Mandala Batara menatap mata yang terpejam itu. Oh, begitu polos.
"Amadea Kasea, kenapa setelah bertemu kamu, luka saya, sakit hati saya, ketakutan saya menjalani hidup dengan satu tangan; menjadi hilang seketika? Kenapa? Saya juga nggak tahu..."
Mandala terus menatap mata yang terpejam itu hingga ia lupa diri. Ia terbawa suasana. Ia makin mendekatkan wajahnya makin dekat lagi dan...
"Cukup! Bagus! Hasilnya bagus!" Teriakan sang fotografer membuat Mandala kembali pada realita.
Oh, andai teriakan itu tak pernah terjadi, mungkin Mandala sudah...
"Selesai?" Mandala bertanya dengan nada sok biasa saja padahal kesal juga ciuman pertamanya dengan Dea diinterupsi.
Mata Dea pun terbuka. Mata indah itu bertemu dengan tatapan mata mendalam Mandala. Wajah Dea memerah tersipu. Mandala spontan melepaskan rengkuhan mesra itu.
Cut!
Ibaratnya sang sutradara menyudahi sandiwara ini, maka semua adegan mesra tadi berakhir.
"Kamu jangan langsung pulang, ya. Nanti kamu ke rumah. Ada Adit sama Vina yang akan menemui kamu. Dia yang akan mengurus semua keperluan kamar baru kamu.
Saya akan kembali ke kantor. Telpon saya ya kalau ada apa-apa. Biar kamu diantar Pak Tono. Dia sudah menunggu di depan." Mandala berkata dengan manis sambil membelai rambut Amadea Kasea.
Ya, rupanya walau sandiwara sudah berakhir, Mandala ingin memberikan sentuhan terakhir dari semua kisah manis ini. Tujuannya jelas : agar para crew dan semua orang yang terlibat di sesi pemotretan ini menganggap mereka romantis dan manis. Agar mereka percaya kalau ini sungguhan. Kalau ini betulan.
Amadea Kasea merasakan segerombolan kupu-kupu beterbangan makin resah di perutnya. Ia melilit oleh nuansa aneh ini.
Belaian lembut Mandala di kepalanya terasa nyata. Tak sadar ia hanya mengangguk.
Mandala pergi bagaikan angin. Ia begitu gesit. Kehilangan satu tangan ternyata tidak membuatnya banyak berubah. Hanya saja segala aktifitas yang memerlukan gerakan tangannya membuatnya sedikit lambat karena perlu penyesuaian diri.
Amadea melepas pakaiannya dan menggantinya dengan pakaiannya yang tadi. Di depan cermin itu tangannya bergerak merapikan rambutnya tapi otaknya kosong. Otaknya terasa hampa. Isinya hanya angin dan nama Mandala dimana-mana.
Adegan manis sejak sandiwara nikah pura-pura itu seolah menjelma menjadi fotonya film romantis di kepalanya. Hingga ketika pintu ruang gantinya diketuk, Amadea baru kembali ke dunia nyatanya.
"Bu Dea, Pak Tono menunggu di depan." Wanita berambut cepak tadi menyambutnya dengan senyum sumringah di depan pintu.
Amadea mengangguk dan membalas senyuman itu. Ia tahu Pak Tono adalah salah satu sopir pribadi Mandala. Ia tahu ia akan diantar Pak Tono. Tapi diantar ke mana ia lupa.
Tadi sewaktu Mandala berbicara padanya sambil mengelus kepalanya, Dea terlalu fokus menikmati sensasi sentuhan itu hingga semua kata-kata Mandala berlalu bagai angin di telinganya.
Mobil terus melaju. Amadea duduk di belakang kemudi sambil memandangi jendela dengan wajah ceria. Bibirnya tak henti-hentinya menyunggingkan senyum.
***
"Sudah sampai Bu Dea." Pak Tono menyapa.
Biasanya pria berambut putih itu memanggil Dea dengan sebutan Mbak. Tapi entah kini ia memanggil Dea dengan sebutan Bu.
Entah mungkin karena Mandala yang menyuruh begitu, atau Pak Tono yang berinisiatif sendiri karena tahu Dea sebentar lagi akan menjadi Nyonya Mandala.
Amadea tampak bingung. Ia terlalu asyik melamun hingga ia tak sadar ia bukannya diantar pulang ke rumahnya, tapi diantar pulang ke rumah Mandala.
"Loh, Pak. Kok ke sini?" Amadea tampak bingung.
Pak Tono ikutan bingung. "Loh saya cuma ngikutin perintah, Bu. Kata Pak Mandala saya disuruh antar Bu Dea ke sini karena mau meeting."
"Hah? Meeting?" Amadea makin bingung.
Pak Tono yang makin ikutan bingung lalu menujuk ke arah Adit dan Vina yang menunggu di depan pintu rumah megah itu.
"Katanya Pak Mandala, Bu Dea ada meeting dengan Pak Adit dan Bu Vina. Itu orangnya sudah menunggu." Pak Tono lagi-lagi menujuk ke arah pintu utama dimana pasangan suami istri itu berdiri.
Dea hanya mengangguk-angguk lalu cepat-cepat turun setelah mengucapkan terima kasih.
Mobil mewah yang disetiri Pak Tono itu kemudian melaju meninggalkan Dea yang berdiri dengan bingung.
"Aduh, Pak Mandala tadi ngomong apa, ya. Kok ada Adit sama Vina?" Dea membatin sambil tersenyum canggung saat mereka menghampirinya dengan wajah antusias.
"Hai, Dea..."
"Bu Dea, Dit." Vina menyenggol-nyenggol lengan suaminya.
Adit hanya nyengir.
"Oke. Bu Dea, bisa kita mulai meetingnya sekarang?" Adit tersenyum lebar.
Amadea Kasea yang menganggap Adit dan Vina posisinya sama dengannya itu jadi sungkan karena kini mereka berdua berubah. Adit dan Vina memperlakukan Dea seolah ia boss.
"Tunggu! Tunggu! Aku nggak ngerti. Kita meeting buat apa?" Dea tampak bingung.
Adit dan Vina saling berpandangan lalu tertawa.
Adit adalah seorang designer interior yang selalu Mandala pakai jasanya. Baik untuk rumah ini, kantornya, bahkan mini store untuk produk perusahaan pun selalu hasil kerja Adit.
Lalu Vina adalah seorang personal shopper. Pakaian, aksesori, dan semua hal yang Mandala pakai dari ujung kepala hingga ujung kaki itu hasil belanjaan Vina.
Ya, Vina yang selalu tahu dan paham betul apa yang dibutuhkan Mandala. Ia tahu selera pria kaya itu.
Bukan hanya Mandala saja sebenarnya Vina sempat bekerja. Ketika Mandala memacari Meirika Jayatri, otomatis Meirika ikut menggunakan jasa Vina dengan semana-mena. Maka ketika akhirnya mereka putus, Vina adalah salah satu orang yang senang.
***
Amadea Kasea duduk di meja kayu berukuran lebar itu dengan Adit dan Vina duduk di depannya.
"Tinggal pilih saja, Bu Dea. Jangan bingung." Adit menunjukkan beberapa konsep untuk kamar Dea nantinya.
Dea memegangi kepalanya dan mendadak merasa pusing.
"Dit! Pertama, jangan panggil aku Bu dulu, deh. Geli banget tau. Kita teman, loh. Kamu juga, Vin. Biasanya ketemu di kantor aja panggil Dea Dea doang. Jangan panggil aku Bu Dea!" Dea mulai kesal.
Adit dan Vina saling berpandangan lagi lalu mereka tertawa.
"Oke. Oke. Dea deh. Iya Dea. Pilih dulu yang mana. Cepat soalnya biar tim ku gerak cepat juga. Pak Mandala mau semuanya siap H-1 pernikahan karena dia pengen kamu sudah pindah ke sini di tanggal itu." Adit lalu kembali serius.
Di meja itu berjajar contoh gambar design interior yang Adit pernah kerjakan.
"Dit, biar apa sih begini. Biar apa? Perasaan kamar itu udah bagus dan baik-baik aja. Udahlah. Aku nggak perlu kayak gini." Dea tampak malas.
Adit kini yang jadinya kesal. "Dea, kalau kamu nggak mau pilih konsep yang mana, jadinya aku nggak kerja, dong. Nanti Pak Mandala marah. Aku dipecat. Cepat pilih sekarang. Yang mana aja, Dea! Please!"
Dea akhirnya menunjuk salah satu konsep kamar secara acak. Adit tertawa senang lalu berterima kasih.
Tapi ternyata urusan Adit belum selesai, Dea masih harus berurusan dengan Vina yang tak kalah memberinya banyak pilihan.
"Dea, aku nggak tertarik buat tahu kenapa bisa kamu mau menikah dengan boss galak kita. Yang jelas aku suka akhirnya kamu yang akan jadi Nyonya Mandala, bukan Meirika sialan itu.
Sekarang, kita mulai dari mana? Ya, dari tas dulu. Kamu mau pakai merk apa?" Vina menyodorkan aneka macam merk kenamaan yang satu tasnya saja mereka bisa menjual ratusan juta.
Amadea Kasea mulai menggeram frustasi. Apa lagi sih ini?
"Vin! Vin! Udah, Vin! Udah deh, Vin. Kamu yang pilihin semua. Aku angkat tangan." Amadea langsung menyerah.
Vina nyengir. "Oke. Tapi, Dea. Kamu nggak kepengen tahu berapa budget uang yang diberikan Mandala untuk ngebelanjain kamu? Kamu mau tahu?"
Dea menggeleng lemah. Ia benar-benar tak peduli.
"Ini..." Vina mengacungkan sebuah Black Card.
BERSAMBUNG ...
_____
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments