Berdamai dengan masa lalu

"Maaf pak besok tidak perlu seperti ini lagi. Saya tidak enak dengan karyawan lainnya pak," Nara mengungkapkan apa yang dia rasakan saat ini. Dia tidak mau jadi bahan pembicaraan satu kantor lagi.

"Kenapa harus tidak enak? Apa sebenarnya kamu malu jalan dengan saya?" Nara terdiam tidak menjawab pertanyaan Julian.

"Aku ingin memberikan pembuktian ke kamu, tentang perasaan ini. Biarkan semua karyawan tahu, kamulah calon nyonya Julian sebenarnya." Penjelasan Julian semakin membuat Nara membisu.

Perjalanan kembali hening. Nara sibuk dengan pikirannya saat ini. Begitupun dengan Julian. Bahkan dia tidak menyadari jika arah laju mobil itu tidak menuju rumah Julian. Kean hanyalah alasan agar bisa membawa Nara pergi. Mereka sudah sampai di tepi pantai dan hari sudah gelap.

"Ayo turun, kita sudah sampai." Julian turun terlebih dahulu. Nara masih melihat dari balik kaca. Baru dia tersadar saat ini bukan dihalaman rumah Julian.

Dia membuka pintu mobil dan berjalan menyusul Julian yang sudah berdiri menghadap kearah pantai. Merasakan semilir angin pantai dan deburan ombak pantai malam ini begitu gemuruh. Nara menatap bulan seolah enggan menampakkan keindahannya. Mereka berdiri tanpa ada suara. Julian menoleh kearah Nara yang sedang menatap langit dengan mata terpejam.

"Indah," lirih suara Julian dengan senyum simpul menghiasi wajahnya.

"Apa kamu menyukai tempat ini?" Dia membuka pembicaraan diantara keduanya.

"Ya, saya sangat menyukai pantai. Tapi, bukankah bapak mengatakan Kean ingin bertemu dengan saya?" Hanya ada senyuman dibibir Julian mendengar pertanyaan Nara.

"Jika tanpa nama Keanu, apakah kamu mau saya ajak pergi?" Nara mengalihkan pandangannya kepada Julian.

"Untuk apa bapak melakukan semua ini? Saya tidak ingin memberikan harapan lebih jauh kepada bapak." Julian kembali tersenyum. Dia memutar tubuhnya dan menatap Nara.

"Katakan padaku, bagaimana caranya aku menjadi penyembuh bagi luka lama itu?" Nara yang awalnya tertunduk, mencoba memberanikan diri menatap Julian.

"Bapak tidak perlu bersusah payah untuk menyembuhkan luka ini, karena saya sendiri sudah tidak tertarik untuk mencari obat," Mata Julian menatap dalam mata indah yang menutupi semua luka batin itu.

"Sedalam itukah. Jangan pernah merasa kamu bisa berdiri tegak seorang diri, jika kenyataannya kamu sudah jatuh. Bahkan untuk berdiri, tubuhmu sudah tidak ada sandaran lagi," ucapan Julian cukup mengenai hatinya. Benar itu yang saat ini dia rasakan. Tak ada satu tempat untuknya bersandar melepaskan semua beban rasa itu.

"Bapak tidak perlu sedalam itu menyelaminya, saya nyaman dengan ini. Karena saya tidak ingin ada tenggelam didalamnya," Julian berjalan mundur sedikit menjauhi Nara. Dia memilih duduk di tepi pantai.

"Tidak ada satu luka yang tidak akan sembuh jika sudah menemukan obat yang tepat. Kecuali jika ingin luka itu membusuk." Cukup kencang Julian mengatakan itu. Nara duduk ditempat dia berdiri sebelumnya.

"Jangan pernah menganggap semua orang itu sama. Cobalah untuk berdamai dengan hatimu sendiri. Apakah sedalam itu rasa cintamu, hingga untuk berdamai dengan masa lalu sangatlah berat?" Suara Julian kembali mengagetkan Nara.

"Cinta? Aku sudah membencinya, bagaimana mungkin masih ada cinta. Tidak, aku sudah tidak mencintainya," Nara berperang dengan batinnya.

"Benar bukan, kamu masih belum bisa melupakannya. Kamu hanya bersembunyi dibalik luka yang kamu ciptakan sendiri. Berhentilah menyakiti dirimu sendiri. Kamu berhak bahagia, dan belajarlah mencintai dirimu sendiri." Air mata Nara menangis mendengar perkataan Julian yang begitu dalam. Suara tangis Nara membuktikan jika memang dia belum berdamai dengan masa lalunya. Julian berdiri dan mendekati Nara.

Dibalik kaki yang terlipat, dia menyembunyikan wajahnya. Air mata yang lama mengering, tumpah tanpa bisa berhenti. Pertahanannya benar-benar sudah hancur oleh Julian. Tembok yang dia bangun dengan dalih kebencian, nyatanya hanyalah luka yang dia ciptakan sendiri. Julian ingin memeluk tubuh mungil itu, tapi dia belum ada hak untuk melakukannya.

"Menangislah, tumpahkan semua. Mulailah belajar mencintai dirimu. Aku akan menemanimu disini," Julian diam menemani Nara yang menumpahkan semua rasa sakit yang dia pendam selama ini. Tidak ada suara selain tangisan dan deburan ombak. Mungkin malam ini akan selalu dikenang oleh keduanya nanti.

Satu jam berlalu, Nara masih menangis. Julian masih setia duduk menemani. Nara mulai berani mengangkat wajahnya. Lelehan air mata Nara masih terlihat jelas di pipinya.

"Mungkin dunia tidak menginginkan kebahagiaan memihak kepadaku. Bahkan orang yang sudah aku anggap menjadi adikku, mengambil apa yang menjadi hakku." Julian mendengar apa yang Nara ungkapkan. Dia belum tahu yang sebenarnya dengan kisah Nara. Yang Julian tahu, dia bercerai karena perselingkuhan.

"Bahkan saat aku rapuh, Tuhan mengambil wanita yang paling aku cintai dan selalu ada untukku. Satu-satunya orangtuaku dan bahkan putraku ikut pergi bersama neneknya. Apakah itu yang namanya keadilan? Seadil itukah dunia kepadaku?" Air mata itu mulai menetes lagi. Julian memberanikan diri untuk menghapusnya.

"Tuhan sangat menyayangi mu. Percayalah, kamu adalah wanita hebat. Sosok yang kuat menghadapi semua ini. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri, karena ini bukan kesalahan mu. Tapi inilah takdir yang harus kamu jalani." Bahkan Nara terhipnotis dengan perkataan Julian dan membiarkan Julian menghapus air mata itu.

"Tumpahkan semua. Dan bangkitlah setelah ini. Nikmati keindahan dunia ini. Berjalanlah ke depan, masa depan mu masih panjang membentang. Mulailah mencintai dirimu. Karena kamu berharga," senyum itu mengembang dengan indah. Senyum yang sudah lama hilang. Julian semakin jatuh dalam senyuman itu.

"Sudah malam, bolehkah saya pulang pak?" Dia kembali menjadi Nara yang sebelumnya. Karena merasa malu dan canggung.

"Ayo kita pulang. Buang semua masa lalu mu di tempat ini. Bukalah pintu baru untuk masa depanmu." Julian berdiri dan mencoba mengulurkan tangan kearah Nara. Dengan senyum, tangan itu dia sambut.

Mereka berjalan kembali kedalam mobil dengan Nara yang baru, bukan Nara yang penuh luka. Julian membukakan pintu mobil untuk Nara. Segera mobil itu meninggalkan pantai. Baru sekarang, Nara merasakan ketenangan. Hatinya ringan tidak seperti sebelumnya. Senyuman itu kembali menghiasi. Julian ikut merasakan kebahagiaan melihat senyuman itu.

"Apa mau makan dulu? Kita sampai melewatkan makan malam," Nara menoleh kearah Julian.

"Tidak pak, ini sudah sangat larut. Nanti saya akan makan di rumah saja." Julian mengangguk. Mungkin ini terlalu cepat, dia akan memulai perlahan.

"Baiklah. Hmm, jangan panggil pak jika kita sedang diluar kantor dan hanya berdua saja." Ucapan Julian membuat Nara menoleh.

"Lalu saya harus panggil apa?" Nara masih bingung harus memanggil apa kepada Julian.

"Nama boleh, atau sayang pun tidak apa." Julian menggoda Nara dan tertawa terbahak. Sedangkan Nara hanya tersipu malu.

"Maaf saya tidak berani pak," Julian masih tersenyum.

"Senyaman kamu saja. Tapi bukan bapak, karena saya bukan bapak kamu." Nara hanya tersenyum mendengar ucapan Julian. Tidak terasa berjalanan terasa lebih cepat. Julian sudah didepan lobby apartemen Nara.

"Terima kasih untuk malam ini. Sudah menyadarkan saya dan mengajarkan saya untuk berdamai dengan hati saya." Nara mengatakan itu sebelum turun dari mobil.

"Tidak perlu berterima kasih. Aku ingin kamu bisa lebih mencintai dirimu." Nara mengangguk mendengar ucapan Julian.

"Saya tidak tahu bagaimana cara saya membalas kebaikan, ka-kak." Gugup Nara mengucapkan kata terakhir.

"Kakak? Boleh juga. Kamu yakin ingin membalas saya?" Nara mengangguk dengan polosnya.

"Bukalah hatimu, ijinkan aku untuk mengobati luka itu. Aku tidak akan menjanjikan apapun untukmu, tapi membuktikan semua ketulusan itu." Nara tidak bisa berkutik lagi dengan ucapan Julian.

"Hmmm, bolehkah saya memikirkan lagi?" Dia mencoba mengajukan penawaran kepada Julian.

"Baiklah, tapi aku tidak mau terlalu lama. Besok pagi, aku ingin kamu sudah memberikan jawaban." Nara mengangguk pelan, karena dia masih sedikit ragu.

"Saya masuk dulu pak. Salam buat Keanu," Julian mengangguk. Dia menunggu Nara benar-benar masuk kedalam baru meninggalkan pelataran apartemen itu.

"Tuhan jika ini memang yang terbaik untukku, berikan kemudahan untukku menggapainya. Dan jika bukan ini jalanku, jauhkanlah dan berikan aku pengganti terbaik." Nara bergumam sambil menatap langit-langit kamarnya setelah dia sampai dan merebahkan tubuhnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!