Suami Cacat

Riris Sayuti, perempuan paruh baya yang masih suka berdandan menor itu tampak menatap kesal pada putrinya.

Dea diam saja. Ia pura-pura sibuk dengan handphone-nya. Minuman yang sudah duluan ia pesan ia diamkan saja sampai gelasnya berembun.

"Mana katanya pacar kamu mau datang jam 10. Ini udah lewat 5 menit, loh." Ibu kandung dari Dea itu tampak kesal.

"Kan Dea udah bilang, Bu. Mas Mandala agak telat. Sopirnya tadi sakit perut." Amadea menjawab dengan sisa-sisa kesabarannya.

Wow! Mas Mandala.

Ya akhirnya mereka memutuskan bahwa untuk ke depannya, Dea akan memanggil Mandala dengan sebutan 'Mas.'

Ya, rasanya itu panggilan paling tepat mengingat bulu kuduk Dea merinding setengah mati saat Mandala memaksanya memanggilnya dengan sebutan 'sayang.'

"Dia punya sopir? Sopir beneran? Apa sopir taksi?" Ibu Dea bertanya menyelidik.

Riris Sayuti adalah wanita matrealistis yang jelas lebih tertarik jika mengetahui bahwa ternyata calon suami putrinya adalah orang kaya.

"Ya--, mmm ada lah, Bu. Sopir kantor. Kan aku udah bilang kita sekantor," jawab Dea agak gugup.

Sejak beberapa hari yang lalu ia mengabarkan berita mengejutkan dan membuat ibunya marah-marah, Dea memang belum memberikan info kalau Mandala bukan sekedar calon suami biasa. Calon menantu ibunya itu adalah sosok yang namanya bisa dicari di internet.

Dea tak mau ibunya heboh dan curiga. Makannya ia agak menahan semua informasi ini sedikit demi sedikit.

"Kok kamu nggak dapat fasilitas sopir juga kayak dia? Berarti calon suami kamu itu punya jabatan lebih tinggi, dong." Mata Ibu Dea berninar antusias.

Dea menggeleng dengan malas-malasan.

Ingin rasanya ia menjawab, "Bukan cuma punya jabatan tinggi, Bu. Mandala Barata itu yang punya perusahaan."

"Kamu sih nggak bilang lengkap. Cuma bilang mau nikah mendadak. Ibu kan jadi berprasangka. Harusnya kamu bilang kalau pacaran udah lama." Ibu Dea mencibir.

Dea menunduk. Ia tak mau bicara makin panjang lebar dengan ibunya. Ia alihkan perhatain dengan mengambil sedotan dan mulai minum es kopi yang ia pesan lima belas menit yang lalu itu.

"Gimana Dea mau bilang. Ibu selalu marah tiap Dea dekat sama cowok. Pakai nuduh-nuduh Dea lagi. Dea malu tau Bu dibawa ke klinik Tante Rini. Padahal kurang bukti apa coba. Dea udah testpack dan buktiin kalau Dea mau nikah dadakan bukan karena hamil duluan.

Tante Rini sampai kaget. Dibilang aku nggak hamil. Aku sama Mas Mandala mau nikah karena aku mau tinggal sama dia setelah kita nikah. Dia lagi sakit dan aku pengin rawat dia. Nantinya aku resign kerja."

Dea melirik sebentar. Ia ingin melihat respon ibunya soal ia menyebut kata 'resign.'

"Hah? Kamu mau resign?" Ibu Dea hampir tersedak.

Dea buru-buru memberi kode dengan meletakkan telunjuknya pada bibir agar ibunya tidak bersuara terlalu keras karena pengunjung resto ini lumayan ramai.

"Iya. Dea mau resign dan pindah dari rumah. Dea capek selalu berdebat sama Ibu soal Om Alik. Sampai detik ini Ibu belum mau laporin Om Alik ke kantor polisi kan atas tuduhan penipuan.

Ibu juga belum mengajukan tuntutan cerai. Aku capek, Bu. Terserah sekarang Ibu mau diam-diam masih hubungin Om Alik. Aku nggak peduli. Pokoknya pas aku nikah nanti aku nggak mau orang itu datang!" Dea jadi makin berani. Padahal sebelumnya mana ia seberani ini menantang ibunya.

Riris Sayuti yang hendak marah jadi terbungkam karena ia sadar putrinya pantas kesal padanya.

Maklum puber kedua membuatnya buta karena terjerat rayu-rayu pria penipu bernama Alik itu. Waktu menikah kedua kali kan Alik mengaku kalau ia pengusaha. Ternyata ia tertipu.

"Kalau kamu resign dari kantor terus tagihan utang Ibu gimana, De. Baru tenang kita beberapa hari terakhir ini setelah kamu bayar tagihan. Kamu gajiannya lama, sih.

Masih ada berapa tahun lagi loh kita harus angsur utang itu beserta bunganya. Uang pensiunan ayah kamu cuma cukup buat Ibu makan sehari-hari.

Tega ya kamu. Kamu nggak inget Ibu yang besarin dan biayain kamu sampai kamu seperti sekarang ini." Ibu Dea berkata pelan setengah berbisik tapi nadanya panik.

Dea membuang muka menatap jendela, berharap Mandala segera datang dan menyelamatkan situasi.

"Mas Mandala udah janji kok sama aku buat bayarin angsuran setiap bulan. Ingat ya, Bu. Cuma angsuran. Nggak lebih. Uang pensiun ayah lebih dari cukup buat kebutuhan Ibu kalau Ibu nggak boros dan ikut arisan teman-teman Ibu yang nggak jelas itu." Amadea kini menatap ibunya dengan tatapan serius.

Ya, bukannya durhaka tapi ia hanya ingin mengubah kebiasaan buruk mamanya selama ini yang termakan gengsi juga suka foya-foya.

Idenya sendiri juga soal menyanggupi mengangsur utang tiap bulan dibandingkan melunasinya sekaligus sekalian. Ia ingin ibunya tahu konsekuensi.

Apalagi ia makin kesal karena ibunya sepertinya masih cinta pada pria penipu itu.

"Lagian utang itu kan bukan tanggung jawab aku, Bu. Kan atas nama Ibu. Ibu cari deh tuh suami Ibu. Suruh dia yang lunasin. Kan dia yang pakai uangnya. Mas Mandala udah terlalu baik nerima kondisi aku yang tiap bulan harus angsur utang Ibu. Dia bahkan janji mau gantiin aku bayar tiap bulan." Amadea menambahkan lagi.

Riris Sayuti rupanya kurang puas dengan jawaban Dea. Dea adalah sapi perahnya. Kalau Dea resign kerja, ia mau minta uang pada siapa?

"Yakin calon kamu itu nggak bohong? Gimana kalau setelah nikah dia nggak kasih kamu uang. Kamu tetap kerja, deh. Emang nggak boleh kalau menikah dengan rekan satu kantor? Kalau gitu kamu lamar kerja di kantor lain, dong." Ibu Dea berkata dengan nada memaksa seperti biasa.

Dea menatap ibunya dengan tatapan tak percaya.

"Mas Mandala nggak mungkin bohong, Bu. Aku kan udah bilang Mas Mandala abis kecelakaan dan sakit. Aku mau rawat dan urus dia makannya aku resign." Dea malas berdebat tapi gemas juga kalau membiarkan ibunya memojokkannya begini.

"Ah, kamu! Sakit apa sih dia! Kamu dari kemarin ngomongnya nggak jelas. Lagian udah kuliah tinggi-tingi tuh harusnya kamu kerja. Jadi wanita karir. Masak malah..."

"Bu! Ibu juga sejak lulus kuliah nikah sama ayah dan nggak pernah kerja atau ngantor sama sekali. Memang salah kalau aku juga pengin kayak Ibu. Fokus urus suami." Dea memotong pembicaraan ibunya dan menatap dengan berani.

Riris Sayuti mati kutu.

Amadea Kasea jelas bersorak dalam hati karena menang mendebat ibunya yang selama ini selalu menyalahkannya atas apapun. Bahkan atas sesuatu yang bukan salahnya.

Mata Ibu dan anak itu bertemu dan menatap dengan tatapan sama-sama sengit.

Sungguh sejak ibunya menikah lagi dengan lelaki kurang ajar itu, Dea sudah tak peduli lagi dikatai anak durhaka karena melawan Ibu.

"Hai Sayang, sorry telat. Tadi Pak Dirman sakit perut. Oh, halo Tante. Kenalkan saya Mandala, calonnya Dea." Sebuah suara berat dan khas tiba-tiba membuyarkan tatapan sengit pasangan Ibu anak itu.

Baik Dea maupun ibunya sama-sama tersentak dan menoleh.

Riris Sayuti menoleh dengan terkejut lalu berdiri. Ia menatap Mandala yang tahu-tahu sudah berdiri di samping Dea dari ujung kepala hingga ujung kaki macam mesin pemindai.

Matanya menatap tajam.

"Tangan kamu... Tangan kamu kenapa?" Riris Sayuti bertanya tanpa basa-basi.

Mandala mengangkat bahu dan menjawab santai. "Kecelakaan, Tante."

"Terus...  Itu..."

"Ya, tangan kiri saya dari siku ke bawah diamputasi," jawab Mandala tanpa ragu sedikit pun.

Wajah Ibu Dea tampak marah. Ia menatap Dea yang tertunduk menatap meja.

"Dea! Kok berani-beraninya kamu nggak bilang sama Ibu kalau calon suami kamu cacat!" Suara agak berbisik itu terdengar menghina dan jijik.

Mandala tak bereaksi. Ia tetap berdiri seperti patung tampan.

BERSAMBUNG...

_____

JANGAN LUPA tinggalkanan jejak LIKE dan KOMENTAR, ya.🥰

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!