Sadar kalau gesture dari Ibu Dea dan aura ketegangan yang terpancar dari meja 15 yang Dea pesan, Mandala dengan santai
mengayunkan tangan kanannya ke arah pelayan.
"Mbak, bisa upgreade ke ruang VVIP. Saya mau ruangan khusus yang tertutup untuk bertiga. Siapkan menu paling spesial untuk brunch." Mandala tampak tak menghiraukan wajah Ibu Dea yang memerah karena kesal.
Pelayan resto yang tahu kalau Mandala bukan orang sembarangan tentu langsung mengangguk dan memberikan pelayanan esktra.
Mandala pun memberi kode pada Dea agar berdiri dan mengikutinya. Mau tak mau Riris Sayuti yang tampak kesal pada calon menantunya itu mengikuti mereka sesuai arahan pelayan.
Mau pergi karena kesal pun Riris ragu. Ia tahu di titik ini Dea sudah muak padanya dan akan melakukan apapun yang ia mau, termasuk menikah dengan Mandala.
***
Di meja mewah dan ruangan bernuansa klasik itu pelayan menutup pintu hingga tinggallah mereka bertiga saja di sini.
Mandala, Amadea, dan tentu saja ibunya yang tampak menatap tak suka ke arah Mandala.
Oh, andai Riris Sayuti gemar menyimak berita gosip di sosial media, ia pasti tahu siapa pria yang dibawa putrinya itu. Pasti tak mungkin berani ia yang matrealistis itu merendahkan Mandala Barata yang jelas-jelas namanya masuk ke jajaran 10 orang terkaya di negeri ini.
"Jadi Tante, saya perkenalkan diri saya sekali lagi dengan lebih layak. Terserah Tante mau merespon bagaimana. Mau teriak marah pun tidak apa-apa sekarang karena tidak ada tamu lain yang mendengar." Mandala Barata memulai kalimatnya lalu berdehem.
Riris Sayuti melipat tangannya ke dada dan membuang muka. Ia menatap ke arah lukisan Gunung Fuji yang bersembunyi di antara mekarnya sakura.
Sungguh seharusnya hatinya tenang menatap lukisan seindah itu. Tapi sekarang hatinya sedang panas, jadi mau menatap lukisan sebagus apapun pandangan matanya tetap nanar.
"Saya Mandala Barata, anak tunggal dari kedua orang tua saya yang sudah meninggal. Saya hidup sendirian di sini karena papa saya juga anak tunggal dulunya. Saudara tidak ada. Lalu mendiang mama saya orang Jerman. Tante dan Om saya di Hamburg dan kami tidak terlalu akrab.
Saya memang cacat karena kecelakaan beberapa bulan lalu. Tangan saya harus diamputasi. Dea menerima kekurangan saya dan tidak keberatan sama sekali.
Maka dari itu karena saya tidak bisa seleluasa dulu dalam beraktivitas karena masih harus penyesuaian, Dea berjanji akan merawat saya.
Namun tidak mungkin kan kita tinggal serumah tanpa ikatan. Oleh karena itu saya akan menikahi dia dalam waktu dekat. Kami saling mencintai dan bertekad akan tetap menikah apapun yang menghalangi."
Dea diam saja di kursinya tapi berdebar-debar juga dadanya mendengar suara Mandala yang begitu tulus dan seolah sungguhan.
Oh, rasanya seperti dilamar betulan.
Riris Sayuti masih melipat tangannya di dada tapi kini matanya menatap Mandala penuh keseriusan.
Kata-kata tajam dan tak main-main soal "kami akan tetap menikah apapun yang menghalangi" rupanya membuat Ibu Dea gentar juga.
Salah-salah kalau ia mencoba menghalangi, Dea malah akan membencinya dan pergi dari rumah dalam keadaan marah. Lalu bagaimana utangnya?
Riris Sayuti pun agak luluh walaupun rasanya dari wajahnya ia kelihatan agak tak rela putri satu-satunya itu menikah dengan lelaki yang tak sempurna fisiknya macam Mandala.
Ia pun sok menanya-nanyai Mandala soal pekerjaan, penghasilan, dan janjinya soal jatah tiap bulan yang membuat wajah Dea memerah karena risih dan menahan malu.
Mandala yang ingin memyombong sedikit karena dalam hati kesal juga pada perlakuan Ibu Dea tampak menahan diri. Ia tentu tak mengungkapkan siapa dirinya secara terus-terang atas permintaan Dea.
"Penghasilan saya lebih dari cukup untuk hidup berdua dengan Dea. Saya malah yang nyuruh Dea resign biar fokus jadi istri saya saja. Mengenai utang Tante, saya akan memenuhi janji membantu mengangsur tiap bulan." Mandala menjawab santai.
Walau dihina sedemikian rupa, ia tak merasa terintimidasi sedikit pun.
Sekarang akhirnya Mandala tahu kalau omongan Dea benar. Ibunya matrealistis dan tipe otoriter.
Sebenarnya dalam hati senang juga ia melihat Dea berani melawan begini. Dea wanita berharga, muda, punya masa depan panjang yang sayang sekali kalau hidupnya disetir oleh ibunya sendiri yang egois.
Riris Sayuti hampir menyahut lagi tapi kata-katanya tertahan ketika deretan pelayan masuk membawakan menu.
Hingga akhirnya ketika pelayan pergi dan Mandala menyuruh mereka menikmati hidangan, Ibu Dea mulai bertingkah lagi.
"Ya, okelah. Saya sih nggak bisa nahan Dea kalau dia mau menikahi kamu. Tapi kamu kan kelihatannya cukup berduit, apa nggak bisa sekaligus aja kamu lunasi hutang saya di awal?"
Uhuk!
Dea hampir tersedak mendengar betapa berani dan tidak tahu dirinya tingkah ibunya itu.
Mandala hanya tersenyum tipis. Ia melirik pada Dea yang menatapnya dengan mata membulat sambil menggeleng kuat-kuat.
Sebenarnya Mandala ingin menahan tawanya begitu Dea cepat-cepat mengambil minum dan balik memelototi ibunya.
"Ibu, kalau Ibu berani ngomong gitu lagi ke Mas Mandala, aku bakalan benar-benar melarang dia untuk bayarin tagihan utang ya. Terima aja keputusan kami atau aku nggak akan mau tahu soal Ibu sama sekali.
Bilang aja aku anak durhaka. Nggak papa. Aku udah capek aja selama ini memendam begini," ucap Dea dengan tegas.
Riris Sayuti hanya bisa bersungut kesal tanpa bisa memprotes lagi. Tapi walau kesal tatap saja tangannya sibuk menikmati hidangan mahal ini.
Kapan lagi ia bisa makan di tempat semewah ini? Oh, kalau tak ada Dea dan Mandala, sudah ia foto-foto semua hidangan ini dan ia pamerkan pada geng arisannya.
Dea akhirnya kembali mengambil sendoknya saat dilihatnya ibunya sudah tidak bertingkah lagi dan duduk dengan tenang sambil makan.
Dea pun melirik ke arah Mandala yang tersnyum tipis sambil tangan kanannya berusaha untuk memegang sumpit dengan benar.
Dea menarik nafas panjang. Ia kadang lupa, Mandala punya masalah besar soal tangannya ini.
Mungkin Mandala kehilangan tangan kiri yang orang-orang biasa tidak akan kesulitan karena dianggap masih punya tangan kanan. Tapi Mandala berbeda. Ia kidal. Ia terbiasa memakai tangan kiri sejak lahir. Lalu ketika tangan kirinya ini hilang, ia jadi seperti kehilangan dua tangan.
Mandala begitu payah. Hendak mengambil gelas pun rasanya sulit.
Dea jelas peka. Ia menggeser duduknya agar lebih merapat pada Mandala dan membantunya.
Dea mengupaskan udang, memotongkan daging, menyuapi, mengambilkan gelas.
Mandala awalnya agak terkejut juga dengan perlakuan Dea. Tapi mengingat mereka memang harus berakting mesra di depan Ibu Dea, maka ia dengan mudah menikmati peran ini hingga Dea yang lama-lama malah dibuat salah tingkah.
"Emang dia nggak punya tangan apa harus disuapi segala!" Riris Sayuti tampak muak dengan adegan kemesraan di depan matanya.
"Iya. Tangan saya memang tinggal satu, Tante." Mandala menelan makanannya lalu menunjuk satu tangannya yang tertutup jas kemudian tertawa.
Dea merasa ingin meledak sekarang. Diliriknya ujung tangan Mandala yang habis diamputasi itu masih dibalut perban. Bisa-bisanya ibunya bicara begitu kasar.
BERSAMBUNG ...
_____
Ditunggu jejaknya, ya. Terima kasih sudah mampir membaca.🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments