Amadea Kasea menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Vina dengan tatapan menyerah.
Amadea tahu seberapa banyak Meirika dulu menghabiskan uang Mandala dengan barang-barang fashion yang harganya nggak masuk akal itu. Ia merasa kesal karena sekarang ia dipaksa seperti menjadi Meirika.
"Vin, emang harus ya?" tanya Amadea pada Vina.
Vina mengangkat bahu sambil tersenyum lebar. "Dea, aku ingat gimana komentar kamu waktu kamu ambilin tas pesanan Meirika yang harganya 250 juta itu. Aku tahu betapa nggak sukanya kamu pada kegemaran orang kaya yang suka membeli barang-barang mewah tidak penting macam itu.
Tapi Dea, kamu calon Nyonya Mandala. Kehadiran kamu akan disorot. Apa yang kamu pakai akan dilihat. Please nurut aja. Percaya sama aku. Biar aku yang urus. Kubuat kamu terlihat anggun, mahal, dan keren tanpa harus makai brand dengan logo segede gaban.
Jujur aja, walau bisa dibilang artis terkenal, tapi selera fashion Meirika buruk sekali. Money can't buy class. Pakaian dan aksesori cuma barang, yang bernilai kan siapa yang memakai. Kamu beda, Dea. Kamu punya aura mahal."
Vina tampak meyakinkan Dea yang menatap tak berminat pada deretan katalog yang berisi model pakaian, tas, sepatu, perhiasan, dan banyak hal lagi.
Dea mengangguk lemah. Ya, tiada daya selain menerima semua ini.
Kalau Dea protes dan tidak mau, maka Vina yang akan kena masalah nanti. Dea tahu betul Mandala semenjijikkan apa kalau sudah marah.
Dea mengenal Vina dan Adit sejak hari pertama ia diterima bekerja sebagai sekretaris pribadi Mandala. Mereka bisa dibilang teman pertamanya. Mereka begitu baik dan cukup banyak membantunya beradaptasi.
Dea pasrah. Ya itung-itung ia meringankan kerja pasangan suami istri itu. Dea hanya iya-iya saja dengan semua saran dan kata-kata dari Adit dan Vina.
"Pokoknya begitu kamu pindah ke sini, kamar udah siap sama Adit. Wardrobe udah siap sama aku. Oke Nyonya Mandala?" Vina mengerlingkan matanya penuh arti.
Dea menyeriangi kesal. "Vin, mulai deh. Jangan panggil aku begitu!"
Vina tertawa pelan. "Iya deh iya."
***
Beberapa hari kemudian.
Amadea Kasea menghabiskan waktunya beberapa hari ini dengan melamun. Setelah prawedding kemarin, ia hanya di rumah saja.
Dea sebenarnya merasa sedikit kesepian karena rutinitas ngantornya hilang. Ya walaupun waktu kerja ia banyak mengeluh, bahkan menangis karena tak kuat menghadapi kegalakan Mandala; tapi ia merasa kangen juga.
Tapi mau bagaimana. Mandala memintanya resign.
Sebenarnya Dea juga rindu bertemu pria itu. Baik-baik sajakah calon suaminya itu? Sehatkah ia? Bagaimana kondisi tangannya yang masih luka? Apa Meirika masih mengganggunya? Tanpa sadar Dea merasa cemas.
Pertemuan terakhir mereka ya pada saat foto pra wedding kemarin. Setelahnya, Mandala hanya menghubungi Dea lewat pesan. Telepon pun tidak.
[[ "Dea, uang pelunasan utang mama kamu saya transfer ke rekening gaji kamu ya. Terserah setelahnya mau kamu lunasin sekalian atau kamu angsur per bulan seperti janji kamu ke mama kamu." ]]
[[ "Saya transfer tambahan uang jajan kamu. Anggap aja uang belanja istri, walau kita nikahnya masih nanti." ]]
[[ "Dea, salinan perjanjian nikah kontrak kita saya kirim lewat email. Tolong dicek." ]]
Hanya 3 pesan itu saja yang muncul beberapa hari ini. Dea hanya membalas sesuai konteks saja. Padahal tangannya gemas ingin menanyakan kabar.
Pesan itu ia baca ulang berkali-kali. Sungguh Dea berharap Mandala mengiriminya pesan yang lebih pribadi. Menanyakan kabarnya lah, atau apa lah. Tapi nyatanya memang tidak ada.
"Dea, kalian cuma akan menikah kontrak. Tidak betulan. Jangan banyak berharap." Dea berusaha menghibur dirinya sendiri. Matanya masih melihat ke arah layar handphone-nya, membaca ulang pesan dari Mandala itu.
Tring!
Tepat saat Dea hendak menaruh handphone-nya itu, sebuah notifikasi pesan baru masuk.
"Pak Mandala!" seru Dea hingga ia refleks langsung bangun dari posisi tidurnya.
[[ "Dea, Adit sama Vina mengabari saya kalau kamar kamu sudah siap. Kamu bisa pindah sekarang kalau mau. Tidak usah menunggu besok." ]]
Pesan itu Amadea baca dengan mata berbinar.
"Oke. Pindah sekarang! Gimana ya aku balas pesannya. Aku nggak mau terlihat begitu senang." Dea menggumam sendiri sambil tangannya sibuk mengetik dan menghapus lagi pesan balasan itu.
Saat Dea sedang sibuk memikirkan pesan balasan apa yang pas, sebuah teriakan membuyarkan konsentrasinya.
"Dea! Dea!" Ibu Dea berteriak dari depan pintu kamarnya.
Dea menarik nafas panjang. Pesan balasan untuk Mandala ia tinggalkan begitu saja. Nanti lah ia balas. Sekarang yang penting selesaikan masalahnya dengan ibunya dulu.
Dea pun membuka pintu kamarnya.
"Apa lagi sih, Bu?" Dea menyambut teriakan ibunya dengan mencoba sabar. Dilihatnya di depan pintunya ada ibunya dan seorang gadis berambut keriting yang sedang membawa ransel juga koper.
"Ini Melisa. Anaknya teman lama Ibu. Dia mau kost di sini karena baru diterima kampus di dekat sini. Kan bentar lagi kamu pulang ke rumah suami kamu yang cacat itu. Jadi daripada kamar kamu nganggur, mending ibu kost-in. Lumayan, Ibu kan butuh uang juga."
Dea memandangi gadis yang katanya bernama Melisa itu lalu mengangguk. Ia sudah mencoba berdamai dengan tabiat mamanya yang selalu merendahkan dan menyebut Mandala cacat.
"Aku sih nggak keberatan, Bu. Malah senang juga Ibu ada temannya nanti. Tapi kan aku belum pindah, Bu. Masih 3 hari lagi." Dea tampak susah payah mencoba sabar.
"Ya nggak papa. Kamu bisa tidur di sofa depan. Lagian kamu juga nggak ngapa-ngapain di rumah semenjak nganggur. Ibu kesel lihatnya. Melisa udah jauh-jauh, loh. Dia nggak punya siapa-siapa di sini. Masak suruh nunggu 3 hari!" Ibu Dea merespon dengan santainya.
Dea mulai merasa sepertinya mamanya sengaja melakukan ini agar ia kesl.
Oke kalau maunya begitu. Dea berusaha untuk tidak meledak. Tapi akhirnya ia kalah melawan dirinya sendiri. "OKE. SURUH MELISA MASUK. BIAR AKU YANG KELUAR DARI KAMAR!"
Melisa tampak bingung dengan drama ibu dan anak ini. Ia menatap Riris Sayuti alias mama Dea dengan bingung. Ibu Dea hanya tersenyum tipis seolah tidak terjadi apa-apa.
"Nggak papa, Melisa. Anak Tante emang suka marah-marah. Udah kamu tenang aja. Asal jangan bilang mama kamu, ya." Riris Sayuti meyakinkan Melisa sambil menepuk-nepuk pundaknya.
Sementara itu apa yang sedang dilakukan Dea?
Ya, ia menutup semua koper yang memang sudah ia pack beberapa. Mandala kan memintanya pindah ke rumahnya H-1 pernikahan. Sekarang H-3 tapi katanya kamar sudah siap. Jadi OKE. Pindah saja.
Amadea Kasea menatap ke arah ibunya setelah ia ngos-ngosan menutup koper.
"Oke, Ibu boleh semau ibu mau ngapain aja di rumah ini. Bawa anak kost, bawa teman arisan ibu, pokoknya terserah. Asal Ibu nggak bawa Om Alik aja ke rumah ini lagi.
Kalau sampai aku tahu Om Alik balik ke sini, aku akan marah. Dan aku juga akan berhenti untuk membantu bayar cicilan utang Ibu. Kalau Ibu ketahuan bawa Om Alik balik ke rumah ini, berarti ibu minta uang aja sama Om Alik!"
Dea menatap mamanya dengan tatapan nanar.
Riris Sayuti kelihatan agak panik tapi ia berusaha bersikap normal di depan Melisa yang dibuat makin bingung dengan pertengkaran Ibu dan anak ini.
Oh, andai Dea tahu kalau Melisa adalah anak Om Alik alias ayah tirinya yang ia benci itu. Entah akan semarah apa Dea pada ibunya...
BERSAMBUNG ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments