Undangan Mantan

Renda Bachtiar menunduk agak malu sekaligus tegang karena Mandala menyindir dirinya yang mengintip tadi.

Mereka sedang berada di kamar pribadi Mandala, yang letaknya tepat di samping kamar yang dipakai Amadea tadi.

Mandala masih memasang wajah masam sementara dua staff Renda membantunya melepas pakaian yang akan ia pakai di hari pernikahan itu.

Mandala tidak ingin mereka yang membantu melepaskan. Ia ingin Renda sendiri yang membantunya melepaskan pakaiannya agar designer kondang itu melihat bekas lipstik Amadea di lehernya.

"Sudah menyingkir dulu kalian. Saya mau ngomong sama boss kalian. Renda, sini!" Mandala berseru.

Renda Bachtiar tampak maju perlahan sambil menunduk seakan hendak menghadap algojo.

"Meirika menemui kamu, kan? Ngaku! Kamu mungkin cuma ngaku sama saya kalau nggak ngangkat telepon dia, tapi saya kenal banget dan tahu Meirika itu bagaimana orangnya. Dia pasti mendatangi butik kamu, kan? Apa katanya?" Mandala yang masih berdiri menatap tajam ke arah Renda.

Dua staff yang diminta menyingkir tadi tampak berdiri di belakang tubuh gempal Renda seolah ingin meminta perlindungan.

Mereka yang tidak biasa berinteraksi langsung dengan Mandala dan melihatnya kelakuannya ketika marah, tentu akan syok seperti ini.

Mata tajam Mandala, suara beratnya, nada dinginnya, gesture angkuhnya; benar-benar paket komplit untuk membuat pegawai bermental lemah terkencing-kencing ketakutan.

Renda yang dulunya selalu bersikap santai ketika mengerjakan rancangan untuk pernikahan ini karena akrab dengan Meirika sampai mundur-mundur ketakutan.

"Jawab saya Renda! Saya loh yang bayar kamu sejak awal. Bukan Meirika. Kamu ngadu apa sama dia sampai tadi ngintip-ngintip? Hah! Jawab!" Mandala pura-pura marah. Ia tahu trik untuk memancing orang agar jujur salah satunya adalah dengan semi dimainkan mental takutnya begini agar mengaku.

"Ng--nggak ngadu, Pak. Meirika cuma bertanya kenapa saya masih melanjutkan pengerjaan gaunnya sampai selesai, padahal kan dia nggak jadi menikah sama Bapak.

Sa--saya cuma jawab nggak tahu karena saya cuma ikutin perintah Bapak. T--tapi kebetulan waktu Bapak nelpon saya dan menyuruh saya ke sini hari ini karena akan fitting baju dengan calon mempelai wanita, Meirika ada di sana, Pak.

Meirika rebut handphone saya dan nyalain loadspeaker. J--jadi dia minta saya memata-matai dan memberi tahu siapa calon istri baru Bapak yang menggantikan dia."

Akhirnya dengan nafas memburu karena menahan takut, Renda Bachtiar jujur juga.

Mandala ingin tertawa mendengar semua ini. Tawa puas karena ternyata Meirika yang sempat ia cintai itu masih penasaran dengan hidupnya.

Oh! Tak ingatkan wanita itu saat menjenguknya di rumah sakit setelah tangannya diamputasi? Ya, Meirika memandangnya dengan tatapan menghina lalu melempar cincin yang Mandala berikan.

"Kita batalain semuanya. Saya nggak mau nikah sama orang cacat! Saya artis, Mandala! Saya sedang bersinar dan akan disorot. Sekalipun kamu kaya sekali, tapi itu nggak cukup. Kita putus!"

Bahkan tak ada panggilan sayang atau nada manja mendayu-dayu lagi seperti biasanya kalau wanita matrealistis itu sedang meminta sesuatu yang mahal padanya. Meirika menggunakan bahasa formal dan sikapnya sedingin es.

Kini saat mengingat momen itu hati Mandala tak sedih atau marah lagi. Ia justru merasa itu lucu karena sekarang Meirika kelabakan memata-matainya.

"Mana handphone kamu! Kamu diam-diam sempat mengambil foto Dea kan tadi? Pasti itu! Saya tahu Meirika pasti memintanya. Dia cemas ada yang lebih cantik dari dia! Mana!" Mandala seolah bisa membaca trik busuk itu.

Renda menunduk. Ia mati kutu.

Sial! Kenapa Mandala bisa tahu sih!

"M--maaf, Pak. Tapi Meirika mengancam saya bakal nyebarin rumor jelek soal saya. Saya sekarang jarang muncul di TV. Meirika dekat sama petinggi-petinggi TV. Saya takut karir saya padam karena ulah Meirika.

Jadi saya tadi suruh staff saya yang bantu Bu Dea mengepas gaun buat ambil fotonya. T--tapi akan saya hapus fotonya, Pak. M--maaf." Renda menjawab terbata.

Mandala tersenyum penuh kemenangan.

Nah! Benar, kan!

Mandala memang punya insting tajam dan sulit mempercayai orang.

Orang terakhir yang ia percaya adalah Meirika. Memang manis tutur kata wanita itu. Ia pikir Meirika sungguhan mencintainya. Eh, ternyata...

"Jangan dihapus dulu fotonya! Mana saya mau lihat dulu." Mandala berkata dengan ketus lalu berjalan maju selangkah mendekati Renda yang tampak gugup memegang handphone-nya sendiri.

"I--ini, Pak. Cuma dua foto. Yang satu sebelum ganti baju. Yang satu pas Bu Dea sudah pakai gaun pengantinnya." Renda dengan tangan gemetar menunjukkan chat dengan staff-nya.

Ya, foto itu tadi langsung dikirim ke handphone Renda.

Mata Mandala terpana juga melihat Dea dalam foto begini. Bahkan ia tak berpose dan fotonya diambil diam-diam. Tapi aura kecantikan dan keanggunan yang sulit dijelaskan terpancar dari wajah manisnya.

"Bagus fotonya. Jangan dihapus. Kirim aja ke Meirika. Dia yang nyuruh, kan? Biar dia tahu duluan calon istri saya secantik apa.

Toh saya nggak pernah nutup-nutupin. Saya bangga punya calon istri yang cantik, berpendidikan, tidak mempermasalahkan kecacatan saya, tidak matrealistis." Mandala lalu tertawa.

Renda dibuat bingung.

Loh! Tadi marah, tapi sekarang malah disuruh kirim fotonya ke Meirika.

Wajah Mandala tampak santai sekarang. Renda dan dua staff-nya masih melongo sambil berdiri karena bingung dengan perubahan sikap Mandala yang drastis.

"Maksudnya gimana ya, Pak?" Renda masih memegangi handphone-nya dengan ekspresi bingung.

"Kirim aja fotonya ke Meirika. Tapi jangan bilang saya yang nyuruh. Toh besok wajah Dea akan terpampang dimana-mana, kok. Anggap saja Meirika beruntung karena tahu duluan.

Sudah sana kirim terus bantu saya lepas baju. Pastikan bagian yang tadi dirombak ya untuk menyesuaikan tangan kiri saya." Mandala tampak santai.

Renda yang tak habis pikir hanya bisa melongo lalu dengan cepat menyimpan handphone-nya dan maju mendekat ke arah Mandala untuk membantunya melepas baju.

Renda yang sudah agak rileks sekarang karena Mandala tak marah-marah lagi itu dibuat syok lagi hingga gerakan tangannya terhenti.

Mandala memasang wajah datar. Ia tahu betul kenapa Renda yang tadinya gesit membantunya melepas jas jadi bengong begini. Pasti Renda sudah melihat noda lipstik di lehernya.

"Baguslah," gumam Mandala dalam hati.

Wajahnya ingin tersenyum penuh kemenangan membayangkan betapa syok-nya Meirika nanti begitu Renda melapor soal bekas noda lipstik ini.

"Kenapa, Ren? Kok berhenti." Mandala berdehem lalu memutar tubuhnya hingga ia bisa melihat dengan jelas wajah melongo Renda yang lucu itu.

"Eng--enggak papa, Pak. Cuma kemeja putihnya kena noda lipstik sedikit. T--tapi tenang. Bisa saya urus nanti." Renda langsung lanjut bekerja lagi.

Mandala tertawa pelan. Ia mengangkat tangan kirinya agar luka operasinya tidak tergesek pakaian yang dilepas Renda.

"Oh, pasti Dea tadi. Sorry sorry ya, Ren. Saya sama Dea kadang nggak tahu tempat. Maklum lagi kasmaran dan nggak sabaran. Padahal sebentar lagi kita nikah." Mandala menjawab sambil tertawa lagi.

Renda hanya bisa pura-pura ikut tertawa padahal otaknya berputar-putar berpikir. "Kira-kira soal ini harus dilaporkan nggak ya sama Meirika? Dia pasti syok!"

Mandala yang sedang memakai pakaiannya lagi tadi mengernyitkan alis ketika Renda yang sudah selesai melakukan tugasnya tak ikut keluar dari kamarnya seperti staff-nya.

"Apa lagi, Renda?" Mandala bertanya dengan nada santai.

"Ng--nggak papa, Pak. Cuma mau nanya. Nanti waktu pesta pernikahan, Meirika diundang tidak ya? Apa Bapak ngasih dia izin datang?

I--ini bukan dia yang nyuruh, kok. Sumpah, Pak! Saya nanya sendiri karena penasaran." Renda bertanya dengan nekatnya.

Apa Mandala akan mengundang Meirika?

BERSAMBUNG ...

_____

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!