Perpisahan

Dua bulan lamanya Kendra mencari keberadaan Nara beserta kedua orangtuanya. Beberapa kali Kendra datang ke kediaman orangtuanya, selalu saja nihil. Penjaga rumah mengatakan, jika kedua orangtua Kendra sudah lama tidak menempati rumah itu lagi. Tidak hanya rumah, Kendra juga mencari keberadaan papa-nya dikantor. Asisten papa Kendra mengatakan jika papa Kendra sedang mengambil cuti dalam waktu yang lama. Bahkan tidak hanya penjaga rumah, asisten papa-nya juga tidak mau memberitahu dimana mereka saat ini. 

Kendra selalu kembali ke rumah dengan keadaan putus asa. Yuna pun bisa merasakan sakit yang saat ini Kendra rasakan. Yuna hanya bisa memberikan semangat untuk Kendra. Yuna tidak bisa banyak membantu Kendra karena kehamilannya yang semakin bertambah usia. Kendra baru saja pulang ke rumah. Setelah seharian dia pergi ke kantor dan juga mencari Nara beserta orangtuanya. 

"Mas, mau mandi dulu?" Kendra duduk di sofa dan menatap foto pernikahan dirinya dan Nara yang masih kokoh menempel di dinding. 

"Sebentar lagi sayang. Kamu sudah makan?" Meskipun dalam kondisi tidak baik, Kendra tetap berusaha memperhatikan Yuna. 

"Belum, aku nunggu mas pulang," Yuna menunduk memperhatikan perutnya yang membuncit. 

"Sebaiknya kita makan dulu sayang. Kasian anak papa pasti sudah lapar," Kendra mengusap perut Yuna. 

"Ya mas," Kendra menuntun Yuna. Mereka segera duduk di meja makan dan Yuna menyiapkan makanan untuk Kendra. 

"Sayang, bukannya dua hari lagi jadwal pemeriksaan kamu sayang?" Yuna mengangkat kepalanya dan menatap Kendra dengan senyuman bahagia. 

"Kamu ingat mas?" Setelah menghilangnya Nara, Kendra tidak pernah mengantarkan Yuna memeriksakan kandungannya. Dan kali ini Kendra mengingatnya membuat Yuna bahagia. 

"Tentu. Besok kita akan melihat kondisi kesehatan anak kita sayang. Mas akan antar," Yuna terus tersenyum sepanjang makan malam itu. 

"Mas sudah selesai, mas mau mandi dulu sayang," Yuna mengangguk. Kendra kembali ke kamar dan segera membersihkan diri. Sedangkan Yuna membereskan sisa makanan mereka dan mencuci piring. 

Pekerjaan Yuna sudah selesai, Yuna menyusul Kendra kedalam kamar. Kendra baru saja selesai mengenakan pakaiannya dan merebahkan tubuh di ranjang. Yuna menghampiri Kendra dan ikut berbaring disamping Kendra. 

"Mas, bagaimana hari ini?" Kendra menggeleng. Tampak raut wajah Kendra yang sedih. 

"Entahlah harus kemana lagi mas mencari mereka sayang. Siapapun yang mas tanya, selalu bungkam," Kendra mulai terisak. Yuna ikut merasakan pilu di hatinya. 

"Apa papa memiliki rumah lain, selain rumah di sini mas?" Kendra kembali menggeleng. Air matanya masih mengalir membasahi pipinya. 

"Tidak, papa tidak memiliki rumah lain. Satu-satunya rumah kami hanya disini," Yuna menyeka airmata Kendra. Dan memeluk Kendra agar tenang. 

"Kita cari lagi besok mas. Yuna yakin cepat atau lambat mereka pasti akan ketemu," Kendra mengangguk dalam dekapan Yuna. 

Rasa lelah yang mendera tubuh dan pikiran Kendra, membuatnya terlelap dalam pelukan Yuna. Mendengar nafas Kendra yang mulai teratur, Yuna melepaskan perlahan pelukannya. Yuna memasangkan selimut di tubuh Kendra. Yuna masuk kedalam toilet untuk menggosok gigi. 

"Seberat ini kamu menghukum kami Nara. Kemana kamu Nara?" Gumam Yuna saat menatap pantulan wajahnya pada cermin di dalam kamar mandi. 

Yuna kembali ke kamar dan segera menyusul Kendra tidur. Yuna juga cukup lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah seorang diri dan dalam keadaan hamil. Tidak ada pelayan di rumah itu, dan Yuna belum berani meminta kepada Kendra.

Lelapnya pasangan kekasih itu, tidak seperti apa yang saat ini Nara rasakan. Nara duduk menatap hamparan bintang di langit. Duduk dengan secangkir coklat hangat di tangannya. 

"Sayang, kamu belum tidur?" Mama Indi datang mendekati Nara. 

"Belum mah, mama kenapa belum tidur?" Mama Indi duduk disamping Nara.

"Mama menunggu papa nak. Hari ini papa pulang dari luar kota," Nara mengangguk dan kembali meneguk coklat hangatnya. 

"Sayang, tadi papa mengabari. Pengacara sudah mengurus surat perceraian kalian. Dan besok kamu harus menandatangani dulu baru bisa di kirim ke rumah Kendra," Nara kembali menatap hamparan bintang di hadapannya.

"Terima kasih mah. Sudah mau membantu Nara sejauh ini," Mama Indi juga ikut menatap hamparan bintang itu. Semilir angin malam menyapa keduanya. 

"Mah, apakah mama tidak merindukan putra mama? Ini sudah terlalu lama mama dan papa marah kepada Kendra. Kendra putra mama dan papa," Nara memutar duduknya dan berhadapan dengan mama Indi. Nara juga menggenggam tangan mama Indi. 

"Mama memang merindukan Kendra sayang, tapi mama tidak mau melihat wajah wanita itu. Mama masih sakit dengan apa yang Kendra lakukan kepada kamu sayang," Nara bisa melihat kerinduan seorang ibu di mata mama Indi. 

"Nara sudah tidak apa-apa mah. Nara sudah mengikhlaskan semuanya mah. Mungkin memang ini jalan takdir yang harus Nara jalani mah," Mama Indi menatap Nara dengan sendu. 

"Terbuat dari apa hatimu nak. Luka yang teramat dalam bisa kamu maafkan dengan mudah sayang. Mama bangga dengan kamu sayang," mereka saling berpelukan hingga tidak menyadari kehadiran seseorang.

"Ekhem, papa tidak diajak pelukan nih?" Papa Soni datang menghampiri kedua wanita hebat itu. 

"Papa, sudah pulang?" Mama Indi segera menyambut suaminya. 

"Kalian lagi gosip apa, sepertinya sangat seru?" Nara dan mama Indi tertawa mendengar pertanyaan papa Soni. 

"Tidak ada pah. Kami hanya mengobrol biasa saja. Papa sudah makan malam belum?" Nara bertanya kepada papa Soni. 

"Sudah nak, papa tadi mampir ke penjual sate sebelum sampai rumah," wajah mama Indi berubah cemberut. 

"Ck, kalau cuma pamer. Tidak usah ngomong," Papa Soni terbahak melihat ekspresi wajah mama Indi yang lucu. 

"Papa tidak akan melupakan kalian. Ini papa belikan juga untuk kalian," papa Soni menunjukkan bungkusan yang dibawanya. 

"Papa memang terbaik," Nara tersenyum melihat keharmonisan kedua mertuanya itu. 

"Nara, ayo kita makan lagi." Nara sedikit menggeleng.

"Tidak mah, Nara sudah terlalu kenyang," Nara menolak dengan lembut. Memang Nara sudah makan dan sudah kenyang. 

"Ya sudahlah, mama habiskan sendiri," Nara tersenyum melihat reaksi bahagia mama Indi yang sangat menyukai sate.

"Papa tinggal ke kamar dulu ya nak. Jangan terlalu lama di luar, udara sudah semakin dingin," papa Soni dan mama Indi pergi meninggalkan Nara seorang diri. 

"Iya pah, mah." Nara masih duduk dengan santai di tempat itu. Nara kembali teringat dengan perkataan mama Indi mengenai perceraiannya. 

"Ternyata di sinilah ujung kita. Tiga tahun kita saling mengenal dan tiga tahun hidup bersama, semua bagaikan debu yang tersapu angin," lirih suara Nara mengenang kebersamaannya bersama Kendra. 

"Apakah masih ada sisa rasa dihatimu? Mungkin sudah tidak ada lagi. Dia memang lebih baik dari ku. Aku hanya bisa mendoakan kebahagiaan untuk kalian. Aku berharap kita tidak akan pernah bertemu lagi." Nara sudah ikhlas melepaskan semuanya. Nara hanya ingin bisa kembali menatap masa depan tanpa kembali menoleh ke belakang. 

Malam kian larut, Nara segera masuk ke dalam rumah dan menutup pintu balkon. Nara pergi ke dapur menyiapkan gelas bekas coklat panasnya dan mengambil air putih untuk di bawa ke kamar. Setelah mengganti pakaiannya dengan piama, Nara segera naik keranjang dan bersiap tidur. 

"Lancarkan segala urusanku esok hari Tuhan," usai mengucapakan permohonan. Nara mulai terlelap. 

Kemarin adalah masa lalu dan esok adalah masa depan. Mungkin itu kata yang tepat menggambarkan suasana hati Nara saat ini. Setelah menghabiskan sarapannya, Nara segera bersiap untuk ke kantor.  Semenjak pindah ke kota ini, Nara kembali bekerja di perusahaan papa Soni. Itulah obat terampuh untuk Nara menyembuhkan rasa sakit dan kecewa di tinggal orang-orang yang dia cintai. 

"Nara, nanti paman James datang. Segera kamu tanda tangani berkas perceraian kalian. Papa tidak mau anak perempuan papa kembali terusik." Nara mengangguk paham.

"Baiklah pah. Terima kasih bantuannya pah," Papa Soni begitu tulus kepada Nara. 

"Tidak usah berterima kasih nak. Itu kewajiban kami dan tanggung jawab kami untukmu. Papa tidak ingin putri papa terluka," Nara begitu bahagia mendapatkan orangtua pengganti yang begitu tulus. 

Nara berangkat ke kantor dan Papa Soni masih libur dan beristirahat di rumah. Mereka berbincang-bincang dengan santai. 

"Pah, apakah papa jadi mengirim Nara keluar negeri?" Beberapa waktu yang lalu papa Soni pernah mengatakan hal itu. 

"Jadi mah, ada perusahaan teman papa yang mau menerima Nara bekerja di sana," Mama Indi seperti tidak rela jika anak perempuannya pergi jauh. 

"Baiklah, besok kita bicarakan dengan Nara pap," mereka santai menonton acara di layar besar.

Bel pintu berbunyi, Pak Lee yang mendengar suara bel segera membuka pintu. Pengacara keluarga sudah berdiri dihadapan papa Soni. Papa Soni tersenyum tipis. 

"Mari masuk pak." Papa Lee mempersilahkan tamu majikannya masuk. 

"Terima kasih Pak," Pak James mengekori di belakang.

"Tuan, nyonya ada Tuan James di depan." Pak Lee meminta ijin terlebih dahulu.

"Antarkan kemari pak Lee." Pak Lee segera mengantarkan James ke ruang tengah.

"Selamat pagi tuan Soni." Sapa pengacara itu.

"Pagi, pak James. Mari silahkan duduk," pak James duduk santai dan segera membahas perihal perceraian Nara dan Kendra. 

"Saya mengantarkan ini tuan." Pak James segera mengeluarkan map berisi surat gugatan cerai. 

"Terima kasih pak James, sudah mau direpotkan," Papa Soni merasa terlalu merepotkan pak James. 

"Saya tidak merasa Di repotkan. Tinggal meminta tanda tangan nyonya Nara dahulu, baru bisa saya antar ke kediaman pak Kendra," Papa Soni membaca semua tuntutan untuk Kendra. Dan mengangguk setuju. 

"Oh ya pak James, saya mau minta tolong untuk pengurusan visa dan paspor baru untuk Nara. Paspor dan visa lamanya berada di rumah Kendra. Jika diambil, akan dicurigai Kendra," Pak James mengangguk paham. Pak James juga sudah mengetahui perihal kepergian Nara nanti. 

"Baik, saya akan segera uruskan tuan. Apakah masih ada lagi yang harus saya kerjakan tuan?" Papa Soni menggelengkan kepalanya.

"Sudah untuk hari ini. Dan mengenai surat ini, nanti saya kabari jika sudah bertemu dengan Nara." Pak James mengangguk. Setelah membereskan semua barang bawaannya, James segera pamit dan kembali ke kantor. 

"Inilah jalan terbaik untuk kalian." Lirih suara Papa Soni menatap berkas perceraian anak kandungnya dan putri angkatannya. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!