Loving Cassandra
"Sandra nggak butuh uang, Pa. Sandra nggak butuh warisan. Sandra juga nggak berminat mengurus perusahaan. Sandra cuma pengin bebas, jadi penyanyi, punya album, konser, tour keliling dunia..."
"Kamu pikir gampang! San, ini demi masa depan kamu! Papa nggak mau kamu hidup susah nantinya. Jadi penyanyi kalau nggak terkenal-terkenal amat juga bakalan susah masa depannya! Kamu bisa bilang gini sekarang. Kalau kamu sudah dewasa, kamu akan sadar punya uang banyak itu penting!"
Pasangan ayah dan anak itu tampak bersitegang. Prambodo menatap mata putrinya dengan mata nanar. Bukan tatapan amarah. Tapi tatapan cemas bercampur gemas.
Sedangkan yang ditatap sang ayah justru bersungut-sungut macam anak kecil. Gadis cantik bermata bulat itu justru membuang muka dari ayahnya.
Ya, Cassandra Siena Prambodo memang bukan anak-anak. Tapi disebut dewasa pun juga belum pantas.
Usia Cassandra atau kerap dipanggil Sandra baru 19. Sebulan lagi dia 20 tahun. Normalnya ia seharusnya sudah memasuki usia kuliah semester awal. Tapi Sandra masih terjebak di bangku SMA.
Sandra kecelakaan bersama mendiang mamanya dan mengalami cedera kaki yang parah. Nestapa akibat kehilangan mama sekaligus kehilangan kemampuan berjalan membuatnya cuti sekolah 2 tahun.
Sandra yang tidak menyukai sekolah sejak awal ingin menyerah dan berhenti saja. Toh cita-citanya juga ingin menjadi penyanyi, tidak butuh ijazah. Ia merasa sekolah membuang-buang waktu. Lebih baik belajar musik.
Tapi jelas ide itu ditolak mentah-mentah oleh Prambodo. Sang ayah yang diam-diam menyembunyikan penyakit kankernya cemas akan masa depan putri satu-satunya itu kalau ia menyusul istrinya meninggalkan dunia.
Pendidikan tinggi, karir bagus, bisnis keluarga yang berjalan mulus adalah mimpinya untuk Cassandra. Ia merasa tidak bisa meninggal dengan tenang kalau masa depan putrinya tidak terjamin.
Maka setelah cedera kaki Sandra pulih, Prambodo memaksa putrinya kembali ke bangku SMA yang dibencinya.
Cassandra yang masih memakai seragam SMA itu masih tampak kesal. Ia melipat tangannya ke dada sambil duduk di kursi depan meja kerja ayahnya di kantor.
"San, maaf. Papa nggak bermaksud teriak tadi. Tapi Sandra tahu kan Papa cuma pengin yang terbaik buat Sandra." Suara Prambodo yang tadinya bernada tinggi mendadak lembut.
Ya, pria itu merasa bersalah juga telah bicara dengan nada agak keras. Memang membesarkan anak gadis seorang diri itu bukan hal mudah. Apalagi Cassandra dari dulu memang tidak dekat dengan sang ayah karena kesibukannya di perusahaan yang dirintisnya.
Mendengar kata-kata sang ayah yang mulai melunak, Cassandra sedikit merasa bersalah juga. Tadi nada suaranya juga tak kalah tinggi.
"Sandra juga minta maaf. Sandra mau bicara pelan-pelan tapi semua yang Papa bilang cuma bikin Sandra emosi. Bisa-bisanya sih Papa punya ide kayak gitu," ucap Sandra sambil mulai menatap ke arah papanya lagi.
"Itu ide terbaik yang Papa bisa atur buat kamu. Coba masih ada mama. Pasti dia bisa menjelaskan semua ini ke kamu dengan lebih tenang. Dan kamu bisa nerima dan ngerti maksud Papa." Mata Prambodo makin berkaca-kaca.
Sandra menghela nafas panjang. Pipi mulusnya tampak memerah. Rambut panjangnya jadi sedikit berantakan juga karena dari tadi ia memegangi kepalanya dan mengacak-acak rambutnya sendiri karena pusing dan terlalu syok dengan kata-kata papanya.
"Kalau mama masih ada, dia nggak mungkin ngomong kayak gini ke Sandra. Mama nggak mungkin maksa Sandra sekolah. Mama akan cariin Sandra guru musik, dukung cita-cita Sandra. Dan yang paling penting dia nggak akan suruh Sandra buat nikah sama orang yang nggak Sandra kenal!"
Mata ayah dan anak itu kembali bertemu. Walau Sandra berkata dengan nada pelan, tapi kalimatnya cukup menohok dan membuat ayahnya terdiam beberapa saat.
Prambodo menunduk. Ya, ia tahu menjodohkan Sandra dengan anak rekan bisnisnya adalah hal yang cukup di luar nalar. Tapi ia merasa tak punya pilihan.
"Dan perjodohan ini konyol, Pa. Lagian aku masih sekolah. Pras itu siapa aku juga nggak tahu. Namanya aja Prastyo. Kayak nama teman Papa. Pasti dia tua, dia jelek, dia..."
"Dia masih muda. Ya 27 tahun sih. Bisa dibilang muda, kan? Pras ini anaknya Om Arik. Kalian sering ketemu tapi mungkin kamu nggak peduli aja sama dia. Dia ganteng, S2, sopan anaknya,..."
Keduanya kembali bertatapan. Prambodo dengan tatapan berusaha meyakinkan. Sandra dengan tatapan jengkel.
Ruangan Prambodo yang hanya berisi mereka berdua mendadak hening.
Sandra menutup wajahnya dengan tangan lalu menarik nafas panjang untuk kesekian kalinya.
"Oke. Aku nggak peduli dia seganteng apa. Papa jujur aja. Papa punya hutang sama Om Arik? Sumpah aku nggak siap tiba-tiba Papa ngomong begini. Hidup aku yang normal jadi kayak sinetron. Ngapain tiba-tiba aku disuruh nikah?" Sandra menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap sang ayah dengan tatapan menyerah.
Prambodo terdiam. Ia hanya bisa menunduk.
"Nggak. Papa nggak punya utang. Tapi kamu tahu kan Om Arik sama Papa join 50:50 bagian waktu bikin perusahaan ini? Papa cuma ingin jaga-jaga aja biar kalau Papa nggak ada, perusahaan ini tetap jadi punya kamu setengahnya." Suara Prambodo terdengar lirih.
Alis tebal Sandra naik, membuat wajah cantiknya bukannya seram tapi justru menggemaskan. Gadis itu lalu tertawa. Ia merasa ucapan papanya adalah hal tergila yang pernah ia dengar.
"Emang Papa mau kemana? Aneh banget tiba-tiba ngomong begi..."
"Papa sakit."
Sandra membisu. Tapi tatapan matanya berubah menjadi terkejut.
"Kanker otak stadium akhir. Kalau Papa sering ke luar negeri buat urusan bisnis, itu Papa bohong. Papa berobat. Tapi nggak ada obatnya, San. Sebenarnya udah lama Papa sakit, dari sewaktu kamu belum kecelakaan sama Mama.
Sekarang Mama udah nggak ada. Keluarga dekat kita nggak ada. Kalau Papa pergi, kamu gimana? Walau untuk urusan bisnis Papa percaya sama Om Arik, tapi ke depannya Papa kan nggak tahu.
Kamu nggak mau tahu soal perusahaan. Kalau Papa nggak ada, kalau Om Arik berubah pikiran, kalau kamu ditipu, Papa nggak bisa nolong.
Kalau kamu nikah sama Pras yang merupakan pewaris tunggal perusahaan ini juga, setidaknya kita bisa buat perjanjian pranikah soal harta gono-gini. Papa akan merasa lebih tenang karena masa depan kamu terjamin.
Coba kamu ngertiin Papa, San. Papa cuma cemas dan cuma ini yang bisa Papa lakukan..."
Sandra terdiam seribu bahasa. Air matanya bercucuran tiba-tiba tanpa bisa ia bendung.
***
Sementara berjarak satu lantai dari tempat Sandra menangis...
Pras melepas kacamatanya lalu menatap ke arah jendela. Tampak gedung pencakar langit ibukota terlihat mengkilat diterpa pantulan matahari tenggelam sore ini.
"Dia masih SMA, Pa. Masak Papa nyuruh aku nikah sama dia. Lagian Sandra kayaknya juga dingin banget anaknya, susah didekati." Pras mendadak lemas.
Arik Gudono yang berpenampilan nyentrik itu tertawa pelan.
"Dia masih SMA kan karena cuti sekolah. Cassandra udah mau 20 tahun loh. Udah cukup umur lah. Legal secara hukum buat menikah. Ya kamu gimana kek cari cara buat deketin dia.
Kita juga nggak mau kalian menikah karena terpaksa. Kita kasih waktu buat pendekatan. Papa atur deh biar kamu jadi guru di sekolah dia. Biar kalian dekat. Gampang itu. Pemilik yayasan sekolahnya kan teman satu alumni Papa sama Om Prambodo waktu kuliah."
Pras hampir menyembur minumannya mendengar ide gila papanya itu.
Jadi guru SMA?
BERSMABUNG...
_____
Halo jangan lupa dukung karya ini dengan like, komen, vote. Satu like dan komentar sangat berarti untuk penulis.
Terima kasih.🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Hesty Mamiena Hg
awal yg menarik 🤔
2023-08-15
1