Selain karena pelototan mata Dea, Riris Sayuti langsung menunduk agak salah tingkah begitu menyadari kata-katanya terkesan begitu kasar.
Sepedas apapun mulut ibu kandung Dea itu, ternyata masih ada sedikit rasa bersalah juga dalam hatinya karena menyakiti hati orang lain.
Dea yang tampak kesal mendengus pelan.
"Bu, Mas Mandala kidal. Dia nggak biasa pakai tangan kanan. Jadi sekarang dia agak kesulitan ngapa-ngapain karena baru menyesuaikan diri.
Coba deh Ibu yang biasa pakai tangan kanan disuruh pakai tangan kiri," ucap Dea membela Mandala.
Mandala menaikkan alisnya sebelah dan tersenyum penuh arti. Amadea pura-pura tidak melihat karena agak salah tingkah juga disenyumi begitu.
Hening!
Suasana mendadak canggung tapi Mandala bersikap seperti biasa dan terkesan seperti menikmati perlakuan manis Dea yang membantunya makan.
Suasana meja makan resto mewah itu pun berakhir dengan hening setelahnya. Hanya ada suara sendok dan garpu sesekali beradu.
Lalu Dea pamit pergi bersama Mandala setelah memberi ibunya ongkos taksi.
"Aku mau fitting baju pengantin, Bu. Nanti pulang agak malam mungkin karena mau ngurus dokumen pernikahan juga. Baju Ibu akan aku bawa sekalian ke rumah nanti karena Ibu nggak mau ikut. Ukurannya aku kira-kira aja. Ibu bisa bawa ke teman Ibu yang punya usaha jahit itu kalau kurang sesuai.
Sama kalau Ibu mau undang teman atau kerabat kita, Mas Mandala bilang jangan lebih dari 30 tamu karena pesta kita terbatas dan intens," ucap Amadea sambil merapikan tasnya sembari menunggu Mandala menyelesaikan pembayaran.
"Nggak, ah. Ibu datang sendiri aja. Malu. Pasti mereka ngira kamu hamil duluan. Apalagi calon suami kamu..."
"Cacat." Mandala memotong kalimat Ibu Dea dengan santai sambil menunjuk ke arah tangannya.
Suasana jadi tegang lagi.
Dea melirik agak tak enak hati pada Mandala. Ia tahu ibunya memang pedas sekali kata-katanya.
Yang dilirik malah santai saja dan justru memberi kode Dea agar membantu memasukkan kartunya kembali ke dalam dompet.
Sungguh sekejam apapun dan sehati batu apapun Mandala, Dea kadang tak habis pikir bagaimana bisa Mandala bisa bersikap biasa saja atas semua musibah yang menimpanya ini.
Kecelakaan parah, kehilangan satu tangan, ditinggalkan calon istri mendekati hari H pernikahan. Tapi Mandala bersikap seolah hidupnya berjalan seperti biasa lagi saja.
Sungguh tak punya hatikah lelaki tampan itu? Atau mungkin dalam hatinya ia juga merasa sedih? Dia kan manusia biasa, kan?
Amadea tak habis pikir hingga di dalam mobil saat perjalanan menuju rumah Mandala pun ia masih melamunkan soal ini.
Ya, walau hendak fitting baju, mereka tidak mendatangi tempat designer kondang itu. Designer kondang yang sering menjadi juri di acara fashion televisi itulah yang datang ke rumah Mandala.
Amadea berusaha untuk tidak kaget dengan hal-hal semacam ini tapi ia tegang juga. Apalagi ketika Mandala yang duduk di sampingnya tiba-tiba melirik ke arahnya setelah menerima telepon dari designer itu.
"Kayaknya nggak banyak yang harus diubah. Postur tubuh kamu sama Meirika hampir sama." Mandala berkomentar sambil mengamati Amadea dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Amadea merasa panas dingin mendadak.
Oh, jangan salah tingkah Dea! Ingat, Pak Mandala nggak suka perem...
"Dea? Kamu ngelamun? Kita sudah sampai rumah saya!"
Dan buyarlah semua lamunan Amadea Kasea. Ia tahu ia harus segera turun dari mobil dan menghadapi semua ini.
Ya, ia harus mengepas gaun yang akan ia pakai di pernikahan palsunya beberapa pekan lagi.
***
Baru pertama kali ini Dea memasuki rumah megah Mandala Barata.
Kemarin-kemarin ia hanya sampai area depan saja waktu terpaksa ke sini mengambil dokumen. Pelayan di rumah yang mengantar dokumennya ke depan lalu ia balik ke kantor lagi.
Sekarang ketika melihat langsung rumah megah bak istana itu, Dea tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya.
"Wow!" BIbirnya dengan spontan berucap lirih.
Mendala yang berdiri di sampingnya menahan senyum. Ia tahu Amadea Kasea berasal dari golongan midle-low secara ekonomi. Ia bisa mengerti kalau gadis itu agak syok melihat rumahnya sekaligus gaya hidupnya yang di luar nalarnya.
Oh, andai Dea tahu rooftoof bangunan di belakang rumah ini bisa untuk mendaratkan helikopter, akan makin syok ia.
"Oh, halo Pak Mandala. Aduh! Akhirnya kita ketemu lagi." Seorang lelaki berbadan agak gemuk dengan gaya melambai dan anggun berbalik badan dan menyapa.
Amadea nyengir.
Oh! Ini Renda Bachtiar yang terkenal itu! Designer ternama yang tahun lalu hadir di Paris Fashion Week.
Mandala yang malas basa-basi hanya tersenyum datar.
"Meirika hubungi kamu?" Untuk pertama kalinya sejak kemarin lagi, Mandala menyebut nama itu lagi. Nama artis terkenal yang memutuskannya secara sepihak.
Renda Bachhtiar nyengir dan meringis. Ya, jelas terpilihnya ia mengurus semua pakaian untuk acara besar ini ya karena Meirika yang memilih. Harga gaun rancangan Renda Bachtiar tentu mahal sekali. Orang biasa tak mungkin sanggup memakai jasanya.
"Seperti instruksi Pak Mandala. Telponnya nggak saya angkat. Asisten saya juga dihubungi. Saya juga nyuruh dia nggak ngangkat telepon.
Tapi teman-teman artisnya yang menjadi bridesmaid sudah mengambil gaun dari saya. Jadi saya bingung, tagihan untuk 10 gaun itu saya kirim ke Bapak atau ke Mei..."
"Ke dia, lah. Orang itu teman-teman dia. Tagih ke dia. Saya nggak ada urusan lagi sama dia. Yaudah langsung aja kita fitting ulang. Saya nggak mau bahas Mei," ucap Mandala agak kesal.
Renda Bachtiar hanya bisa mengangguk tak berani melawan. Ia tahu walau nanti Meirika akan sulit ditagih, tapi Mandala pasti akan membayarnya di atas harga yang ia sebut.
"Sayang, kamu coba dulu. Gaunnya seukuran Meirika. Tapi aku pikir akan pas juga di kamu. Oh ya, Ren. Soal jas saya, kamu tahu kan gimana ngakalin biar tangan kiri dan perban saya nggak terlalu kelihatan mencolok?"
Dan itulah kata-kata terakhir yang didengar Dea sebelum asisten Renda memintanya masuk ruangan dan mengepas gaun.
Arghhh! Apa Mandala barusan memanggilnya 'sayang' lagi?
Bukannya geli. Tapi debar-debar jantungnya merepson dengan gejolak yang asing tapi menyenangkan.
Apa Amadea terbawa perasaan?
Ah, perasaan sudah Dea bilang pada dirinya sendiri dalam hati agar tak terjebak perasaan. Mandala ia salah pahami tak tertarik pada perempuan, kan?
"Mbak? Mbak kok bisa sih gantiin Meirika Jayatri jadi calonnya Pak Mandala?" Asisten Renda yang sedang membantu mengancingkan gaun itu bertanya dengan nada berbisik.
Dan seperti instruksi Mandala, Dea hanya menggeleng pelan dan tak berkomentar.
"Jangan bicara apapun soal pernikahan kontrak kita. Mereka cuma bertanya karena penasaran untuk dijadikan gosip. Dan mungkin untuk dilaporkan ke Meirika. Meirika mungkin menyuruh orang-orang Renda untuk memata-matai saya," ucap Mandala kemarin.
Dea memasang wajah dingin dan datar. Ia harap diamnya ia akan membuat para asisten Renda akan kesal dan berhenti bertanya-tanya.
Namun saat mencoba menghindar dan membuang muka saat sang asisten membenarkan bangun gaun di area dada, mata Amadea menangkap sebuah hal yang membuatnya syok.
Di ruangan yang sepertinya kamar kosong ini, tampak sebuah pigura foto agak usang di nakas dekat Dea berdiri.
Foto itu...
"Bukannya itu Pak Mandala? Dia merangkul cowok... Hah? Itu... Itu Rafael Malik! Astaga! Jadi berita di internet itu bukan cuma gosip? Mereka sungguhan punya hubungan sampai-sampai Pak Mandala memajang foto mereka berdua di kamar ..."
Amadea menjerit dalam hati...
Ia tak tahu saja kalau semua itu hanya salah paham. Mandala Barata lelaki normal. Begitu pun Rafael Malik.
Kedekatan mereka hanya karena mereka saudara sepersusuan dan teman main sejak kecil karena orang tua mereka bersahabat sejak kuliah. Sayangnya mereka tertutup soal ini hingga wartawan dan tukang gosip itu menyalah pahami kedekatan mereka.
Mandala sama Rafael macam kakak adik.
"Mbak? Gaunnya sudah selesai. Mau lihat ke kaca?"
Dan Amadea seolah mendadak tuli. Ia terlalu syok melihat foto hingga tak sadar gaunnya sudah terpakai sempurna di tubuhnya...
BERSAMBUNG ...
_____
Tinggalkan jejak like dan komentar ya. Terima kasih sudah mampir baca.💕
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments