Ternyata Aku Yang Kedua
Brum ... Brum ....
Suara kenalpot motor yang begitu nyaring, dengan sengaja Adel membunyikannya. Karena dirinya sangat bahagia bisa memenangkan lomba balap motor kembali.
“Adel! Adel!” teriak Dina.
Dina kesal karena Adel tak mendengarkan teriakannya.
Plak!
Pukulan mendarat di bahu Adel, membuatnya mengaduh kesakitan.
Dina adalah sahabat dekat Adel, mereka bisa di bilang anak jalanan. Karena hampir tiap malam Minggu mereka selalu mengadakan balap motor, tak jarang Adel yang selalu memenangkan lomba tersebut.
“Aw ... kenapa sih?!” protesnya sembari mengelus bahunya yang terasa sakit.
“Apa kamu melihat ini sudah jam berapa? Orang tuamu akan marah jika mengetahui kamu pulang pagi!” ucapnya mengingatkan sahabatnya tersebut.
Karena jika ayahnya mengetahui, kemungkinan besar Adel tidak di perbolehkan untuk keluar rumah.
“Astaga! Ayo cepat naik, kita pulang sekarang.”
Dina mengangguk.
Setelah memastikan Dina duduk dengan benar, Adel langsung melajukan motornya dengan kecepatan cukup tinggi. Karena jalanan sudah sepi, sehingga tak ada kendaraan lain yang menghalangi jalannya.
“Sialan! Kenapa dia lagi yang menang? Aku penasaran dengan wanita itu!” tutur salah satu wanita yang juga ikut dalam perlombaan tersebut.
“Ck ... jangan kamu usik dia. Adel adalah anak orang terkaya di kota ini, hanya saja orang tuanya tak mengetahui kelakuannya,” sahut salah satu pria yang cukup dekat dengan Adel, sedikit banyak ia mengetahui tentang Adel.
Wanita tersebut tampak menyeringai licik.
Setelah mengantar sahabatnya Dina ke tempat kosnya, Adel langsung pulang ke rumahnya.
Ia terlihat terburu-buru karena melirik jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi, sebelumnya dirinya tak pernah pulang terlambat seperti saat ini.
Karena orang tuanya memang tak mengetahui kepergiannya, setiap malam Minggu dirinya selalu menyelinap pergi keluar rumah.
Adel perlahan membuka pintu rumah, dengan berjalan tanpa menggunakan alas kaki.
Tek ....
Suara saklar lampu, yang semula gelap kini terang benderang di ruang tamu tersebut.
Langkah kaki semula pelan hendak menaiki tangga, kini langsung berhenti bahkan tertekun melihat ruang tamu tersebut menjadi sangat terang.
Helaan napas yang mulai tak beraturan, wajah terlihat sangat pucat pasi.
“Jam berapa ini?!” tanya seseorang dengan suara sangat lantang, bahkan terdengar sangat menakutkan.
Adel yang semula mematung, kini menoleh ke sumber suara.
“Pa—pa,” gumamnya dengan suara sangat pelan.
“Papa memberimu kebebasan, bukan berarti kamu seenaknya!” serunya lagi.
Adel menghela napas panjang, kali ini ia pasrah. Karena, sudah berulang kali dirinya ketahuan selalu pulang larut malam.
Melihat dari raut wajah papanya, dirinya kali ini tidak akan di ampuni.
“Sekarang kembali ke kamarmu!”
Sambil menelan Saliva dengan kasar, Adel mengangguk sembari melihat punggung papanya yang terlihat menjauh masuk ke dalam kamarnya.
“Mati aku,” gumam Adel dalam hati.
Karena tak ingin membuat papanya semakin marah, Adel segera beranjak dari tempat dirinya berdiri.
***
Waktu begitu cepat berlalu, Adel menggeliat di balik selimut.
Terpaan angin segar di pagi hari, membuatnya terbangun.
“Sudah bangun?” sapa sang mama yang baru saja masuk.
“Hm ...” deham Adel dengan suara seraknya.
“Segarkan tubuhmu, Papa sudah menunggu di meja makan.” Berbicara tanpa menatap putrinya tersebut, sembari melangkah.
Seketika Adel tersentak, ia baru mengingat sesuatu. Lagi-lagi dirinya membuat napas kasar.
“Ada apa? Apa kamu melakukan sesuatu yang membuat Papamu murka? Mama melihat raut wajah yang tidak biasa pagi ini,” tanya Mamanya menatap putrinya yang tampak terdiam.
“Adel, Mama sedang bicara padamu.”
Tampak Adel langsung tersadar, lalu perlahan mengangguk.
“Huh ... kali ini Mama tidak bisa bantu, selesaikan urusanmu pada Papa. Kamu bukan anak kecil lagi!” serunya, meninggalkan kamar Adel.
Adel hanya bisa pasrah dan menerima keadaan saat ini.
Beberapa menit kemudian.
Adel tampak menuruni tangga, terlihat kedua orang tuanya tengah sarapan bersama.
Sebelum tiba di anak tangga terakhir, Adel kembali menghela napas kasar apalagi tak melihat kakaknya di meja makan.
Kali ini keberuntungan tak berpihak kepadanya.
“Pagi,” sapa Adel berusaha tetap santai.
“Hm,” deham papanya.
“Kakak sudah berangkat?” tanya Adel sembari mengambil sepotong roti.
“Sudah, hari ini Kakakmu berangkat pagi,” sahut mamanya sambil mengunyah makanan.
Adel tampak menghela napas lega, karena sang papa tampak biasa saja.
Ia sangat berharap jika sang papa melupakan kejadian subuh tadi.
Di meja makan kembali hening, tampak Adel sangat bersemangat mengunyah makannya. Sesekali sang papa melirik putrinya yang tampak baik-baik saja tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Tampak Pak Darwin, lebih dulu menyelesaikan sarapannya lalu hendak beranjak dari tempat duduk.
“Persiapan dirimu nanti malam, Papa tidak mau dibantah. Jika membantah, itu artinya bersedia angkat kaki dari rumah ini dan tidak mendapatkan apapun!” tegasnya.
“Calon suamimu akan datang nanti malam dan kalian akan langsung bertunangan. Seminggu lagi, kalian akan menggelar resepsi pernikahan!” tambah dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Adel yang semula bersemangat, kini langsung tertekun. Ia hanya menatap kepergian Papanya, bahkan selera makannya kini langsung menghilang.
Ternyata, sangat salah besar dirinya berpikir jika sang papa melupakan hukumannya.
Adel memelas melihat sang mama yang hanya mengangkat kedua bahunya.
“Mama tidak bisa membantah,” ucapnya membuat Adel semakin lemas.
Adel beranjak dari tempat duduknya sedikit kasar, ia setengah berlari menaiki tangga.
Tidak ada yang berani membantah ucapan pak Darwin, selaku kepala keluarga dan Ayah sekaligus suami. Karena, apapun yang di ucapkan oleh pak Darwin. Hanya Adel yang sedikit keras kepala dan sering membantah kepada kedua orang tuanya.
Malam hari.
Semua ucapan pak Darwin pagi tadi memang kenyataan, ia datang bersama pria yang sudah berpakaian rapi keluar dari mobil pak Darwin.
Adel menyipitkan kelopak matanya, mengintip dari jendela ketika mendengar suara deru mesin mobil pak Darwin.
“Pria itu? Tidak mungkin! Pasti dia hanya datang bertamu,” gumam Adel sangat mengenali pria tersebut.
Ceklek ...
Pintu kamar terbuka lebar.
“Adel, apa yang kamu lakukan? Apa kamu berniat bunuh diri?” tanya Mamanya sembari bergurau, karena ia sangat tahu jika putrinya tak mungkin melakukan itu.
“Hah, tidak Ma.” Dengan raut wajah tersenyum paksa.
Disaat genting seperti ini, mamanya masih melontarkan candaan terhadapnya
“Cepat turun, Papa sudah menunggu di bawah.”
Deg!
Perasaan Adel saat ini mulai campur aduk, tak mungkin pak Darwin menjodohkan dirinya dengan pria tersebut.
“Ma ... itu.” Dengan suara bergetar menahan tangis.
“Ini yang terbaik untukmu nak, Mama tidak berdaya.” Sembari mengusap punggung putrinya.
Tak berselang lama, mereka keluar dari kamar karena tak ingin pak Darwin menunggu lebih lama.
Setiba di ruang tamu, mata Adel dan calonnya bertemu sejenak. Dengan cepat Adel mengalihkan pandangannya, tampak jelas jika dirinya terlihat tak sudi melihat wajah calon suaminya tersebut.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Ainasina
Mantap
2023-06-02
0
Anastassya
Next up up up
2023-06-02
0
meisyaagatha
Hadir Thor
2023-06-02
0