Tangan Kiri Sang Boss

Sambil memejamkan mata, berusaha meyakinkan dirinya sendiri, akhirnya Amadea mengangguk pelan dengan tangan tergenggam.

Bahkan tangan yang kini gugup itu meremas kain celana cokelat yang membungkus kaki indahnya. Ya, itulah kebiasaan Amadea ketika ia gugup. Tangannya akan mencari apapun yang bisa ia genggam dan remas.

Mandala tersenyum tipis. Sungguh manis andai saja sikapnya tak menyebalkan.

"Yakin nggak berubah pikiran? Saya nggak mau ya kamu tiba-tiba membatalkan ini semua. Masak saya gagal nikah dua kali. Saya akan buat perjanjian yang apabila kamu melanggar, kamu kena denda lebih besar dari hutang keluarga kamu. Sepakat?" Suara Mandala lebih terdengar seperti ancaman daripada sebuah obrolan normal.

Amadea Kasea mengangguk dengan yakin walau jantungnya mau copot.

Boss yang baru ia kenal 2 bulan terakhir dengan kesan negatif dan membuat trauma itu justru akan menikahinya dan ia sepakat?

Oh, apapun yang terjadi maka terjadilah. Amadea tak bisa berpikir jernih. Yang ia tahu ia tak ingin melewatkan kesempatan untuk jalan pintas pelunas 250 jutanya.

Demi ibunya. Demi kewarasannya dan keselamatannya dari teror ayah tiri dan penagih utang.

"Oke. Daripada aku pusing karena hutang. Lagian aku nggak punya pacar juga. Nanti bisa cerai. Kalaupun jadi janda, nggak papa. Setidaknya aku jadi janda orang kaya."

Begitu batin Dea yang sudah tidak tahu lagi apakah keputusan ini tepat atau tidak untuk masa depannya. Suaranya menggema sendiri di kepalanya yang berdenyut-denyut kebanyakan merespon kejutan.

Amadea berusaha tersenyum sok tegar dan yakin di hadapan Mandala yang menahan senyum menatap tingkahnya.

Yang jelas ia tahu pasti ke depannya akan sulit menghadapi tingkah menyebalkan dan arogan Mandala. Tapi ia meyakinkan dirinya sendiri. Menghadapi Mandala lebih bisa ia tahan daripada menghadapi ibunya dengan segala utang, ancaman diusir dari rumah yang dijadikan jaminan utang, dan teror menjijikkan penagih yang mengutus preman ke rumah mereka.

"Yakin kamu nggak malu sama teman-teman kamu karena punya suami cacat bertangan satu? Gimana dengan keluarga kamu? Kamu yakin?" Mandala seolah menguji keseriusan Dea.

Dea mengangguk mantap. Matanya tak takut lagi menatap Mandala.

"Saya nggak punya teman. Keluarga saya cuma ibu saya. Keluarga besar sudah menjauh setelah ayah saya meninggal dan kondisi ekonomi kami menurun.

Soal cacat, sepertinya kata-kata itu terdengar terlalu kasar, Pak. Mendiang ayah saya juga cacat 3 tahun terakhir sebelum meninggal. Kakinya diamputasi karena diabetes. Dia memakai kursi roda 3 tahun dan saya tidak pernah mengeluh atau malu mengurus beliau dengan keadaannya."

Jawaban Dea membuat Mandala yang mencibir jadi mengatupkan bibir tebalnya yang terbelah di tengah dengan apiknya itu.

Oh, bisa ia rasakan ketulusan dari gadis yang selalu menunduk menahan mata berkaca-kacanya ketika ia semprot dengan kata-katanya yang penuh amarah itu.

Pria itu bahkan terdiam beberapa saat hingga mata mereka saling bertemu dan menatap dengan agak lama.

"Oke. Sepakat. Berapa hutang kamu? Akan saya lunasi setelah kamu tanda tangan kesepakatan. Ingat ya, ini rahasia. Balik lagi ke sini besok pagi setelah kamu pikirkan kesepakatan yang perlu kita rundingkan. Tulis kalau perlu. Besok kita diskusikan sekalian sama pengacara saya." Mandala merasa obrolan ini sudah sampai ujung.

Dea sedikit terbengong. Ia bingung apa maksud Mandala.

"Kesepakatan apa lagi, Pak? Bukankah kita sudah sepakat barusan?" Dea kini menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membuat anak rambutnya  sedikit mencuat dengan lucu.

Mandala tertawa.

"Ya maksudnya secara lebih rinci. Misalnya soal berapa lama pernikahan kontrak ini berlangsung. Batasan sentuhan fisik. Kamu boleh minta pisah kamar. Kita kan cuma pura-pura menikah. Atau kamu mau sekamar sama sa..."

"Iya, Pak. Nanti saya pikirin." Dea buru-buru memotong ucapan Mandala sambil menunduk malu.

Mandala tertawa lagi, seolah mentertawakan tingkah gugup Dea.

Ah, dasar bos menyebalkan!

Dea hanya bisa membatin jengkel dalam hati.

Tapi jengkel-jengkel begini, entah kenapa Dea merasa nafasnya lebih ringan.

250 juta yang kemarin membuat dadanya seperti tertimpa batu dan membuatnya sesak itu seolah terangkat perlahan.

"Kamu boleh pulang. Mana tadi berkasnya saya tanda tangan dulu. Lalu bantu saya berbaring. Suster baru akan datang mengecek setengah jam lagi soalnya," ucap Mandala lalu memberi kode pada tangannya sambil menunjuk map berkas di pangkuan Dea.

Dea langsung spontan berdiri dan mendekat. Ia siapkan pena yang biasa Mandala pakai.

Bukannya cepat tanda tangan, Mandala justru memegang pena itu dengan tatapan sedih.

"Sial!" Pria itu mengumpat pelan, membuat Dea bingung.

Apa ia salah berkas? Dea mendadak kena serangan panik lagi.

"Ke--kenapa, Pak?" Dea bertanya dengan gugup.

Mandala tak segera menjawab. Ia justru melempar pena mahalnya itu ke lantai.

Dea makin jantungan.

Hening lagi.

Selama beberapa detik keheningan itu, pertama kalinya Dea melihat sisi kesedihan tak tergambar di mata boss kejamnya itu.

Biasanya mata itu akan menyala dengan menyebalkannya. Sungguh sorot matanya saat mengomel mirip sorotan harimau yang hendak menerkam mangsa. Tatapan yang Dea takuti.

Tapi tatapan apa ini? Terlihat begitu asing.

Waktu pertama kali datang ke ruang rawat ini setaleh operasi, Dea pikir ia akan melihat sisi lain si galak Mandala Barata yang sedih karena kehilangan tangan. Tapi ternyata ia salah. Mandala tetap mengomelinya hari itu seolah tak terjadi apapun sebelumnya. Seolah tangannya masih dua dan bisa membanting berkas seperti biasa ke lantai kalau Dea membuat kesalahan.

Tatapan sedih Mandala juga tak Dea lihat sewaktu Mandala bilang Meirika membatalkan pertunangan dan mengembalikan cincin.

Sekarang justru tatapan sedih itu terlihat ketika ia memegang pena.

"Ambil pena itu. Ambil juga kertas lain selain berkas penting ini. Saya perlu latihan tanda tangan." Suara Mandala berubah nadanya menjadi sedikit sendu.

Amadea bergerak mengambil pena dengan seribu pertanyaan mengambang di kepalanya.

Kenapa Mandala perlu latihan tanda tangan? Apa 2 minggu terbaring di rumah sakit membuatnya lupa tanda tangannya sendiri sampai ia kesal dan melempar pena?

"Kenapa perlu latihan, Pak? Saya bisa carikan contoh tanda tangan Bapak dari berkas lama kalau Bapak lupa." Dea menyodorkan pena dengan kata-kata polosnya.

Mandala menatap agak tajam dan mengambil pena itu dengan gerakan kaku.

"Saya nggak lupa tanda tangan saya sendiri. Saya cuma harus latihan pakai tangan kanan. Kamu lupa, sebelumnya saya kidal. Saya terbiasa memakai tangan kiri dari saya lahir. Sekarang tangan kiri saya terpotong!"

Suara Mandala membuat Dea tersentak dan merasa bersalah.

Diperhatikannya dengan tatapan prihatin ketika dengan susah payah Mandala berusaha membuat tanda tangan dengan tangan kanannya.

"Ah, sial!" Mandala tampak menyerah. Dilemparnya pena itu lagi. Bukan ke lantai. Tapi ke sisi kiri kasurnya.

Amadea menunduk. Tidak tahu lagi harus berkata apa.

Dilihatnya hasil tanda tangan Mandala yang mulanya bagus ketika memakai tangan kiri itu jadi terlihat macam coretan anak kecil.

"Nggak akan terverifikasi kalau begitu caranya. Berapa banyak yang perlu tanda tangan fisik saya? Berapa lembar?" Suara Mandala terdengar masih agak lirih.

"Sepuluh berkas. Ditambah lima berkas lama yang tertunda ditandatangani karena Bapak cuti." Dea menjawab dengan suara lirih juga, seolah ikut menjiwai kesedihan Mandala karena kehilangan kemampuan tangannya.

"Pakai cap jari saya. Kamu cari tinta. Nanti saya bilang ke pihak terkait. Nggak bisa tanda tangan digital. Harus dengan tinta basah untuk menghindari pemalsuan dokumen." Mandala memerintahkan dengan suara tak sekeras biasanya.

Dea jadi sungkan sendiri. Ia lalu pamit undur diri untuk mencari tinta yang dimaksud. Tinggallah pria bertangan satu itu sendirian di ruang rawat mewahnya itu.

***

Dea sedang melamum memikirkan keputusan pernikahan kontraknya dengan Mandala saat penjaga toko perlengkapan kantor itu memanggil-manggil namanya untuk menyerahkan kembalian dari membeli tinta.

"Mbak? Permisi, Mbak? Kembaliannya."

Dan Dea belum menyahut. Pikirannya berputar-putar. Bagaimana ia akan mengatakan rencana pernikahan mendadak ini pada ibunya?

BERSAMBUNG

____________

Halo, jangan lupa tinggalkan jejak like dan komentar ya agar penulis semangat nulis ceritanya. 💕

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!