Meirika tampak kesal. Kacamata hitamnya yang tadinya ia tenteng di tangan ia masukkan ke dalam tas mahalnya.
Kalau tidak salah tas ratusan juta ini juga ia dapatkan dari hasil memoroti uang Mandala yang tak berseri dan kartunya yang limitnya tak terbatas itu.
Meirika kini berkacak pinggang dengan tatapan gemas. Ia tahu Mandala membohonginya. Setidaknya itulah yang ia yakini.
"Mandala, saya kenal kamu ya! Nggak gampang bikin kamu jatuh cinta. Apalagi hatimu dingin dan sekeras batu. Kamu baru saja saya campakan, tapi bisa-bisanya dalam beberapa minggu kamu mendapatkan calon mempelai pengganti.
Pasti gadis itu kamu bayar, kan? Iya, kan? Biar rencana pernikahan kita yang sudah hampir mendekati hari H tetap berlanjut? Iya, kan? Nggak usah sok mesra di depan saya. Pasti ini cuma sandiwara. Iya, kan?
Mandala, please. Sudahi semua ini. Kita balikan. Kita tetap lanjutkan pernikahan ini. Gaun pengantin aku sudah siap, kan? Kita yang seharusnya melakukan sesi foto pra wedding ini. Bukan kamu sama dia!" Meirika tampak mulai gusar. Matanya berkaca-kaca sambil semi berteriak.
Mandala bukannya kasihan, tapi ia justru tertawa.
Oh, perempuan licik! Bisa-bisanya ia yang menyakiti tapi sekarang bersikap seolah ia yang jadi korbannya.
Dea tak banyak bicara. Tapi tangannya tak sadar menggenggam tangan kanan Mandala karena situasi tegang yang menuntutnya berakting mendadak ini membuatnya sedikit tertekan.
Mandala membiarkan saja tangan lembut itu menggenggam tangannya.
"Meirika, berhenti merasa sok paling tersakiti. Ingat kata-kata yang kamu bilang waktu saya sekarat sehabis kehilangan tangan kiri saya di meja operasi. Bahwa hubungan kita berakhir dan kita tidak saling kenal lagi satu sama lain. Bahkan kamu menatap saya saja tidak waktu itu. Ingat kan bagaimana kamu memandang saya dengan tatapan jijik?
Saya mengikuti kata-kata kamu dan membuang kamu dari hidup saya. Lalu saya yang terluka terkesan dengan perhatian Dea terhadap saya lalu jatuh cinta. Saya nggak mau membuang waktu dan memutuskan menikahi dia." Mandala berkata dengan suara serius.
Dea bisa melihat kilatan mata kecewa Meirika. Selebriti cantik itu mungkin berpikir Mandala akan luluh lagi padanya.
"Dia bukan pengganti kamu, Meirika. Dea lebih dari itu. Saya menikahi Amadea karena hati saya yang memilih dia. Dan dia juga memilih saya. Kami saling jatuh cinta.
Kamu nggak ngerti cinta karena dari awal kamu memang nggak cinta sama saya. Kamu hanya ingin menaklukkan hati saya karena saya cukup terpandang untuk kamu jadikan suami. Karena saya cukup kaya untuk bisa kamu manfaatkan demi kehidupan glamour kamu itu.
Setelah saya cacat kamu minta putus. Saya turuti tapi sekarang kamu bertingkah begini. Menyingkir saja dari kami. Kamu kan yang selalu bilang kalau nama baik kamu itu penting sampai hubungan kita aja nggak pernah kamu publish.
Sekarang saya dengan bangga akan memperkenalkan istri saya pada dunia. Amadea Kasea jelas tidak selevel sama kamu. Bahkan kalian tidak bisa dibandingkan. Dia tulus, tidak matrealistis, menyayangi dan menerima saya apa adanya. Dia tidak malu punya suami cacat!" Mandala mengucapkan kata-kata itu dengan lantang.
Mata Meirika berkaca-kaca. Tapi itu bukan tatapan mata sedih, tapi tatapan marah sekaligus kecewa.
"Kamu pergi dari sini sekarang atau saya panggil satpam buat ngusir kamu!" Mandala berkata dengan tegas sambil menatap Maya yang dari kejauhan tampak berlari-lari menghampiri mereka.
Meirika masih diam di tempat seolah tidak terima dengan semua ini. Hingga ketika Maya menarik tangannya dan memintanya pergi, tubuh ramping itu masih berdiri di tempat.
"Maya! Bawa artis kamu ini pergi dari sini. Oh, ya! Satu lagi! Jangan coba-coba mencari tahu dengan lancang soal calon istri saya! Saya awasi kalian, ya! Berani kalian usik Dea, saya balas kalian!" Mandala berkata dengan suara beratnya yang terdengar begitu mengerikan saat marah.
Maya menarik tangan Meirika pergi meninggalkan Mandala dan Dea yang masih berdiri di atas rumput hijau itu.
Meirika menatap Mandala dan Dea dengan tatapan tak terima, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa.
Ia tahu semua ini terjadi karena keputusan bodohnya. Dan ia menyesali itu...
***
Sesi pemotretan kembali dilanjutkan.
Mandala meminta make up artist memperbaiki riasan Amadea karena suasana tegang tadi membuat dahinya sedikit berkeringat.
Sembari menunggu semuanya siap lagi Mandala berdehem lalu menatap semua orang.
Karen si sekretaris baru pengganti Dea tampak menyusul dengan bingung karena semua orang tampak tegang seperti bekerja di bawah tekanan.
Apa Pak Mandala habis mengomel? Karen membatin karena paham betul bagaimana watak boss-nya itu.
Karen sebenarnya bukan pegawai baru juga. Sebelumnya ia sudah setahun ada di divisi lain jadi kurang lebih tahu bagaimana kelakuan Mandala dan amarahnya yang kalau sudah meledak bisa membuat orang ketakutan.
Karen dinilai cukup tahan banting maka ia direkomendasikan untuk menggantikan Dea. Karen bukannya senang, ia mau karena tak ada pilihan. Daripada kontrak kerjanya habis, lebih baik mencoba menerima tawaran menjadi sekretaris pria galak ini.
Lumayan gajinya besar, walau harus bekerja di bawah tekanan tinggi. Tapi mengingat betapa sulitnya mencari pekerjaan di luar sana, inilah pilihan yang harus ia telan pahit dan manisnya.
"Karen, di kontrak kerja sama nanti dikasih poin tambahan ya. Tulis kalau di antara mereka semua ada yang bermulut dan bertangan lancang membahas atau merekam kedatangan Meirika ke sini, maka mereka akan saya tuntut dan saya suruh bayar denda." Mandala tiba-tiba berkata dengan nada tegasnya lagi.
Sungguh kalau nada suaranya sudah begini, Amadea pun seperti tidak percaya kalau Mandala bisa memanggilnya 'sayang' dengan nada mesra.
"M--maksunya, Pak?" Karen yang baru datang itu tampak bingung. Terlebih ia melihat semua crew pemotretan menunduk.
"Udah tulis aja. Mereka ngerti, kok. Oh, ya. Sebagai hadiah karena bungkam dan pura-pura tak mendengar semua percakapan kami tadi, maka kalian saya beri bonus. Honor kalian jadi dua kali lipat dari perjanjian awal." Mandala menatap semua orang.
Para crew, bahkan fotografer itu mengangkat wajah mereka dan menatap Mandala dengan tatapan tak percaya.
Mandala mengangkat bahu dan tersenyum dengan gayanya yang khas : tetap terlihat dingin dan menyeramkan.
"Saya sangat menghargai orang yang bisa menjaga mulut," katanya lagi bertepatan dengan Amadea yang sudah selesai make up lagi.
Amadea hanya bisa berjalan dengan kaku menghampiri Mandala. Mandala tersenyum padanya.
"Ayo, Sayangku. Kita selesaikan ini dengan cepat. Jangan tegang. Anggap mereka tidak ada. Kita mesra saja seperti kalau kita sedang berduaan di kantor." Mandala bersuara agak keras sembari merangkul pundak Amadea.
Ia sengaja mengatakan ini untuk membentuk persepsi para crew itu kalau mereka memang mesra sungguhan.
Amadea tampak canggung tapi tatapan mata Mandala yang mematikan dengan pesonanya membuat seolah semua ini nyata.
Karen menyingkir sambil mengamati dari jauh. Matanya sempat bertemu dengan mata Dea.
"Ya ampun mesra seperti biasa sewaktu di kantor? Mesra dari Hongkong? Aku saksi nyata bagaimana Pak Mandala mengomeli Dea sampai anak itu nangis-nangis di toilet kantor.
Nggak ngerti apa perjanjian di antara mereka soal pernikahan mengejutkan ini, tapi kuakui sih mental Dea kuat sekali. Menghadapi Pak Mandala sebagai boss saja rasanya melelahkan dan traumatis. Apalagi menghadapi dia sebagai suami.
Good luck, Dea. Sayangnya kamu nggak akan ngantor lagi setelah menikah nanti..." Karen membatin dalam hati dengan tatapan setengah iba pada Dea yang sedang berpose mesra dengan Mandala.
Berbagai pose ditangkap oleh kamera profesional fotografer kenamaan itu.
Dea dan Mandala entah kenapa terlihat begitu serasi walau awalnya tampak kaku.
Dea bahkan tersenyum dan menatap Mandala seolah ia memang memuja dan mengagumi pria itu.
Mandala pun menatap Dea seperti ia jatuh cinta sungguhan. Entah mungkin dalam hati ia mengagumi paras Dea dan aura ketulusan yang terpancar dari matanya.
Setiap perpindahan gerakan itu terlihat natural. Rasanya seperti melihat sepasang kekasih yang sedang menari di bawah bulan.
Gerakan tangan Dea selalu berusaha melindungi tangan kiri Mandala dan lukanya. Mereka jadi kelihatan sempurna, saling melengkapi, saling menutupi.
Karen yang tadinya membatin sangsi kini tampak membuka mulutnya dengan tatapan bingung sekaligus kagum.
"Apa mereka jatuh cinta sungguhan?"
Sungguh, pertanyaan itu tidak hanya bersemayam di hati Karen, tapi juga di dalam hati Dea sendiri diam-diam.
Kenapa dadanya berdebar dan jantungnya melonjak seperti orang jatuh cinta? Apa ini hanya perasaan gugup saja atau...
Hingga akhirnya wajah Mandala makin dekat ke arah wajah Dea. Fotografer bersemangat memuji pose ini dan meminta mereka mempertahankannya.
Dea lagi-lagi memjamkan mata ketika nafas Mandala menyapu wajahnya.
Akankah mereka...
BERSAMBUNG ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments