Benih Cinta Mandala

Dua orang yang awalnya bersahabat dan kompak itu tiba-tiba seolah saling bermusuhan.

Memang tidak ada pertemanan yang kekal di dunia keartisan begini. Begitu satu pihak menyadari pihak satunya tidak bisa diambil keuntungan lagi, maka satu sama lain akan saling menjauh.

Begitu pula jika ada pihak yang kena masalah. Yang tadinya mengaku teman akan menjauh juga, bahkan pura-pura tidak kenal.

Meirika mendengus dengan tatapan merendahkan.

"Halah sini kubayar. Berapa sih tagihannya? Nanti kirim aja totalannya ke managerku. Uangku banyak. Ya walau nggak sebanyak Mandala, tapi aku punya uang untuk sekedar membungkam mulutmu.

Nggak usah sok ketus kamu sama saya ya, Rendi. Saya nggak akan rekomendasikan nama kamu lagi ke Mas Angga baru tahu rasa kamu. Saya dapat project film besar. Bayaran saya cukup buat beli mulut kamu dan pegawai kamu.

Jangan nyesel ya kamu sudah ketusin saya dan nggak mau bantu mata-matain Mandala sama calon istrinya. Kamu cuma designer, Rendi. Saya artisnya. Saya terken..."

"Cukup!" Renda merasa matanya panas sekarang.

Renda hanya bisa menahan kekesalannya. Terlebih Meirika mulai menyebut nama aslinya.

Rendi. Ia benci dipanggil Rendi. Namanya Renda sekarang.

Ketika mulut Renda hendak menyahut karena tak kuasa lagi menahan kesal, tiba-tiba Meirika sudah diam sendiri karena handphone berbunyi.

Menilik dari ekspresinya, sepertinya ada orang penting yang mencoba menghubunginya.

"Halo, Mas Angga?" Meirika menyapa dengan nada mendayu-dayu.

Renda yang masih duduk di tempatnya tampak ingin menguping. Koneksi Meirika di dunia hiburan ini memang tak main-main.

"Hah? Apa, Mas? Kok gini, sih. Kok bisa. Mas bilang kemarin buat peran besar ini saya udah lolos casting, loh. Saya bahkan udah keriting rambut saya biar sesuai sama karakternya. Mas Angga tega, ya!

Project kolaborasi saya juga sudah saya cancel karena ngambil film Mas Angga." Meirika yang masih duduk di depan meja Renda langsung menciut.

Niatnya menyombong tadi. Eh, malah Renda dengar berita kesialannya ini.

Setelah mengakhiri panggilannya, Meirika menatap Renda dengan kesal. Renda hanya bisa pura-pura tidak tertawa saja.

Karma dibayar tuntas.

"Selly, kasih ke Meirika tagihan baju yang udah kita hitung tadi. Mumpung orangnya belum pergi." Renda tampak tersenyum penuh kemenangan.

Meirika pucat mendadak.

"Mmm, Ren. Bisa nggak pelunasannya bulan depan. Honor iklan aku belum turun soalnya." Meirika yang tadinya galak bagai iblis langsung sok manis macam anak kucing.

Renda Bachtiar tertawa lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak bisa, Mei. Bahkan kamu masih ada tunggakan tahun lalu. Kamu dari kemarin cerewet minta gaun pengantin ini itu kuturutin karena tahu Pak Mandala yang bayar. Kalau nggak udah aku tuntut kamu karena nggak bayar-bayar. Sekarang gaun itu malah dipakai gadis lain. Sukurin!

Katanya kaya dan terkenal, masak baju aja ngutang. Kemarin mau ngancam sebarin gosip buruk soal aku sama bisnisku. Sekarang gantian deh. Aku juga bisa sebaran soal ini. Ini bukan rumor, loh. Ini fakta. Fakta kalau Meirika Jayatri ngutang baju dan nggak kuat bay..."

"STOP! MANA TAGIHANKU! BESOK KULUNASI!" Meirika berdiri lalu menggebrak meja dan pergi.

"Sial! Sepertinya membatalkan pernikahan dengan Mandala adalah kesalahan besar. Kalau kejayaanku habis, aku jadi nggak seberapa terkenal dan uangku habis. Tapi kalau aku nikahin Mandala yang cacat, aku akan tetap kaya seumur hidup tanpa bekerja.

Ah, kehilangan tangan saja kan tidak apa-apa sebenarnya. Yang penting Mandala masih tetap tampan dan kaya. Oh! Bodohnya kamu Mei," batin Meirika menyesali kebodohannya kemarin.

Sayang, nasi sudah menjadi bubur.

Saat karir mendadak redup begini dan uangnya untuk hidup glamour menipis, baru terasa, kan?

Salah sendiri...

"Aku harus datang ke pesta itu. Harus! Entah gimana caranya!" Meirika meninggalkan butik Renda dan masuk ke dalam mobilnya dengan tekad bulat.

Kalau tidak bisa direbut lagi hatinya, setidaknya ia ingin Mandala bisa dimainkan hatinya lagi agar bisa dimainkan juga uangnya.

Semenjak putus, uang-uang Mandala juga berhenti mengalir ke rekeningnya. Kemarin Meirika terlalu percaya diri kalau ia tetap bisa hidup mewah tanpa uang Mandala. Ia malu punya suami cacat.

Tapi ternyata uangnya menipis. Manager-nya bilang tabungannya tidak sebanyak itu.

Meirika lemas.

"Sialan! Mana cantik lagi anak itu! Sekretaris ingusan itu akan merebut Mandala-ku!" Meirika menyetir dalam keadaan emosi.

Di depan lampu merah, Meirika menghentikan mobilnya. Ia segera menelpon managernya.

"Maya, Mandala mau menikahi sekretaris-nya. Namanya Amadea. Nggak tahu nama lengkapnya siapa. Selidiki anak itu! Cari tahu infonya. Aku butuh!" Meirika lalu menutup panggilannya dengan emosi yang masih membara.

***

Sementara itu Amadea Kasea yang sedang menatap langit-langit kamarnya tampak risau.

Hari menjelang pernikahannya tinggal sebentar lagi. Kopernya terbuka lebar. Beberapa lembar pakaian sudah masuk di sana.

Mandala sudah berpesan kan kalau satu hari sebelum hari pernikahan, Dea sudah harus pindah ke rumahnya.

"Lupakan semua, Dea! Fokus! Pak Mandala memang tampan dan kaya, tapi dia nggak punya hati. Galak pula, temperamental, kejam. Buang rasa simpatimu. Jangan jatuh cinta."

Amadea lalu memiringkan kepalanya dan menutupnya dengan bantal.

"Ah sial banget, sih! Makin coba dilupain malah makin kepikiran!" Amadea menjerit dalam hati.

Tak dipungkiri, Mandala adalah pria pertama yang berkontak fisik sedekat itu dengannya.

Amadea meraba bibirnya. Masih bisa ia rasakan ketika bibir sucinya menyentuh kulit pria bertangan satu itu.

Belum lagi panggilan mesranya, sentuhannya pada pundaknya, genggaman tangannya...

"Itu cuma akting Dea! Dia cuma pura-pura! Jangan terbawa perasaan!"

Amadea dengan segala gejolak perasaannya yang tak terkendali itu mencoba memejamkan mata.

***

Berbeda dengan Amadea yang merisaukan perasaannya, Mandala justru termenung di meja kerjanya sambil memandangi foto Dea di handphone-nya.

Ya, tadi Mandala mengirim pesan pada Renda dan meminta foto Dea yang diambil diam-diam ketika mencoba gaun pengantinnya.

"Memang cantik sih anak ini. Dari awal masuk ruanganku dan kuwawancarai sambil kubentak-bentak, anak ini bahkan masih kuat menatapku dan bilang sanggup bekerja untuk atasan kejam sepertiku." Mandala menggumam sendiri.

Pria itu ingat momen pertama kali ia bertemu dengan Dea. Waktu itu jelas Mandala masih menjalin hubungan dengan Meirika.

Foto itu masih ia pandangi. Entah sudah berapa menit berlalu dan ia belum bosan.

"Dea, Dea. Selain Fanda yang sudah resign karena menikah itu, cuma kamu yang bertahan lebih dari 2 bulan kerja sama saya. Tinggal menghitung hari, kamu akan jadi istri saya.

Rasanya aneh. Saya nggak bisa lagi bentak-bentak kamu dan marah-marah tidak jelas. Sejak hari itu di rumah sakit dan kamu bilang sanggup menikahi saya, entah kenapa kamu terlihat lebih menarik.

Anehnya lagi, sakit hati saya ke Meirika seolah tak penting lagi. Dia hanya kesalahan kecil di masa lalu. Saya terlalu percaya mulut manisnya. Saya lupa dia aktris yang bisa berakting, bahkan di dunia nyata. Dia palsu. Dia tidak cinta sama saya. Dia cuma cinta fisik dan harta saya.

Kamu... Kamu berbeda Dea. Kamu tulus... Kamu polos... Heran saya ternyata di ibukota yang semodern ini masih ada gadis yang menjaga dirinya dan berprisnip seperti kamu. Kamu bahkan rela berkorban demi keluarga yang menyakiti kamu..."

Kring... kring...!

Telepon di mejanya tiba-tiba berbunyi. Lamunan Mandala buyar seketika.

"Ya, halo? Siapa kamu bilang? Maya? Ah, dia managernya Meirika. Ngapain dia nyari tahu identitas Dea lewat orang kantor? Jangan kasih tahu info apapun! Data diri karyawan itu rahasia perusahaan. Terlebih Dea akan menjadi istri saya sebentar lagi."

Mandala lalu menutup panggilannya dan tersenyum sinis.

"Pasti Mey yang nyuruh. Bisa-bisanya sebodoh itu dia nyari tahu lewat orang kantor. Dipikir saya nggak tahu apa. Nggak cukup saya blokir semua kontak kamu, Mey!

Walau kemarin kamu bilang menyesal dan minta kembali, tapi saya nggak akan sudi. Sampai kapanpun!" bisik Mandala dengan geram lalu ia kembali membuka handphone-nya dan menatap foto Dea.

Herannya ia langsung tersenyum.

"Ah! Kalau dipikir-pikir kita belum punya foto pra wedding. Itu memang tidak terlalu penting. Tapi..."

Mandala tiba-tiba menyunggingkan senyumnya dan menelpon seseorang.

"Karen, siapin foto pra wedding buat besok. Yang terbaik yang besok bisa kamu beli jadwalnya. Tak masalah dia mau minta dibayar berapa.

Satu lagi. Hubungi Dea, ya. Kasih tahu soal rencana ini. Mulai besok dia sudah nggak saya suruh ngantor lagi. Oke?"

Senyum Mandala makin cerah.

Bisa ia bayangkan besok ia akan menghadapi pipi merah Dea dan wajah malu-malunya.

Mandala tak sadar, benih-benih perasaan itu makin subur di hatinya ...

BERSAMBUNG ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!