Alis tebal Mandala naik sebelah.
Sungguh ekspresi maskulin yang membuat dada para wanita manapun berdebar. Ia terlihat menyebalkan tapi di lain sisi menggemaskan kalau sedang marah-marah begitu.
Dea yang masih bertahan dengan dunianya yang jungkir balik karena kebingungan dengan sikap Mandala terlihat macam gadis lugu yang bersikap konyol.
"Minum, Dea! Ambilin saya minum! Kamu dengar nggak sih!" Suara kesal Mandala berubah drastis. Tadinya manis dan lemah lembut jadi berubah pada sikapnya sehari-hari pada Amadea : ketus dan galak.
"Eh, oh. I--iya, Pak," jawab Amadea dengan tangan gemetar.
Mandala menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah Dea menyodorkan minum dengan gerakan sembrono yang hampir menubruk pinggir ranjang rawat, gadis itu tampak ngos-ngosan. Padahal gelas minum Mandala hanya ada di sebelahnya.
"Ini Pak minumnya," tutur Dea dengan polos.
Mandala menggeram pelan. "Ya tumpah dong Dea kalau saya minumnya sambil tidur. Bantu saya bangun dulu."
Dea tersentak lalu menaruh gelas lagi dan membantu Mandala bangun dengan hati-hati. Jantungnya berdegup makin cepat.
'Aduh! Perkara dipanggil sayang saja otaknya jadi eror mendadak begini. Apa aku baper? Dea! Jaga otak kamu ya, Dea! Jangan terbawa perasaan. Pak Mandala cuma ngetes. Lagian kan dia nggak suka sama peremp...'
"Dea! Minum saya!" Mandala berteriak kesal karena setelah dibantu duduk tegak Amadea malah melamun.
"Maaf, Pak." Amadea lalu menyodorkan minum dan membantu memegangi gelas setelah melihat Mandala agak kesulitan menggunakan yang kanannya.
Maklum saja, bagi orang yang terbiasa memakai tangan kiri, dipaksa mau tak mau memakai tangan kanan adalah siksaan.
Jujur saja Amadea baru menyadari sekarang. Empatinya jadi terasa. Ia baru tahu kalau boss galaknya itu tidak hanya kehilangan satu tangan. Tapi ia kehilangan kemampuan kedua tangannya.
Kondisinya sekarang sama saja seperti ketika Amadea yang normal dipaksa memakai tangan kiri untuk segala aktifitas. Pasti susah dan menyiksa.
"Mana tintanya! Biar saya selesaikan sekarang dan kamu pulang." Mandala melirik ke arah setumpuk berkas yang tadi tertunda ia tanda tangani karena ia kehilangan kemampuan tangannya.
Amadea menyerahkan dokumen dan membantu Mandala. Karena agak kesulitan, Dea memegangi tangan boss tampannya itu agar cepat selesai.
Mandala kerasa tak keberatan. Toh kondisi kecacatannya itu membuatnya kesulitan dengan banyak aktifitas biasa. Hanya saja pria itu tahu Amadea gugup karena skinship alias kontak fisik mereka.
Bukan Mandala Barata namanya kalau tidak makin mengerjai kepolosan sekretaris pribadinya itu.
"Dea, kamu kenapa pucat gitu dekat-dekat saya?" Dea yang sedang menunduk ke arah Mandala dibuat terkejut saat Mandala menahan tangannya.
"Ng--nggak kok, Pak," jawab Dea yang jelas berlawanan dengan perasaannya. Ia jelas gugup. 100 % kelihatan dari gestur tubuh dan cara menjawabnya.
Mandala tertawa tapi tak kunjung melepaskan tangan Amadea sehingga jarak wajah mereka begitu dekat hingga bisa mendengar suara nafas masing-masing.
"Yakin nggak gugup? Kamu harus membiasakan diri, Dea. Kita akan menikah. Sebulan lagi. Ingat. Sebulan. Kamu harus bisa menyesuaikan diri dan membuat seolah hubungan kita ini nyata.
Kamu tahu kan kenapa saya tadi panggil-panggil kamu dengan sayang-sayangan di depan dokter dan perawat? Sengaja! Biar digosipkan. Biar kalau kita tiba-tiba menikah nanti nggak ada yang curiga karena gosipnya sudah muncul dulu."
Mandala berkata dengan nada datar tapi jarak yang dekat membuat Dea keringat dingin.
"Sa--saya ngerti, Pak. Maaf. Saya akan berusaha lebih baik lagi agar tidak kaku." Amadea yang merasa dunianya seperti jungkir balik karena tiba-tiba harus bersandiwara begini jelas merespon dengan kekakuannya.
Mandala pun melepaskan tangannya. Amadea bernafas lega dan kembali berdiri dengan tegak. Bedanya kali ini di ruangan ber-AC yang sejuk macam pegunungan begini dahinya jadi berkeringat.
"Kamu baper ya saya panggil sayang?" Mandala menggoda dengan sengaja. Seringai menyebalkan tampak membuat bibirnya melengkung dengan maskulinnya.
Amadea menggeleng. Menggeleng dengan cepat hingga rasanya kepalanya mau lepas.
"Jangan terbawa perasaan. Coba kamu panggil saya 'sayang.' Kamu nggak bisa panggil saya 'Bapak' lagi ke depannya. Saya bukan Bapak kamu ya! Mana ada istri manggil suaminya 'Bapak?' Coba panggil saya 'sayang.' Saya mau dengar!"
Dar!
Tantangan Mandala mendadak membuat perut Amadea mulas.
"Sa--sayang!" Dengan nafas ngos-ngosan padahal cuma berdiri bagai patung, akhirnya kata-kata itu keluar dari bibir tipis Amadea.
Mandala tertawa terbahak sampai pundaknya terguncang naik turun.
"Kamu kaku banget. Kamu nggak pernah pacaran apa?" Mandala bertanya di sela-sela tawanya.
Amadea Kasea menepuk poninya sendiri sambil menggeleng lugu.
Tawa Mandala terhenti seketika.
Tak menyangka ia kalau sekretarisnya sepolos ini. Maksudnya kan Dea ini cantik sekali. Jujur saja ia mengakui itu. Kenapa nggak laku? Apa ia terlalu pemilih?
Alis Mandala mengernyit lagi.
"Serius? Kenapa? Kamu terlalu pemilih?" Nada suara Mandala langsung berubah penasaran.
Dea menggeleng sambil nyengir.
"Nggak boleh sama Ibu saya. Waktu sekolah sama kuliah dilarang karena takut saya nggak fokus. Pas udah kerja disuruh fokus karir dulu," jawab Amadea.
Raut wajah Mandala berubah serius.
"Dea, kamu bilang tadi nggak ada masalah kalau kita umumkan pernikahan tiba-tiba. Gimana bisa kamu bilang ke Ibu kamu yang bahkan ngelarang kamu pacaran kalau tiba-tiba kamu mau nikah sama saya?
Apalagi kamu tahu kan kondisi saya begini. Saya rasa tidak ada ibu manapun di dunia ini yang mau anak perempuannya satu-satunya menikah sama laki-laki cacat kayak saya." Nada suara Mandala berubah makin serius.
Amadea Kasea rupanya juga kehilangan kemampuan menyusun kata-kata.
Iya juga sih. Cara bilang ke Ibu ini juga yang ia pikirkan sejak tadi.
"Dea? Kamu yakin? Kita udah sepakat tadi tapi sekarang saya jadi ragu. Saya maunya cuma kita berdua sama pengacara aja loh yang tahu kalau pernikahan kita nanti itu nikah kontrak. Ibu kamu, keluarga kamu, teman kamu; itu nggak boleh ada yang tahu.
Apalagi kalau kamu sampai bilang sebagai gantinya utang kamu akan saya lunasi. Nggak mau! Saya nggak mau hal ini tercium publik. Saya maunya semua terlihat sungguhan. Real!"
Mandala menambahkan lagi dengan mimik wajah makin serius.
"Saya memutuskan buat jadi anak yang nggak penurut lagi. Jadi saya nggak perlu minta izin. Saya hanya akan ngasih tahu aja kalau saya mau nikah sama Bapak.
Akan saya pastikan semua beres. Ibu nggak berhak atur-atur saya lagi. Saya udah capek. Ibu saya selalu berulah. Saya ikut pusing karena utang begini juga karena dia ketipu sama suami barunya alias ayah tiri saya yang sekarang nggak tahu kabur kemana.
Saya yang hidupi beliau sejak ayah saya sakit-sakitan dan meninggal. Saya kuliah pakai dana beasiswa. Saya kerja paruh waktu uangnya juga buat Ibu. Sampai saya dapat kerja dan akhirnya kena PHK semua juga masih saja saya disalahin dan dibilang nggak becus.
Mau Ibu setuju atau nggak setuju, saya janji saya akan tetap menikahi Bapak. Dia saja sudah saya larang nikah sama Om Alik masih nekat sampai ketipu begini. Saya juga akan berbuat semau saya sekarang."
Suara Amadea mengecil di akhir kalimatnya.
Ada sorot mata lelah dan kesedihan tertahan ketika ia mengungkapkan semua cerita ini pada Mandala.
Mandala akhirnya terbungkam tanpa bisa berkata-kata lagi.
'Oh, gadis polos ini begitu hebat. Ia tulang punggung, merawat ayahnya yang sakit-sakitan hingga meninggal, dieksploitasi secara tidak langsung oleh ibu kandungnya yang toxic. Oke, kita sama-sama bermasalah dan butuh solusi. Aku nggak salah pilih mempelai pengganti.'.
Mandala berkata dalam hati lalu tersenyum tipis dan mengangkat bahu.
"Oke! Good! Bagus! Kamu kirim berkas ke orang arsip dan kurir aja sekarang terus pulang. Pulang ke rumah dan ya atur sendiri gimana caranya ngomong sama Ibu kamu.
Satu lagi. Latihan biar nggak kaku. Ngapain kek, nonton film romantis atau apalah. Biar kamu ngerti gimana caranya mesra itu.
Oh, ya. Jangan baper sama saya. Jangan jatuh cinta beneran. Ya saya tahu sih walau tangan saya tinggal satu begini saya masih ganteng dan keren. Tapi kamu jangan jatuh cin..."
"Nggak bakalan, Pak." Amadea dengan spontan memotong perkataan Mandala.
Mandala sampai tertegun dan tertawa.
"Yakin?" Mandala menaik-turunkan alisnya dengan tatapan menggoda.
"Yakin. Kan saya tahu Bapak nggak suka perempuan. Oke, saya pulang dulu ya, Pak." Amadea berkata dengan polosnya lalu berbalik arah dan pergi.
Mandala yang masih dalam posisi duduk jadi tertegun.
"A--apa? Dia bilang apa tadi? Saya nggak suka perem...
Arghhh! Akun gosip sialan!"
BERSAMBUNG ...
_____
Tinggalkan jejak like dan komentar ya. Terima kasih sudah mampir baca...🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments