Malam hari.
Mereka tengah makan malam bersama di meja makan, Abi melirik istrinya sekilas yang terlihat lahap makan.
“Ini tak terlalu buruk, masakannya cukup enak,” gumam Adel dalam hati.
“Kamu terlihat sangat lapar. Makanlah yang banyak, besok kamu sudah memulai tugasmu sebagai seorang Istri,” ucap Abi tanpa menoleh ke arah Adel.
Adel langsung terdiam, ia tampak membulatkan matanya.
Apa itu artinya, dirinya juga harus melayani suaminya di tempat tidur layaknya istri pada umumnya?
“Abi ... maksudku Mas, Abi. Apa kita juga melakukan itu?” tanya Adel pelan, langsung mengubah panggilannya saat melihat Abi melototkan matanya.
Abi tersenyum.
“Tergantung,” sahutnya sembari tersenyum jahat.
“Aku tidak meminta itu sekarang. Tapi, itu bisa terjadi kapan saja. Jika aku menginginkannya,” tuturnya lagi dengan sengaja mengatakan itu.
Adel yang semula lahap makan, kini tampak seperti tak berselera lagi. Bahkan ia menyelesaikan makannya tanpa menghabiskan makanan di dalam piringnya dan bergegas ke dapur meletakkan piring di wastafel.
Abi terkekeh melihat wajah Adel yang terlihat begitu lucu dan menggemaskan.
Namun, senyum itu seketika luntur saat mengingat seseorang yang masih setia menunggunya di desa.
Abi menghela napas kasar, entah apa yang harus ia lakukan dan bagaimana caranya memberitahu keluarganya disana. Pasalnya, mereka masih belum mengetahui tentang dirinya saat ini yang sudah menikah.
Sementara di kamar, Adel terlihat gusar ia bahkan langsung mengunci pintu kamarnya.
“Tidak, aku belum siap! Abi pasti hanya bercanda. Aku akan memberikan kesucianku pada orang yang aku cintai! Tuhan, selamatkan aku dari pria ini,” gumamnya langsung membungkus dirinya dengan selimut tebal.
Keesokan pagi, Abi lebih dulu bangun. Ia melihat sekelilingnya, ia baru menyadari jika dirinya tidur di kamar tamu. Karena dirinya dan Adel tidur di kamar yang terpisah.
Bukan tidak menerima Adel sebagai istrinya, akan tetapi masih canggung di antara keduanya yang tiba-tiba saja menjadi suami istri.
Selesai membersihkan tubuhnya, seperti biasa rutinitas pagi yang ia lakukan yaitu membuat sarapan pagi. Dirinya tak memakai jasa pembantu, karena menghemat gajihnya pikirnya.
Ting ....
Suara pesan masuk.
Abi mengambil ponselnya di sela sarapan, melihat pesan dari siapa yang masuk.
Abi terlihat menghela napas berat setelah membaca pesan tersebut, ia bersandar di bahu kursi.
“Tidak mungkin aku pulang cuti dan meninggalkan Adel sendiri,” gumamnya dalam hati.
Karena hari ini masih masa cutinya, waktunya di pergunakan untuk mengajari Adel untuk memasak.
Adel tak banyak membantah, karena selalu di ancam oleh Abi jika istrinya terlihat mengeluh. Membuat Adel cemberut dan dengan terpaksa menuruti apa yang Abi katakan.
“Maafkan aku Adel, aku harus tegas padamu semua ini demi kebaikanmu. Setelah tugasku selesai, aku akan pergi karena kamu lebih pantas mendapatkan jauh lebih baik dari aku,” gumamnya dalam hati menatap Adel yang tengah mencuci piring.
“Kenapa kamu menatapku? Bukankah aku sudah menuruti apa yang kamu katakan!” ketus Adel, karena tak sengaja melihat Abi yang tengah menatapnya.
Abi tersenyum menggelengkan kepalanya.
“Pasti kamu sedang mengejekku sekarang!” tambahnya lagi masih dengan nada ketus.
“Ck ... buang pikirkan kotormu itu! Aku hanya heran, kenapa kamu menyetujui pernikahan ini?” tanya Abi dengan melipat kedua tangannya.
“Apa jangan-jangan kamu diam-diam menyu----,” menggantungkan ucapannya.
“Sstt ... jangan asal bicara! Aku menerima pernikahan ini, karena Papa mengancamku! Jika tidak, mana mungkin aku mau menikah denganmu, Mas Abi!” serunya dengan penuh penekanan.
Deg!
Entah kenapa perkataan Adel barusan, hatinya seperti tertimpa batu besar. Padahal dirinya baru beberapa hari menikah, namun perkataan Adel sukses membuatnya terdiam.
Abi tersenyum kecut mendengarnya, lalu melangkah pergi meninggalkan Adel yang masih mencuci piring tanpa berkata apapun.
“Dasar, setelah memintaku membersihkan semua rumah dia langsung pergi tanpa mengucapkan terima kasih!” gerutu Adel saat melihat suaminya pergi.
Di dalam kamar, Abi duduk di tepi kasur. Ia merasakan dadanya yang teras sesak setelah mendengar ucapan istrinya.
“Sialan! Kenapa aku begini? Tidak mungkin aku menyukainya! Wajar jika dia berkata seperti itu, karena Adel memang tak menginginkanku untuk menjadi suaminya. Astaga ... kenapa hari ini begitu sakit?!” kesalnya berulang kali memukul dadanya dengan pelan.
Setelah semua pekerjaan selesai, Adel terlihat begitu kelelahan. Ia berbaring di sofa yang ada di ruang tamu, melirik pintu kamar Abi yang masih tertutup rapat sejak tadi.
“Lelah juga menjadi Istri! Bagaimana dengan Bibi yang setiap hari bekerja tanpa henti,” gumamnya lagi. Dirinya mereka bersalah karena selalu meminta asisten rumah tangga yang menyiapkan semua kebutuhannya.
Karena kelelahan, mata Adel terlihat berat hampir saja memejamkan matanya.
Namun, suara bel pintu membuka bola matanya membulat dengan sempurna.
“Astaga! Aku baru saja ingin istirahat,” kesalnya mendengar bel pintu berbunyi.
Saat hendak beranjak dari duduk, bersamaan dengan Abi yang terlihat keluar kamar.
Mereka hanya bertatapan sejenak, Abi langsung mengalihkan pandangannya. Membuat Adel mengernyit heran, karena tak biasa melihat wajah Abi yang tak seperti biasanya.
“Siapa?” tanya Adel, karena melihat Abi mengintip.
“Mama dan Papa,” ucapnya menatap Adel.
Adel tampak terkejut, lalu dirinya mulai panik. Pasalnya, mereka saat ini masih tidur terpisah.
“Abi, bagaimana jika Mama dan Papa mengetahui kita tidur terpisah?” tanya Adel mulai panik.
“Tenang, jangan panik. Kamu hanya jawab iya saja, jika Papa dan Mama bertanya. Kamu harus percaya padaku,” ujar Abi memegang kedua pundak istrinya.
Adel terlihat mengangguk, walaupun dirinya tak yakin dengan ucapan suaminya tersebut.
Ceklek ....
Pintu terbuka lebar, orang tua Adel menatap mereka dengan heran karena melihat putri dan menantunya berdiri di depan pintu.
“Kalian sedang apa? Lama sekali membuka pintunya!” protes mamanya.
Abi lebih dulu mempersilahkan mertuanya untuk masuk ke dalam apartemen mereka.
“Kami sedang, anu ....” Abi terlihat menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Papanya tersenyum dan langsung mengerti apa yang di maksud oleh Abi. Ia memaklumi jika mereka pasti malu untuk mengatakannya, hanya saja dirinya cukup heran melihat putri dan menantunya secepat itu melakukannya, apalagi mereka menikah karena dirinya yang memaksa.
“Kenapa Papa tersenyum?” tanya Adel menatap curiga.
“Tidak. Hanya saja, Papa sudah tidak sabar ingin menimang cucu.”
“Cucu?” tanya Adel bingung.
Abi langsung mengedipkan matanya pada Adel, jika dirinya tak banyak bicara agar orang tuanya tak curiga.
Seketika Adel langsung mengerti dan tersenyum kecut bahkan malu setelah mengerti apa yang telah papanya katakan.
Pak Darwin tengah berbincang di ruang tengah dengan menantunya, sementara Adel dan mamanya tengah menyiapkan makan malam di dapur.
“Adel, bagaimana dengan hubungan kalian? Mama harap, tidak ada sandiwara di antara kalian berdua di depan Mama dan Papa!”
Adel langsung menoleh, sedikit terkejut dengan ucapan mamanya.
“Ma.”
“Adel, Mama yang mengandungmu selama 9 bulan dan merawatmu hingga sebesar ini. Jadi, kamu tidak bisa berbohong,” tambahnya lagi.
Adel menghela napas berat, karena Adel sudah menduga begitu sulit menyembunyikan sesuatu dari mamanya.
“Maafkan Adel, Ma. Tak semudah itu menerimanya, aku akan belajar pelan-pelan,” sahutnya lirih.
“Iya, Mama mengerti kok. Oh ya, sekarang Adel sudah bisa apa?” tanyanya agar putrinya tak merasa tegang.
Karena pasti sulit bagi putrinya dan menyesuaikan diri dengan orang baru, walaupun cukup lama mengenal Abi.
“Mm ... Adel sudah bisa mencuci piring,” sahutnya dengan bangga.
“Wah, ada kemajuan. Bagus,” tutur mamanya tersenyum.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
.
wkwkwk bangga punya anak sudah banyak perubahan
2023-06-21
0
.
suka ya masakannya
2023-06-21
0
Nenek nenek
Semoga Adel berubah jadi lebih baik lagi ya
2023-06-20
0