"Eyang, jangan memikirkan ini sendirian. Saya bisa membantu." Galih sebenarnya ragu-ragu mengatakan ini kepada Eyang. Disentuhnya pelan-pelan lengan wanita sepuh tersebut. Galih takut jikalau kepeduliannya kepada Arum yang terlihat sangat impulsif akan membuatnya dicurigai.
"Nak Galih, Eyang hanya tidak bisa jika menjaga Arum di kota. Tidak akan juga meminta Bude Mirah untuk melakukan ini. Walaupun belum ada satu tahun menjadi penghuni panti asuhan tapi Arum itu anak baik, cucuku. Walaupun saya kadang juga ketus dan galak." Eyang sama sekali tidak menyembunyikan kecemasannya. Dokter memang sedang memberi waktu keduanya untuk berdiskusi sebelum mencapai keputusan. Tapi beliau berpesan agar secepatnya karena ini akan memengaruhi kondisi Arum.
"Jika eyang percaya kepada Galih, jangan khawatir tentang ini. Serahkan semuanya kepada Galih."
Eyang terdiam, kini beliau sedang berada pada titik kebimbangannya. Galih adalah sosok baik yang baru muncul dan belum genap seminggu dikenalnya. Sempat juga hal ini membuat Eyang bertanya-tanya tentang apa sebenarnya tujuan dari lelaki itu. Tetapi Galih adalah teman Amir, seseorang yang begitu sangat membantu sejak pertama kali Arum terkena musibah di panti asuhan. Jadi, percaya kepada Galih sama halnya percaya kepada Amir.
"Tapi Eyang punya sesuatu lain untuk dibicarakan." Eyang beberapa kali terlihat memijat punggung tangannya sendiri untuk berusaha menghilangkan kecemasan.
"Katakan saja, Eyang .." Galih membalasnya dengan tatapan lembut, dia ingin memberikan ketenangan di momen itu supaya Eyang bisa menyampaikan sesuatu tanpa beban.
"Saya tahu ini akan menjadi tindakan besar dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tabungan saya untuk kebutuhan panti asuhan sudah menipis dan uang panen pun sudah digunakan semua. Jika nanti uang saya tidak cukup untuk seluruh biaya Arum, apakah saya boleh meminjam Nak Galih dulu?" Eyang tidak berani menatap wajah Galih. Dia sebenarnya malu. Seumur hidupnya dia tidak pernah melakukan pembicaraan tentang hal ini kepada orang lain, bahkan bisa dikatakan bahwa Galih adalah orang asing baginya.
"Eyang jangan khawatir. Di kota nanti, setelah mengetahui prosedurnya, Galih akan membantu Arum untuk mendapatkan asuransi kesehatan yang mana nanti lima puluh persen biaya perawatan dan tindakan akan ditanggung. Sisanya, serahkan kepada Galih." Galih menyematkan senyum tipis di akhir kalimatnya walaupun dia tidak yakin jika Eyang bisa menangkap itu.
"Saya akan selalu mendapatkan kabar tentang Arum, kan?" Eyang sudah berani mengangkat wajahnya ketika melontarkan pertanyaan ini kepada Galih.
"Pasti. Melalui Amir. Jadi sama seperti yang sudah Galih sampaikan beberapa hari yang lalu. Kebetulan juga rumah sakit yang dirujuk oleh dokter berada di kota yang sama dengan tempat nenek Galih tinggal. Jadi ini akan mempermudah kita. Ketika Galih harus kembali ke Jerman dan perawatan Arum belum selesai, Galih akan meminta seseorang untuk menjaga dan merawat Arum." jelas Galih dengan penjelasan sebaik mungkin agar Eyang lebih mudah memahaminya.
...•••...
Eyang dan Galih sudah mencapai kesepakatan. Karena itulah saat ini dengan menggunakan mobil ambulance, mereka dirujuk ke kota. Mereka pergi tanpa Eyang. Hanya bertiga, Galih, Arum, dan Amir. Gadis itu masih dalam pengaruh obat, karenanya dia masih tertidur. Amir berada di depan bersama sopir dan Galih menjaga di sebelah Arum bersama seorang perawat.
Sebelum berangkat, Eyang sudah berpesan dan menyerahkan seluruh tanggung jawab kepada Galih. Jadi tentang bagaimanapun tindakan terbaik yang harus dilakukan di sana nanti, Galih berhak untuk mengambil keputusan itu.
Perjalanan ke kota memakan waktu beberapa jam. Mereka bisa sampai lebih cepat karena menggunakan mobil ambulance. Arum sudah terbangun sekitar tiga puluh menit sebelum sampai ke tujuan. Tapi diantara dia dan Galih, tidak ada sepatah kata. Galih tetap menatap dan Arum mengintip mata pria bermasker itu.
Kedatangan mereka disambut oleh perawat. Arum sempat meringis kesakitan tatkala tubuhnya dibopong untuk dipindahkan.
"Arum, kamu pasti bisa." ucap Galih sebelum gadis itu menjauh dari pandangannya, memasuki sebuah ruangan dengan dibantu oleh seorang dokter dan dua orang perawat.
Lagi-lagi Galih dan Amir harus menunggu, menunggu dalam kecemasan.
"Mir, firasatku tidak enak, deh." Amir baru kembali dari toilet dan duduk disebelah Galih.
"Kenapa, Lih?"
"Penangananya sudah terlambat, Mir. Sebenarnya aku rasanya pengen banget marah sama seseorang yang dimaksud Eyang tadi, dia kejam, nyuruh Arum buat tetap ngelakuin ini itu, padahal dia harus benar-benar istirahat. Tapi di sisi lain aku juga tidak punya hak." Galih hampir saja keceplosan untuk mengatakan bahwa dia yang menyebabkan Arum harus menanggung seluruh penderitaan ini. Tapi beruntunglah dia masih punya kendali.
"Maksudmu Bude Mirah, Lih. Dia memang galak. Bahkan di depan publik pun dia tidak menutupi hal-hal seperti ini."
"Iya Mir, siapapun namanya. Seharusnya dia sedikit punya hati saat memperlakukan Arum yang sedang sakit." Galih menyandarkan tubuhnya pada bangku tunggu sambil menarik napas panjang.
...•••...
Galih dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter ketika hari menjelang malam. Seluruh pemeriksaan baru saja dilakukan, dan prasangka Galih sepertinya benar-benar tidak meleset.
"Kami sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Mempertimbangkan seluruh keputusan, tapi tidak ada jalan lain untuk melakukan pertolongan kepada pasien Arum."
Galih mengambil jeda, melemparkan seluruh pandangannya pada ruangan dokter yang didominasi warna putih itu. Walaupun dia belum tahu dengan jelas tindakan apa yang akan dilakukan untuk Arum.
"Kerusakan pada rahimnya cukup parah, tindakan satu-satunya adalah hysterectomy."
"Pe..pengangkatan rahim?"
-
-
-
Holaaa, gimana nih??
Makin seru??😅😅
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments