Takdir Cinta Inara

Takdir Cinta Inara

Lara Hati

Dibawah temaramnya lampu tepi danau, ibu muda yang tengah hamil besar duduk termenung. Terpaan angin yang semakin dingin, tidak membuatnya bergeming dari tempat itu.

"Tuhan, haruskah aku menyerah? Aku lelah Tuhan." 

Nara masih duduk ditepi danau sambil menatap langit yang mulai menampakkan semburat merah. Hatinya bimbang. Apa yang harus dilakukan, bertahan atau berakhir? 

"Ah, rasanya aku tak ingin pulang. Tapi Kendra pasti akan marah," Dengan langkah gontai, Nara menapakkan kakinya kembali. 

Ingin sekali rasanya Nara pergi sejauh mungkin saat ini juga. Tapi, bagaimana dengan ibunya. Semenjak ayahnya meninggal dan Nara mengetahui jika ibunya memiliki penyakit jantung, membuat Nara selalu berfikir ulang jika ingin meninggalkan Kendra. 

Kakinya terus melangkah meninggalkan danau. Ditepi jalan, Nara ingin sekali menghentikan bus yang melintas berlawanan arah dan pergi jauh. Tapi yang terjadi, Nara tetap diam ditempatnya saat ini dan masuk kedalam bus yang akan membawanya kembali kedalam tempat yang dulu dia sebut rumah. Tapi tidak untuk saat ini. Itu adalah neraka baginya. 

"Akhh," Helaan nafas panjangnya terasa berat. Rumah megah dihadapannya kini bukanlah surga baginya. Namun neraka dunia yang setiap saat memberikan siksa batin untuknya. 

Nara perlahan berjalan dan memegang handle pintu setelah membuka kuncinya. Dan benar saja, apa yang Nara pikirkan kembali terjadi. 

"Sayang, ini sangat nikmat. Kamu terbaik Yuna. Akhhh." 

"Ken, akh."

Nara berlari menuju kamarnya. Kedua telinganya dia tutup menggunakan telapak tangan. Pintu kamar Nara tutup dengan rapat. Tubuhnya lunglai seketika dan air mata tak hentinya mengalir begitu deras.

"Kenapa ini terjadi padaku. Apa salahku Ken? Bahkan disaat aku hamil anakmu, kamu masih tega melakukan hal itu," tangis Nara tak tertahan lagi. Duduk bersandar diranjang dengan wajah yang dia sembunyikan diantar lutut tanpa adanya sinar lampu yang sengaja tidak dia nyalakan.

Kendra seakan tidak pernah menganggap adanya Nara dirumah itu disaat dia sedang berhubungan dengan Yuna, sahabat Nara. Baginya kenikmatan dan kepuasan lebih penting dibanding dengan perasaan istrinya. 

"Terimakasih sayang. Kamu selalu tau bagaimana memuaskan ku." Kendra mengecup kening Yuna yang sudah mulai terlelap karena lelah. 

"Kau akan kembali ke kamar Nara?" Kendra sudah memunguti pakaiannya dan hanya mengenakan celana pendek saja.

"Iya. Tidurlah, ini sudah malam!" Yuna menatap nanar kepergian Kendra dari kamarnya. 

"Maafkan aku Nara, aku tidak bermaksud menyakiti mu. Tapi, aku juga tidak bisa menolak cinta ini," lirih suara Yuna sebelum matanya terpejam. 

Kendra berjalan dengan santai menuju kamar miliknya dan Nara. Kendra masuk kedalam kamar yang tampak gelap gulita itu. Berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah penyatuan panasnya bersama sahabat istrinya. 

"Sayang, kamu sudah tidur?" Kendra merbahkan tubuhnya disamping Nara. Dan memeluk tubuh istrinya, tak lupa memberikan usapan lembut pada perut yang semakin membuncit itu.

"Hai baby. Apa kamu tidak merindukan papa?" Nara mendengar itu semua. Tapi tidak ada niat darinya untuk menanggapi pertanyaan Kendra. 

Merasa tidak ada jawaban dari Nara, Kendra mengecup lama kening Nara sebelum dia ikut terlelap. Nara hanya bisa menahan sesaknya sendiri. Melihat perlakuan Kendra kepadanya. Air mata terus saja mengalir, hingga membuatnya lelap tertidur. 

Seperti hari-hari yang sudah Nara lalui. Dia akan sigap menyiapkan sarapan dan semua kebutuhan suaminya. Meskipun disakiti, Nara tetap tidak mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri. 

Dirumah ini memang tidak ada asisten rumah tangga seperti permintaan Kendra. Nara juga tidak mau mempermasalahkan itu. Dia masih bisa mengerjakan semua sendiri. Meskipun sedang hamil. 

"Selamat pagi sayang," Kendra keluar dari kamar dan tampak telah siap dengan pakaian kerjanya. 

"Pagi," jawab Nara singkat saja. 

Tak lama Yuna pun ikut keluar. Yuna nampak belum mandi karena penampilannya masih berantakan sekali. Bahkan dengan sengaja Yuna menggunakan pakaian dengan leher rendah menampakan tanda bekas pertempuran malam tadi. Nara hanya bisa diam saja dan mencoba menikmati sarapannya. 

"Pagi semua. Nara maaf aku terlambat bangun." Nara masih saja diam membisu. 

"Tidak apa sayang. Kamu pasti lelah." Kendra lah yang menjawab permintaan maaf dari Yuna. 

"Aku sudah kenyang." tanpa menghabiskan makanannya, Nara beranjak meninggalkan meja makan. 

"Sayang, habiskan dulu makananmu!" Kendra berusaha mencegah Nara dengan memegang lengannya. 

"Aku sudah kenyang, apa kamu tidak dengar?" Nara melepaskan genggamannya itu dan berlalu masuk kedalam kamarnya. 

Yuna hanya bisa menunduk tak berani mengeluarkan sepatah katapun. 

"Hei, kenapa tidak dimakan?" Kendra menyadarkan lamunan Yuna. 

"Nara pasti tidak nyaman dengan ku," Kendra memutar arah tubuhnya dan menatap Yuna. 

"Nara sedang hamil, dia memiliki mood yang tidak baik. Jadi, jangan salahkan dirimu lagi," Kendra mengusap pucuk kepala Yuna. 

"Aku akan pergi dari rumah ini secepatnya. Dan sebaiknya kita sudahi semua ini Ken,"Kendra tidak terima dengan permintaan Yuna. 

"Tidak, tidak ada satu orangpun yang boleh meninggalkan rumah ini. Baik kamu ataupun Nara. Dan jangan pernah meminta kita berakhir, aku tak mau," Yuna menunduk. Dia sadar sudah terlalu dalam menyakiti hati sahabatnya itu.

"Kamu tidak boleh egois Ken. Jika kamu tidak mau kehilangan kami berdua, setidaknya kamu bisa memilih salah satu dari kami," Kendra menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada pilihan diantara kalian. Kalian terbaik dengan cara kalian sendiri dan aku mencintai kalian." Kendra beranjak meninggalkan meja makan. Tak lupa satu kecupan mendarat dikening Yuna. 

"Aku berangkat ke kantor. Tolong jaga Nara!" Kendra berjalan kearah kamarnya untuk berpamitan dengan Nara. 

Nara berdiri didepan jendela kamarnya. Menatap kosong hamparan bunga indah ditaman miliknya.

"Sayang, aku berangkat ke kantor dulu. Jangan terlalu lelah!" Kendra juga memberikan kecupan yang sama kepada Nara. Kendra berjongkok menyamakan tingginya dengan perut Nara. 

"Hai jagoan, papa pergi kerja dulu. Jaga mama. Jangan rewel." Satu kecupan juga Kendra berikan pada perut buncit itu.

Kendra meninggalkan rumah mewahnya dan segera menuju kantor warisan dari keluarganya. Sedangkan Nara, lebih memilih berdiam diri didalam kamarnya seperti hari-hari biasanya. 

Yuna sudah bersiap untuk pergi. Hari ini dia akan kembali mencari pekerjaan. Dan niatnya sudah bulat ingin pergi dari kehidupan Kendra. Dia tidak mau melukai sahabatnya lebih dalam lagi. 

"Nara." Yuna mengetuk pintu kamar Nara perlahan dan memanggilnya. 

"Ada apa?" Nara bertanya dengan nada dingin setelah pintu terbuka. 

"Aku akan pergi sebentar. Jika terjadi sesuatu, segera hubungi aku." Nara hanya berdehem saja dan kembali menutup pintu kamarnya. 

"Nara, maafkan aku." lagi-lagi perkataan yang sama keluar dari mulut Yuna.

"Jika maafmu bisa mengembalikan semua, maka aku akan memaafkanmu dengan ikhlas." tanpa melihat kearah Yuna, Nara kembali menutup pintu kamarnya.

Satu jam setelah kepergian Yuna, Nara juga meninggalkan rumah. Kakinya begitu ringan jika dia melangkah keluar dari neraka berkedok rumah itu. Dan akan terasa berat jika dia akan kembali memasuki rumah itu. 

Nara merasa rindu kepada ibu mertuanya. Dan dia berniat mengunjungi ibu mertuanya itu. Sebelum pergi Nara sudah mengirimkan pesan kepada Kendra, meminta ijin untuk mengunjungi kediaman mertuanya. Kendra memberikan ijin dan berjanji akan menjemputnya nanti saat pulang. 

Nara berjalan menyusuri taman menuju halte bus. Dia sengaja ingin menggunakan bus karena ingin menenangkan pikirannya. Sesekali Nara berhenti untuk duduk di bangku tepi jalan saat merasakan perutnya sedikit kram. 

"Nak, sebentar lagi kamu akan lahir. Mama sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kamu sayang." Nara mengusap lembut perutnya dan mengajak anaknya berbicara. 

Setelah merasa perutnya tidak lagi kram, Nara melanjutkan perjalanan menuju halte bus. Dan menunggu bus yang menuju kearah rumah mertuanya itu.

Nara duduk menatap deretan pepohonan yang berjajar rapi ditepi jalan. Sesekali air matanya menetes saat dia mengingat perjalanan hidupnya yang begitu menyedihkan. Nara selalu berharap ini adalah mimpi. Dan saat dia dia terbangun nanti, semua tetap baik-baik saja.

Satu jam perjalanan dia tempuh menuju kediaman mertuanya. Mama Kendra sangat bahagia dengan kedatangan Nara. 

"Sayang. Mama merindukan mu." Nara tersenyum kala mama mertuanya memeluk tubuhnya. 

"Nara juga merindukan mama. Mama baik-baik saja kan?" Mama Kendra tersenyum kala mendengar Nara begitu mengkhawatirkan dirinya.

"Mama sehat sayang. Ayo masuk. Mana Kendra?" Mama Kendra baru menyadari jika Nara hanya datang seorang diri. 

"Kendra masih dikantor mam. Nanti akan menjemput Nara kalau pekerjaan Kendra sudah selesai." Mama Kendra menarik lembut tangan Nara dan membawannya masuk kedalam rumah.

"Bagaimana kondisi cucu nenek sayang?" Mama Kendra mengusap perut buncit Nara. 

"Cucu Mama sehat kok," Nara tersenyum melihat Mama Kendra mengusap perutnya. 

"Tinggal beberapa Minggu lagi kan sayang?" Nara mengangguk. 

"Iya mah, beberapa Minggu lagi cucu Mama akan lahir,"Mereka duduk disofa dan saling melepas rindu.

Setelah makan siang bersama dan berbagi cerita seru, Mama Kendra meminta Nara untuk beristirahat. Nara segera masuk kedalam kamar milik Kendra saat mereka masih belum menikah. 

Saat Nara kembali membuka pintu kamar yang banyak memiliki kenangan itu, air mata Nara menetes. Bayangan tawa dan tangis mereka kembali terlintas. Nara perlahan memasuki kamar itu. Matanya menelusuri setiap sudut ruangan itu. 

"Sayang, janji untuk selalu bersamaku." 

Air mata Nara sudah deras terngiang apa yang pernah Kendra ucapkan diawal pernikahan mereka. Nara duduk ditepi ranjang dan memegang bingkai foto ketika mereka masih berpacaran. 

"Aku tidak akan menunggu waktu memberikan jawaban untuk hubungan kita." Nara memilih untuk tidur. Karena hanya dalam mimpi dia akan tersenyum. 

Nara terbangun karena terasa berat diperutnya. Dan benar saja sebuah tangan melingkar disana. Nara menghela nafasnya. Tanpa menoleh, Nara sudah mengetahui pemilik tangan itu. Perlahan Nara memindahkan tangan itu dan turun dari ranjang menuju toilet. 

Keluar dari toilet pun, Nara masih melihat Kendra yang nyenyak. Tanpa membangunkan Kendra, Nara berjalan keluar kamar dan meninggalkan Kendra seorang diri. 

"Sayang sudah bangun?" Sapa mama Kendra kepada Nara.

"Iya mah. Maaf Nara terlalu nyenyak, jadi tidak membantu mama menyiapkan makan malam," mama Kendra tersenyum kepada Nara. 

"Tidak perlu. Kamu sendiri sudah pasti lelah dengan perut besar itu," mereka tersenyum bersama. 

"Apakah suamimu belum bangun nak?" Mama Kendra tidak melihat putranya disana. 

"Belum mam," jawab Nara dengan senyuman manisnya. 

"Siapa bilang belum bangun. Hai sayang," Kendra tiba-tiba muncul dan mencium pipi Nara. 

"Mama kira masih molor kamu Ndra." Kendra hanya tertawa mendengar olokan mamanya. 

"Ayo kita makan bersama nak." mereka makan malam bersama. Tanpa ada suara hanya denting sendok dan garpu saat menyentuh piring. 

"Mah, kami langsung pulang ya." usai makan malam, Kendra berpamitan kepada mamanya. 

"Loh, tidak menunggu papa? Sebentar lagi juga pulang," Nara hanya diam menunduk saja. Ingin rasanya dia menolak pulang. Dan tetap tinggal dirumah mertuanya. 

"Kasian Nara mah. Kandungannya sudah sangat besar," mama mengangguk paham. 

"Baiklah. Pulanglah sebelum hari semakin larut." Nara hanya bisa tersenyum tipis. 

"Jika apa yang kamu ucapkan itu benar, aku akan sangat bahagia. Namun sayangnya hanya sebuah sandiwara semata."

Dibawah temaramnya lampu tepi danau, ibu muda yang tengah hamil besar duduk termenung. Terpaan angin yang semakin dingin, tidak membuatnya bergeming dari tempat itu.

"Tuhan, haruskah aku menyerah? Aku lelah Tuhan" 

Nara masih duduk ditepi danau sambil menatap langit yang mulai menampakkan semburat merah. Hatinya bimbang. Apa yang harus dilakukan, bertahan atau berakhir? 

"Ah, rasanya aku tak ingin pulang. Tapi Kendra pasti akan marah" Dengan langkah gontai, Nara menapakkan kakinya kembali. 

Ingin sekali rasanya Nara pergi sejauh mungkin saat ini juga. Tapi, bagaimana dengan ibunya. Semenjak ayahnya meninggal dan Nara mengetahui jika ibunya memiliki penyakit jantung, membuat Nara selalu berfikir ulang jika ingin meninggalkan Kendra. 

Kakinya terus melangkah meninggalkan danau. Ditepi jalan, Nara ingin sekali menghentikan bus yang melintas berlawanan arah dan pergi jauh. Tapi yang terjadi, Nara tetap diam ditempatnya saat ini dan masuk kedalam bus yang akan membawanya kembali kedalam tempat yang dulu dia sebut rumah. Tapi tidak untuk saat ini. Itu adalah neraka baginya. 

"Akhh" Helaan nafas panjangnya terasa berat. Rumah megah dihadapannya kini bukanlah surga baginya. Namun neraka dunia yang setiap saat memberikan siksa batin untuknya. 

Nara perlahan berjalan dan memegang handle pintu setelah membuka kuncinya. Dan benar saja, apa yang Nara pikirkan kembali terjadi. 

"Sayang, ini sangat nikmat. Kamu terbaik Yuna. Akhhh" 

"Ken, akh"

Nara berlari menuju kamarnya. Kedua telinganya dia tutup menggunakan telapak tangan. Pintu kamar Nara tutup dengan rapat. Tubuhnya lunglai seketika dan air mata tak hentinya mengalir begitu deras.

"Kenapa ini terjadi padaku. Apa salahku Ken? Bahkan disaat aku hamil anakmu, kamu masih tega melakukan hal itu" tangis Nara tak tertahan lagi. Duduk bersandar diranjang dengan wajah yang dia sembunyikan diantar lutut tanpa adanya sinar lampu yang sengaja tidak dia nyalakan.

Kendra seakan tidak pernah menganggap adanya Nara dirumah itu disaat dia sedang berhubungan dengan Yuna, sahabat Nara. Baginya kenikmatan dan kepuasan lebih penting dibanding dengan perasaan istrinya. 

"Terimakasih sayang. Kamu selalu tau bagaimana memuaskan ku" Kendra mengecup kening Yuna yang sudah mulai terlelap karena lelah. 

"Kau akan kembali ke kamar Nara?" Kendra sudah memunguti pakaiannya dan hanya mengenakan celana pendek saja.

"Iya. Tidurlah, ini sudah malam" Yuna menatap nanar kepergian Kendra dari kamarnya. 

"Maafkan aku Nara, aku tidak bermaksud menyakiti mu. Tapi, aku juga tidak bisa menolak cinta ini" lirih suara Yuna sebelum matanya terpejam. 

Kendra berjalan dengan santai menuju kamar miliknya dan Nara. Kendra masuk kedalam kamar yang tampak gelap gulita itu. Berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah penyatuan panasnya bersama sahabat istrinya. 

"Sayang, kamu sudah tidur?" Kendra merbahkan tubuhnya disamping Nara. Dan memeluk tubuh istrinya, tak lupa memberikan usapan lembut pada perut yang semakin membuncit itu.

"Hai baby. Apa kamu tidak merindukan papa?" Nara mendengar itu semua. Tapi tidak ada niat darinya untuk menanggapi pertanyaan Kendra. 

Merasa tidak ada jawaban dari Nara, Kendra mengecup lama kening Nara sebelum dia ikut terlelap. Nara hanya bisa menahan sesaknya sendiri. Melihat perlakuan Kendra kepadanya. Air mata terus saja mengalir, hingga membuatnya lelap tertidur. 

Seperti hari-hari yang sudah Nara lalui. Dia akan sigap menyiapkan sarapan dan semua kebutuhan suaminya. Meskipun disakiti, Nara tetap tidak mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri. 

Dirumah ini memang tidak ada asisten rumah tangga seperti permintaan Kendra. Nara juga tidak mau mempermasalahkan itu. Dia masih bisa mengerjakan semua sendiri. Meskipun sedang hamil. 

"Selamat pagi sayang" Kendra keluar dari kamar dan tampak telah siap dengan pakaian kerjanya. 

"Pagi" jawab Nara singkat saja. 

Tak lama Yuna pun ikut keluar. Yuna nampak belum mandi karena penampilannya masih berantakan sekali. Bahkan dengan sengaja Yuna menggunakan pakaian dengan leher rendah menampakan tanda bekas pertempuran malam tadi. Nara hanya bisa diam saja dan mencoba menikmati sarapannya. 

"Pagi semua. Nara maaf aku terlambat bangun." Nara masih saja diam membisu. 

"Tidak apa sayang. Kamu pasti lelah" Kendra lah yang menjawab permintaan maaf dari Yuna. 

"Aku sudah kenyang" tanpa menghabiskan makanannya, Nara beranjak meninggalkan meja makan. 

"Sayang, habiskan dulu makananmu" Kendra berusaha mencegah Nara dengan memegang lengannya. 

"Aku sudah kenyang, apa kamu tidak dengar?" Nara melepaskan genggamannya itu dan berlalu masuk kedalam kamarnya. 

Yuna hanya bisa menunduk tak berani mengeluarkan sepatah katapun. 

"Hei, kenapa tidak dimakan?" Kendra menyadarkan lamunan Yuna. 

"Nara pasti tidak nyaman dengan ku" Kendra memutar arah tubuhnya dan menatap Yuna. 

"Nara sedang hamil, dia memiliki mood yang tidak baik. Jadi, jangan salahkan dirimu lagi" Kendra mengusap pucuk kepala Yuna. 

"Aku akan pergi dari rumah ini secepatnya. Dan sebaiknya kita sudahi semua ini Ken", Kendra tidak terima dengan permintaan Yuna. 

"Tidak, tidak ada satu orangpun yang boleh meninggalkan rumah ini. Baik kamu ataupun Nara. Dan jangan pernah meminta kita berakhir, aku tak mau", Yuna menunduk. Dia sadar sudah terlalu dalam menyakiti hati sahabatnya itu.

"Kamu tidak boleh egois Ken. Jika kamu tidak mau kehilangan kami berdua, setidaknya kamu bisa memilih salah satu dari kami", Kendra menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada pilihan diantara kalian. Kalian terbaik dengan cara kalian sendiri dan aku mencintai kalian" Kendra beranjak meninggalkan meja makan. Tak lupa satu kecupan mendarat dikening Yuna. 

"Aku berangkat ke kantor. Tolong jaga Nara" Kendra berjalan kearah kamarnya untuk berpamitan dengan Nara. 

Nara berdiri didepan jendela kamarnya. Menatap kosong hamparan bunga indah ditaman miliknya.

"Sayang, aku berangkat ke kantor dulu. Jangan terlalu lelah" Kendra juga memberikan kecupan yang sama kepada Nara. Kendra berjongkok menyamakan tingginya dengan perut Nara. 

"Hai jagoan, papa pergi kerja dulu. Jaga mama. Jangan rewel" satu kecupan juga Kendra berikan pada perut buncit itu. 

Kendra meninggalkan rumah mewahnya dan segera menuju kantor warisan dari keluarganya. Sedangkan Nara, lebih memilih berdiam diri didalam kamarnya seperti hari-hari biasanya. 

Yuna sudah bersiap untuk pergi. Hari ini dia akan kembali mencari pekerjaan. Dan niatnya sudah bulat ingin pergi dari kehidupan Kendra. Dia tidak mau melukai sahabatnya lebih dalam lagi. 

"Nara" Yuna mengetuk pintu kamar Nara perlahan dan memanggilnya. 

"Ada apa?" Nara bertanya dengan nada dingin setelah pintu terbuka. 

"Aku akan pergi sebentar. Jika terjadi sesuatu, segera hubungi aku" Nara hanya berdehem saja dan kembali menutup pintu kamarnya. 

"Nara, maafkan aku." lagi-lagi perkataan yang sama keluar dari mulut Yuna.

"Jika maafmu bisa mengembalikan semua, maka aku akan memaafkanmu dengan ikhlas." tanpa melihat kearah Yuna, Nara kembali menutup pintu kamarnya.

Satu jam setelah kepergian Yuna, Nara juga meninggalkan rumah. Kakinya begitu ringan jika dia melangkah keluar dari neraka berkedok rumah itu. Dan akan terasa berat jika dia akan kembali memasuki rumah itu. 

Nara merasa rindu kepada ibu mertuanya. Dan dia berniat mengunjungi ibu mertuanya itu. Sebelum pergi Nara sudah mengirimkan pesan kepada Kendra, meminta ijin untuk mengunjungi kediaman mertuanya. Kendra memberikan ijin dan berjanji akan menjemputnya nanti saat pulang. 

Nara berjalan menyusuri taman menuju halte bus. Dia sengaja ingin menggunakan bus karena ingin menenangkan pikirannya. Sesekali Nara berhenti untuk duduk di bangku tepi jalan saat merasakan perutnya sedikit kram. 

"Nak, sebentar lagi kamu akan lahir. Mama sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kamu sayang" Nara mengusap lembut perutnya dan mengajak anaknya berbicara. 

Setelah merasa perutnya tidak lagi kram, Nara melanjutkan perjalanan menuju halte bus. Dan menunggu bus yang menuju kearah rumah mertuanya itu.

Nara duduk menatap deretan pepohonan yang berjajar rapi ditepi jalan. Sesekali air matanya menetes saat dia mengingat perjalanan hidupnya yang begitu menyedihkan. Nara selalu berharap ini adalah mimpi. Dan saat dia dia terbangun nanti, semua tetap baik-baik saja.

Satu jam perjalanan dia tempuh menuju kediaman mertuanya. Mama Kendra sangat bahagia dengan kedatangan Nara. 

"Sayang. Mama merindukan mu." Nara tersenyum kala mama mertuanya memeluk tubuhnya. 

"Nara juga merindukan mama. Mama baik-baik saja kan?" Mama Kendra tersenyum kala mendengar Nara begitu mengkhawatirkan dirinya.

"Mama sehat sayang. Ayo masuk. Mana Kendra?" Mama Kendra baru menyadari jika Nara hanya datang seorang diri. 

"Kendra masih dikantor mam. Nanti akan menjemput Nara kalau pekerjaan Kendra sudah selesai" Mama Kendra menarik lembut tangan Nara dan membawannya masuk kedalam rumah.

"Bagaimana kondisi cucu nenek sayang?" Mama Kendra mengusap perut buncit Nara. 

"Cucu Mama sehat kok" Nara tersenyum melihat Mama Kendra mengusap perutnya. 

"Tinggal beberapa Minggu lagi kan sayang?" Nara mengangguk. 

"Iya mah, beberapa Minggu lagi cucu Mama akan lahir". Mereka duduk disofa dan saling melepas rindu.

Setelah makan siang bersama dan berbagi cerita seru, Mama Kendra meminta Nara untuk beristirahat. Nara segera masuk kedalam kamar milik Kendra saat mereka masih belum menikah. 

Saat Nara kembali membuka pintu kamar yang banyak memiliki kenangan itu, air mata Nara menetes. Bayangan tawa dan tangis mereka kembali terlintas. Nara perlahan memasuki kamar itu. Matanya menelusuri setiap sudut ruangan itu. 

"Sayang, janji untuk selalu bersamaku" 

Air mata Nara sudah deras terngiang apa yang pernah Kendra ucapkan diawal pernikahan mereka. Nara duduk ditepi ranjang dan memegang bingkai foto ketika mereka masih berpacaran. 

"Aku tidak akan menunggu waktu memberikan jawaban untuk hubungan kita" Nara memilih untuk tidur. Karena hanya dalam mimpi dia akan tersenyum. 

Nara terbangun karena terasa berat diperutnya. Dan benar saja sebuah tangan melingkar disana. Nara menghela nafasnya. Tanpa menoleh, Nara sudah mengetahui pemilik tangan itu. Perlahan Nara memindahkan tangan itu dan turun dari ranjang menuju toilet. 

Keluar dari toilet pun, Nara masih melihat Kendra yang nyenyak. Tanpa membangunkan Kendra, Nara berjalan keluar kamar dan meninggalkan Kendra seorang diri. 

"Sayang sudah bangun?" Sapa mama Kendra kepada Nara.

"Iya mah. Maaf Nara terlalu nyenyak, jadi tidak membantu mama menyiapkan makan malam" mama Kendra tersenyum kepada Nara. 

"Tidak perlu. Kamu sendiri sudah pasti lelah dengan perut besar itu" mereka tersenyum bersama. 

"Apakah suamimu belum bangun nak?" Mama Kendra tidak melihat putranya disana. 

"Belum mam" jawab Nara dengan senyuman manisnya. 

"Siapa bilang belum bangun. Hai sayang" Kendra tiba-tiba muncul dan mencium pipi Nara. 

"Mama kira masih molor kamu Ndra" Kendra hanya tertawa mendengar olokan mamanya. 

"Ayo kita makan bersama nak" mereka makan malam bersama. Tanpa ada suara hanya denting sendok dan garpu saat menyentuh piring. 

"Mah, kami langsung pulang ya" usai makan malam, Kendra berpamitan kepada mamanya. 

"Loh, tidak menunggu papa? Sebentar lagi juga pulang" Nara hanya diam menunduk saja. Ingin rasanya dia menolak pulang. Dan tetap tinggal dirumah mertuanya. 

"Kasian Nara mah. Kandungannya sudah sangat besar" mama mengangguk paham. 

"Baiklah. Pulanglah sebelum hari semakin larut" Nara hanya bisa tersenyum tipis. 

"Jika apa yang kamu ucapkan itu benar, aku akan sangat bahagia. Namun sayangnya hanya sebuah sandiwara semata"

Terpopuler

Comments

YuWie

YuWie

awal bab yg sudah membuat misuh2 yg baca 😁

2024-04-22

0

Soraya

Soraya

mampir thor

2024-05-02

0

hime moony

hime moony

kisahnya menarik, apa kakak berminat untuk menerbitkan buku?

2024-03-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!