murni.
Sore harinya, bersama keluarga Bu Murni yang memiliki empat orang anak yang masih kecil-kecil, wanita itu mengantarkan Arum menuju ke panti asuhan. Dia mengemudikan mobilnya sendiri dengan Arum yang duduk di bangku sebelahnya.
Bu Murni bercerita, jika suaminya sedang sakit keras dan dia juga sekaligus harus mengurus orangtuanya yang sudah sepuh di rumah yang sama. Karena itulah Bu Murni tidak bisa memberikan banyak bantuan selain mengantarkan Arum ke sebuah panti asuhan untuk mendapatkan tempat tinggal.
"Kalian tunggu di dalam ya, ibu mau mengantarkan Mbak Arum ke dalam." Pesan Bu Murni kepada anak-anaknya setelah memarkirkan mobil di halaman kecil sebuah rumah sederhana dengan papan kayu sederhana bertuliskan "Panti Asuhan Sumber Kasih".
"Assalamualaikum .." ucap Bu Murni sembari memencet bel yang berada di dekat pintu.
"Assalamualaikum .." ulangnya, yang kemudian seorang wanita berumur sekitar enam puluh tahunan membukakan pintu, mempersilakan masuk.
Bu Murni membantu Arum untuk menceritakan keseluruhan hal yang terjadi kepada wanita pemilik panti yang biasa dipanggil Eyang itu.
"Sebenarnya bisa. Kami bisa menampung. Hanya saja Arum perlu membantu kami di sini. Ada delapan orang anak di sini, yang paling kecil tiga tahun, dan yang paling besar delapan tahun. Sedangkan penjaga di sini hanya ada saya dan adik saya yang juga tidak muda lagi, namanya Mirah. Anak-anak memanggilnya Bude Mirah. Mulai kerja di sini setelah suaminya meninggal dan ketiga anaknya merantau semua. Sedangkan saya tidak punya siapa-siapa. Tidak menikah dan tidak punya anak." Jelas Eyang yang terlihat tegas dan karismatik meskipun di usia tuanya.
"Bagaimana, Rum?" tanya Bu Murni.
"Saya sanggup, Bu."
Maka sejak sore itu, Arum mulai tinggal di panti asuhan itu. Tidak ada kamar untuknya. Dia tidur di ruangan yang cukup besar, dengan kasur lantai bersama anak-anak panti yang mungkin Arum harus menganggap mereka seperti adik-adiknya sendiri.
"Arum, kita tidak punya cukup donatur untuk menunjang biaya pendidikan anak-anak di sini. Jadi untuk kamu, tidak ada kesempatan untuk melanjutkan pendidikan." Malam itu, Eyang mengundang Arum untuk datang ke kamarnya yang cukup besar dengan berbagai ornamen klasik di dalamnya.
"Tugasmu tergantung Bude Mirah. Tentang bagian mana yang harus dikerjakan." tambahnya kemudian.
"Rum, bude Mirah itu galak dan omongannya pedas. Kehidupan menempanya seperti itu. Jadi mengerti dan berhati-hatilah." pesan Eyang ketika Arum hendak keluar dari pintu untuk meninggalkan kamar tersebut.
-
-
Bakalan update secepatnya untuk cerita ini, semoga kalian bisa menikmati dengan baik, dan terimakasih untuk orang-orang yang sudah menyisihkan waktu untuk mampir ke sini. *Love u all***😍😍**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments
Rasya Fay
Sedih ya,, ya Allah aku jauh lebih beruntung dr Arum
ini novel kan,, semoga hnya novel aj lah
2024-08-01
0
Mariam R RIa
Mampir Akunya Thor
2023-08-22
2
Patrish
😭😭😭😭
2023-08-21
0