Dejavu

"Sayang, maaf hari ini mas ada meeting mendadak. Perusahaan mas mendapatkan klien bagus dari luar negeri. Keuntungannya cukup menggiurkan," Yuna tersenyum melihat suaminya begitu bahagia mendapatkan partner baru.

"Wah sepertinya rezeki calon anak kita ya mas," Kendra mengusap perut buncit Yuna. Bulan depan calon anak mereka akan lahir. Dan hari ini jadwal pemeriksaan kesehatan Yuna.

"Bisa jadi sayang. Maaf ya papa hari ini tidak bisa menemani mama melihat kondis kamu nak," Yuna sedikit kecewa, tapi dia tidak mau egois. Semua juga untuk masa depan mereka.

"Tidak apa-apa papa, aku akan bersama mama saja," Kendra tersenyum mendengar ucapan Yuna. Mereka sedang menikmati sarapan pagi. Hari ini Kendra berangkat satu jam lebih awal dari biasanya.

"Nanti biar supir yang mengantarkan sayang. Jangan pergi sendiri, kamu tidak boleh terlalu lelah." Yuna mengangguk. Kendra sudah menyelesaikan sarapan paginya dan bersiap berangkat tanpa menggunakan sopir.

"Mas berangkat dulu, hati-hati nanti waktu pergi. Sayang papa berangkat ya nak, jangan nakal di perut mama," Kendra mengecup perut Yuna dan kini beralih ke keningnya.

"Hati-hati mas," Kendra mengangguk dan melambaikan tangannya. Yuna kembali masuk kedalam rumah. Dan duduk santai di taman belakang, menikmati hangatnya sinar matahari di pagi hari. Saat ini sudah ada pelayan di rumah Kendra yang menemani dan membantu Yuna.

Yuna tampak gelisah akhir-akhir ini. Dia selalu teringat dengan Nara. Hingga saat ini dia belum mendengar kabar mengenai sahabatnya itu. Rasa rindu dan bersalah menjadi satu. Mungkin jika suatu saat mereka dipertemukan kembali, Yuna berharap mereka bisa berdamai seperti dahulu lagi. Menatap perutnya yang sudah membesar, rasa bersalah itu kembali. Kehilangan terbesar bagi seorang ibu dan anak yang membuat raga dan jiwa Nara hancur.

"Sayang jika nanti kamu sudah besar, mama akan menceritakan kepada kamu saudara dan juga mami terbaikmu. Doakan agar mama masih bisa bertemu dengan mami kamu nak. Mama merindukannya," Yuna menghapus air matanya dan mengusap perutnya. Dia melihat jam di ponselnya, dan bergegas kembali ke kamar untuk mandi dan bersiap pergi ke rumah sakit.

Pikiran Yuna bukan hanya mengenai Nara, beberapa bulan ini perubahan sikap Kendra sangat terlihat berbeda. Dia selalu pulang lambat dan dengan wajah yang selalu bahagia. Tidak seperti sebelumnya, selalu kusut. Berangkat lebih awal, bahkan beberapa kali dengan bahagia dia menawarkan diri menemani Yuna kemanapun dia inginkan. Yuna bahagia dengan perubahan itu semua, namun ada satu kata yang membuat Yuna berfikir keras.

"Kebahagiaan kita sebentar lagi akan lengkap dan tidak akan ada yang pergi lagi. Aku janji akan adil menyayangi kalian. Kita akan bersama hingga maut memisahkan"

Yuna menganggap itu sebuah doa untuk kebahagiaan mereka setelah bayi ini lahir, sayangnya satu kata 'adil' sedikit mengganjal pikiran Yuna. Seorang ayah pasti akan selalu menyayangi anaknya dengan tulus bukan adil. Bahkan Yuna tidak meras iri dengan kehadiran anaknya jika nantinya perhatian Kendra hanya tertuju kepada anak mereka.

Dia sudah rapi dan siap untuk berangkat menuju rumah sakit, dia memilih sandal yang ingin dia pakai. Matanya tertuju ke salah satu sepatu yang pernah dibelikan oleh Nara dan masih dia simpan.

"Aku sudah lama tidak memakainya. Akan aku pakai hari ini," dia mulai memasukkan kakinya dan terasa nyaman. Dia tersenyum dan berjalan keluar kamar. Supir yang akan mengantarkannya sudah siap di depan. Tak lupa dia berpamitan kepada pelayan dirumah.

Perlahan dia melangkahkan kakinya. Usai menutup pintu rumah, dia berhenti sejenak. Menatap langit diatas sana. Hembusan nafasnya cukup menenangkan rasa kegelisahan dihatinya. Dia kembali melangkah perlahan. Satu persatu anak tangga dia tapaki dengan perlahan.

"Akhhhh. Tolongg!" Supir segera berlari keluar dari dalam mobil menolong Yuna yang tiba-tiba terpleset di tangga.

"Nyonya," melihatnya banyak darah mengalir dikedua kakinya. Pelayan Kendra juga mendengar teriakkan itu dan berlari keluar rumah. Dia melihat Yuna sudah tidak sadarkan diri keningnya pun terluka. Pelayan rumah mereka segera menghubungi Kendra namun tidak ada jawaban

Tanpa berfikir panjang supir Kendra mengangkat Yuna masuk kedalam mobil dan segera membawanya ke rumah sakit bersama pelayan rumah yang memangku kepala Yuna di kursi penumpang belakang. Disaat kondisi istrinya sedang tidak baik-baik saja, Kendra masih disibukkan membahas proyek kerjasama dengan perusahaan yang mempekerjakan Nara.

"Kapan kita bisa datang dan bertemu langsung dengan pimpinan perusahaan itu?" Dia bertanya kepada asisten pribadinya.

"Mereka sudah memberikan jawaban pagi tadi pak, jadwal pertemuan pertama kita pertengahan bulan depan," Kendra mengerutkan keningnya mendengar jawaban asisten pribadinya.

"Itu terlalu lama, apa tidak bisa dipercepat?" Di sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Nara.

"Maaf pak tidak bisa. Itu jadwal tercepat yang mereka berikan," Kendra memukul meja kerjanya menggunakan ujung pena.

"Hmmm, ya sudah tidak apa-apa. Kamu atur semua dengan baik. Pesan hotel yang tidak jauh dari perusahaan," asisten Kendra mengangguk menulis semua apa yang harus dia siapkan. Kendra kini seorang diri di ruangannya setelah sang asisten kembali ke ruangan kerjanya.

"Sayang aku sudah tidak sabar lagi bertemu dengan kamu. Aku yakin kamu masih mencintaiku. Semoga amarahmu sudah reda. Aku akan membawamu pulang kerumah kita lagi," dia mengecup foto Nara yang selalu dia simpan. Kendra tidak menyadari jika ponselnya sedari tadi sudah berdering.

Tok tok

"Masuk." Perintahnya kepada seseorang yang mengetuk pintu ruang kerjanya.

"Maaf pak, baru saja pelayan rumah bapak menghubungi kantor dan mengatakan jika nyonya Yuna saat ini tidak sadarkan diri di rumah sakit XY," Kendra terkejut dan langsung pergi tanpa bertanya apapun kepada asistennya.

Dengan perasaan campur aduk dia mengendari mobilnya cukup kencang. Mendengar Yuna kecelakaan, Mengingatkannya kembali kepada Nara. Kendra sudah sampai di lobby rumah sakit dan segera mencari keberadaan Yuna. Dia melihat supir dan pelayan rumahnya duduk menunggu di depan ruang darurat.

"Pak Din, bagaimana keadaan Yuna?" Dia menanyakan kepada supir pribadinya.

"Tuan akhirnya tuan datang juga. Dokter menunggu tuan dari tadi," Bukan jawaban dari keadaan Yuna yang dia dapatkan.

"Dimana dokternya sekarang pak?" Pak Din berdiri dan mengetuk pintu ruangan darurat dan seorang dokter keluar.

"Pak dokter ini suami Nyonya Yuna," Pak Din kembali duduk dan menunggu bersama pelayan rumah Kendra.

"Bagaimana keadaan istri dan anak saya dok?" Dokter membawa Kendra masuk kedalam ruangan itu dan menjelaskan.

"Maaf pak, nyonya Yuna harus segera di operasi untuk mengeluarkan janinnya. Jika tidak, nyonya Yuna tidak akan selamat," Kendra terdiam mendengar ucapan dokter.

"Bayi saya bagaimana dok?" Lirih suara Kendra bertanya, dia berharap keduanya masih ada harapan baik.

"Anak bapak sudah meninggal didalam perut. Benturan yang mengenai perut nyonya Yuna cukup kencang. Dan kali nyonya Yuna juga mengalami keretakan," Seperti tersambar petir disiang hari yang terik. Tubuh Kendra lemah. Bahkan untuk berdiri dia sudah tidak sanggup menopang berat tubuhnya.

"Pak, kita harus segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan Nyonya Yuna," tangannya begitu lemah meraih kertas yang disodorkan oleh dokter untuk dia bubui tanda tangan.

Kendra kembali keluar dari ruangan itu dan menunggu Yuna dibawa ke ruang operasi. Dia menghubungi kedua orangtuanya dan menceritakan semuanya. Kendra juga sudah memeriksa cctv yang berada dirumahnya untuk memastikan kecelakaan yang terjadi pada Yuna.

Tiga jam lamanya Yuna menjalani operasi, Kendra merasakan hal itu kembali saat dia kini menggendong jenazah putra tampannya. Kenangan satu tahun lalu kembali teringat. Dunia itu kembali runtuh. Kebahagiaan yang dia gadang-gadang sudah tidak ada. Dengan lemas dia menggendong tubuh mungil itu untuk dibawa ke peristirahatan terakhirnya.

Disisi makam kakaknya, bayi itu disemayamkan. Ingat itu kembali, dia menangis diatas pusara kedua anaknya.

"Inikah balasan dariMu Tuhan? Begitu jahat kah aku ini hingga kembali kau membuatku terjatuh?" Dia menangis meratapi nasibnya saat ini.

"Nara, maafkan aku. Maafkan papa ya nak. Karena papa, kalian menjadi korban. Bahkan mami kalian juga membenci papa nak," dia seorang sendiri di atas pusara itu.

Yuna baru saja sadar dan hanya melihat kedua mertuanya. Dia merasakan nyeri di kepala dan kakinya jika bergerak.

"Mah, pah," sapa Yuna pelan. Wajah kedua mertuanya tampak begitu sedih.

"Kamu sudah bangun?" Yuna mengangguk pelan saja. Perlahan mama Indi mendekati Yuna.

"Apa yang kamu rasakan saat ini nak?" Yuna belum menyadari perutnya yang sudah rata.

"Nyeri semua mah. Dimana mas Kendra mah?" Mama Indi mengusap pucuk kepala Yuna dengan lembut.

"Tidak apa nanti juga sembuh," senyum itu meneduhkan membuat Yuna bahagia.

"Sayang, kamu harus mengikhlaskan. Semua sudah kehendak yang kuasa. Mungkin ini belum waktu yang tepat saja," Yuna bingung dengan perkataan mama Indi.

"Ada apa mah?" Mama Indi menarik tangan Yuna dan meletakkan diatas perutnya yang sudah rata.

"Anakku mah, dimana anakku mah," dia histeris meraba perut itu.

"Dia sudah tiada nak. Jangan ditangisi nak, dia sudah bahagia," Yuna menangis sambil terus meremas perutnya dari balik selimut.

"Karmakah ini untuk kalian"

Terpopuler

Comments

Soraya

Soraya

blm setahun thor kn wktu Nara kecelakaan Yuna dh hamil dua bulan

2024-05-02

0

Megabaiq

Megabaiq

crtya itu2 jha tryt...jd boseernnnn

2024-04-02

0

Sunarmi Narmi

Sunarmi Narmi

Itu akibat orang serakah sok ganteng sok maco..pngen dua istri..istri 1 hamil aja kagakk becus..sok sok an..belajar Kendra dri masa lalu...Goblok di piara....

2024-04-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!