"Sandra nggak butuh uang, Pa. Sandra nggak butuh warisan. Sandra juga nggak berminat mengurus perusahaan. Sandra cuma pengin bebas, jadi penyanyi, punya album, konser, tour keliling dunia..."
"Kamu pikir gampang! San, ini demi masa depan kamu! Papa nggak mau kamu hidup susah nantinya. Jadi penyanyi kalau nggak terkenal-terkenal amat juga bakalan susah masa depannya! Kamu bisa bilang gini sekarang. Kalau kamu sudah dewasa, kamu akan sadar punya uang banyak itu penting!"
Pasangan ayah dan anak itu tampak bersitegang. Prambodo menatap mata putrinya dengan mata nanar. Bukan tatapan amarah. Tapi tatapan cemas bercampur gemas.
Sedangkan yang ditatap sang ayah justru bersungut-sungut macam anak kecil. Gadis cantik bermata bulat itu justru membuang muka dari ayahnya.
Ya, Cassandra Siena Prambodo memang bukan anak-anak. Tapi disebut dewasa pun juga belum pantas.
Usia Cassandra atau kerap dipanggil Sandra baru 19. Sebulan lagi dia 20 tahun. Normalnya ia seharusnya sudah memasuki usia kuliah semester awal. Tapi Sandra masih terjebak di bangku SMA.
Sandra kecelakaan bersama mendiang mamanya dan mengalami cedera kaki yang parah. Nestapa akibat kehilangan mama sekaligus kehilangan kemampuan berjalan membuatnya cuti sekolah 2 tahun.
Sandra yang tidak menyukai sekolah sejak awal ingin menyerah dan berhenti saja. Toh cita-citanya juga ingin menjadi penyanyi, tidak butuh ijazah. Ia merasa sekolah membuang-buang waktu. Lebih baik belajar musik.
Tapi jelas ide itu ditolak mentah-mentah oleh Prambodo. Sang ayah yang diam-diam menyembunyikan penyakit kankernya cemas akan masa depan putri satu-satunya itu kalau ia menyusul istrinya meninggalkan dunia.
Pendidikan tinggi, karir bagus, bisnis keluarga yang berjalan mulus adalah mimpinya untuk Cassandra. Ia merasa tidak bisa meninggal dengan tenang kalau masa depan putrinya tidak terjamin.
Maka setelah cedera kaki Sandra pulih, Prambodo memaksa putrinya kembali ke bangku SMA yang dibencinya.
Cassandra yang masih memakai seragam SMA itu masih tampak kesal. Ia melipat tangannya ke dada sambil duduk di kursi depan meja kerja ayahnya di kantor.
"San, maaf. Papa nggak bermaksud teriak tadi. Tapi Sandra tahu kan Papa cuma pengin yang terbaik buat Sandra." Suara Prambodo yang tadinya bernada tinggi mendadak lembut.
Ya, pria itu merasa bersalah juga telah bicara dengan nada agak keras. Memang membesarkan anak gadis seorang diri itu bukan hal mudah. Apalagi Cassandra dari dulu memang tidak dekat dengan sang ayah karena kesibukannya di perusahaan yang dirintisnya.
Mendengar kata-kata sang ayah yang mulai melunak, Cassandra sedikit merasa bersalah juga. Tadi nada suaranya juga tak kalah tinggi.
"Sandra juga minta maaf. Sandra mau bicara pelan-pelan tapi semua yang Papa bilang cuma bikin Sandra emosi. Bisa-bisanya sih Papa punya ide kayak gitu," ucap Sandra sambil mulai menatap ke arah papanya lagi.
"Itu ide terbaik yang Papa bisa atur buat kamu. Coba masih ada mama. Pasti dia bisa menjelaskan semua ini ke kamu dengan lebih tenang. Dan kamu bisa nerima dan ngerti maksud Papa." Mata Prambodo makin berkaca-kaca.
Sandra menghela nafas panjang. Pipi mulusnya tampak memerah. Rambut panjangnya jadi sedikit berantakan juga karena dari tadi ia memegangi kepalanya dan mengacak-acak rambutnya sendiri karena pusing dan terlalu syok dengan kata-kata papanya.
"Kalau mama masih ada, dia nggak mungkin ngomong kayak gini ke Sandra. Mama nggak mungkin maksa Sandra sekolah. Mama akan cariin Sandra guru musik, dukung cita-cita Sandra. Dan yang paling penting dia nggak akan suruh Sandra buat nikah sama orang yang nggak Sandra kenal!"
Mata ayah dan anak itu kembali bertemu. Walau Sandra berkata dengan nada pelan, tapi kalimatnya cukup menohok dan membuat ayahnya terdiam beberapa saat.
Prambodo menunduk. Ya, ia tahu menjodohkan Sandra dengan anak rekan bisnisnya adalah hal yang cukup di luar nalar. Tapi ia merasa tak punya pilihan.
"Dan perjodohan ini konyol, Pa. Lagian aku masih sekolah. Pras itu siapa aku juga nggak tahu. Namanya aja Prastyo. Kayak nama teman Papa. Pasti dia tua, dia jelek, dia..."
"Dia masih muda. Ya 27 tahun sih. Bisa dibilang muda, kan? Pras ini anaknya Om Arik. Kalian sering ketemu tapi mungkin kamu nggak peduli aja sama dia. Dia ganteng, S2, sopan anaknya,..."
Keduanya kembali bertatapan. Prambodo dengan tatapan berusaha meyakinkan. Sandra dengan tatapan jengkel.
Ruangan Prambodo yang hanya berisi mereka berdua mendadak hening.
Sandra menutup wajahnya dengan tangan lalu menarik nafas panjang untuk kesekian kalinya.
"Oke. Aku nggak peduli dia seganteng apa. Papa jujur aja. Papa punya hutang sama Om Arik? Sumpah aku nggak siap tiba-tiba Papa ngomong begini. Hidup aku yang normal jadi kayak sinetron. Ngapain tiba-tiba aku disuruh nikah?" Sandra menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap sang ayah dengan tatapan menyerah.
Prambodo terdiam. Ia hanya bisa menunduk.
"Nggak. Papa nggak punya utang. Tapi kamu tahu kan Om Arik sama Papa join 50:50 bagian waktu bikin perusahaan ini? Papa cuma ingin jaga-jaga aja biar kalau Papa nggak ada, perusahaan ini tetap jadi punya kamu setengahnya." Suara Prambodo terdengar lirih.
Alis tebal Sandra naik, membuat wajah cantiknya bukannya seram tapi justru menggemaskan. Gadis itu lalu tertawa. Ia merasa ucapan papanya adalah hal tergila yang pernah ia dengar.
"Emang Papa mau kemana? Aneh banget tiba-tiba ngomong begi..."
"Papa sakit."
Sandra membisu. Tapi tatapan matanya berubah menjadi terkejut.
"Kanker otak stadium akhir. Kalau Papa sering ke luar negeri buat urusan bisnis, itu Papa bohong. Papa berobat. Tapi nggak ada obatnya, San. Sebenarnya udah lama Papa sakit, dari sewaktu kamu belum kecelakaan sama Mama.
Sekarang Mama udah nggak ada. Keluarga dekat kita nggak ada. Kalau Papa pergi, kamu gimana? Walau untuk urusan bisnis Papa percaya sama Om Arik, tapi ke depannya Papa kan nggak tahu.
Kamu nggak mau tahu soal perusahaan. Kalau Papa nggak ada, kalau Om Arik berubah pikiran, kalau kamu ditipu, Papa nggak bisa nolong.
Kalau kamu nikah sama Pras yang merupakan pewaris tunggal perusahaan ini juga, setidaknya kita bisa buat perjanjian pranikah soal harta gono-gini. Papa akan merasa lebih tenang karena masa depan kamu terjamin.
Coba kamu ngertiin Papa, San. Papa cuma cemas dan cuma ini yang bisa Papa lakukan..."
Sandra terdiam seribu bahasa. Air matanya bercucuran tiba-tiba tanpa bisa ia bendung.
***
Sementara berjarak satu lantai dari tempat Sandra menangis...
Pras melepas kacamatanya lalu menatap ke arah jendela. Tampak gedung pencakar langit ibukota terlihat mengkilat diterpa pantulan matahari tenggelam sore ini.
"Dia masih SMA, Pa. Masak Papa nyuruh aku nikah sama dia. Lagian Sandra kayaknya juga dingin banget anaknya, susah didekati." Pras mendadak lemas.
Arik Gudono yang berpenampilan nyentrik itu tertawa pelan.
"Dia masih SMA kan karena cuti sekolah. Cassandra udah mau 20 tahun loh. Udah cukup umur lah. Legal secara hukum buat menikah. Ya kamu gimana kek cari cara buat deketin dia.
Kita juga nggak mau kalian menikah karena terpaksa. Kita kasih waktu buat pendekatan. Papa atur deh biar kamu jadi guru di sekolah dia. Biar kalian dekat. Gampang itu. Pemilik yayasan sekolahnya kan teman satu alumni Papa sama Om Prambodo waktu kuliah."
Pras hampir menyembur minumannya mendengar ide gila papanya itu.
Jadi guru SMA?
BERSMABUNG...
_____
Halo jangan lupa dukung karya ini dengan like, komen, vote. Satu like dan komentar sangat berarti untuk penulis.
Terima kasih.🥰
Minuman yang tersembur itu membuat kemeja rapi Pras sedikit basah. Pria itu mengibas-ibaskan kerah bajunya dengan jari-jemari tangannya yang panjang dan berotot itu.
Maklum saja, pria itu gemar berolahraga. Gaya hidupnya juga sehat dan terjadwal. Pras memang sosok perfeksionis. Kerapian dan gaya hidupnya cukup terlalu sempurna untuk ukuran pria. Tapi itulah dia.
Ya mungkin bisa dibilang Prastyo Hakka Gudono adalah sosok sempurna untuk dijadikan calon suami bagi wanita matang siap menikah di luar sana.
Arik Gudono tertawa-tawa melihat tingkah putranya itu. Ya, gaya hidup dan penampilan ayah dan anak itu bertolak belakang bagai langit dan bumi.
Kalau tak kenal maka orang-orang tak akan tahu mereka ayah dan anak kandung. Arik si nyentrik, suka memakai kacamata hitam bahkan di dalam ruangan. Ia hobby memakai celana jeans dan jaket kulit untuk bekerja.
Maklum, setengah gedung perusahaan ini miliknya. Suka-suka dia mau pakai apa berangkat ke kantor.
Sedangkan Prastyo Hakka Gudono adalah gambaran pria metropolitan berkarir sukses. Kemeja rapi, dasi, wangi, rambut kelimis dengan pomade mengkilat, sepatu hitam, kacamata baca bertengger di wajahnya.
Betapa kontras penampilan keduanya.
Pras kini menatap tak suka pada kemeja setengah basahnya. Tatapannya makin kesal saat melihat papanya hanya duduk sambil tertawa-tawa.
"Pa, aku mau jadi guru apa? Aku kan kuliah manajemen bisnis, bukan kuliah pendidikan guru. Cassandra juga pasti menolak perjodohan ini, kan? Bukannya dia malah makin kesal kalau tahu aku sampai jadi guru sekolahnya buat pendekatan? Gila apa!"
Pras yang sebenarnya sosok yang jarang bicara itu jadi mendadak cerewet.
Arik Gudono lagi-lagi hanya mengangkat bahu.
"Justru itu tantangannya. Sekalian kamu jagain dia. Setahun doang, Pras. Abis libur sekolah ini kan dia naik kelas 12. Tahun terakhir.
Cassandra itu kan cantik. Cantik banget. Halah kamu kan udah sering lihat dia kalau ada acara kantor dan Om Prambodo ngajak dia. Cantik kan anaknya? Pasti banyak yang naksir.
Nah, makannya kamu sekalian jagain. Jangan sampai lah istri kamu ditikung teman sekolahnya. Ya walau umur anak-anak cowok itu lebih muda dari Cassandra, tapi ya namanya juga cowok.
Ayolah. Cassandra juga pasti ngerti, kok. Biar kamu istirahat juga dari ngantor. Kamu udah terlalu kerja keras bertahun-tahun. Anggap aja cuti. Papa kan mau pensiun. Nanti balik ngantor kamu gantiin Papa. Ya?"
Dan Pras pun belum menyahut.
Pras tahu papanya punya ide ini sekalian mengusirnya secara halus dari kantor. Pras tahu betul. Dan ia paham mengapa papanya begitu.
Mungkin papanya pikir dengan menendangnya dari kantor dan mengirimnya jadi guru sekolah Cassandra akan membuat perasaannya berubah untuk Mayasa. Padahal tidak. Sampai detik ini Pras masih mencintai wanita itu.
Pras tahu betul perjodohan ini tidak akan berhasil. Akan sia-sia saja. Tapi ia tahu ia tak boleh mengecewakan sang ayah. Ia sudah berjanji akan mengakhiri hubungan dengan Mayasa. Tapi janji kan di mulut, sedangkan hati tidak semudah itu berubah haluan.
"Papa mau ngusir aku dari kantor biar nggak ketemu Mayasa?" Pras bukannya menjawab iya atau tidak, tapi ia malah menanyakan pertanyaan itu dengan lirih.
Arik tak tertawa lagi. Ia hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan itu. Kisah percintaan Mayasa dan Pras adalah topik yang berusaha mereka hindari untuk dibahas. Tapi Pras justru memulainya, bahkan menyebut namanya dengan jelas.
"Kamu mau Papa jujur? Iya. Setahun aja, Pras. Nanti kamu bakalan bisa cepat lupain perempuan itu. Syukur-syukur kamu bisa cinta betulan sama Cassandra.
Papa nggak bisa asal aja mutasi dia ke cabang lain. Dia sudah bekerja keras untuk perusahaan ini dan berjasa besar. Papa bukan pemimpin yang arogan. Apalagi Om Prambodo mengandalkan Mayasa dan mempercayainya.
Papa nggak akan kasih tahu Om Prambodo soal kamu sama Mayasa. Kalian sudah janji juga akan mengakhiri hubungan kalian. Kamu tahu kan mama kamu juga nggak setuju kamu sama Mayasa?"
Arik Gudono membuang muka menatap jendela.
Pembicaraan antara ayah dan anak laki-laki kadang bisa secanggung ini.
Pras terdiam.
Ya, Arik Gudono sempat cemas dengan kehidupan percintaan putranya dengan perempuan bernama Mayasa itu. Terlebih ketika ia sadar mereka sudah terlalu jauh.
Ketika memulai karir di kantor ini dan Pras menginginkan merintis dari bawah, Arik cukup bangga karena putranya tidak memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan posisi atas. Tapi siapa sangka petualangan Pras memulai karir di perusahaan papanya sendiri itu justru membuatnya terperangkap cinta atasannya sendiri alias Mayasa.
Ya, Mayasa kepala salah satu departemen penting di kantor. Perempuan itu menjadi mentor Pras sehingga mereka dekat.
Jatuh cinta memang bukan sebuah dosa atau kesalahan. Tapi Mayasa berumur 37. Ia janda beranak 3 yang ditinggal mati suaminya.
Dan salahnya Pras jatuh cinta. Jatuh cinta dengan mendalam pada perempuan berusia sepuluh tahun di atasnya itu.
Pras menutup wajahnya dengan tangan.
"Aku udah nggak ada hubungan apa-apa lagi dengan Mayasa, Pa. Tapi jodohin aku sama anak 20 tahun yang masih SMA itu terasa konyol." Pras menyahut lirih.
"Memang kenapa kalau dia baru 20 tahun. Cuma selisih 7 tahun sama kamu. Kamu sama May..."
"Stop, Pa. Udah. Jangan sebut dia lagi. Oke tapi kenapa? Apa nggak bisa bikin surat perjanjian lain atau apalah untuk ke depannya biar perusahaan ini tetap begini aja.
Masak Om Prambodo nggak percaya sama kita. Masak aku harus nikahin anaknya buat menjamin perusahaan akan tetap jadi milik berdua. Kayak kita mau ada niat jahat aja. Seharusnya Papa tersinggung..."
"Pras. Kamu nggak ngerti. Papa sama Om Prambodo sahabatnya sejak kuliah. Susah senang kita merintis bareng. Bahkan bisa dibilang Papa hutang budi sama keluarganya. Kamu nggak ngerti rasanya jadi seorang bapak kayak Papa sama Om Prambodo.
Om Pramodo cuma cemas soal Cassandra. Apalagi anak itu susah diatur. Papa nggak tersinggung dengan permintaanya. Papa tahu dia bilang begitu karena dia cemas. Kamu tahu kan dia sakit keras." Nada Arik Gudono mendadak sedih di akhir kalimatnya begitu menyinggung soal kesakitan sahabatnya.
"Lah itu Papa tahu anaknya susah diatur. Aduh nggak akan berhasil deh perjodohan ini!" Pras terdengar makin frustasi.
"Akan dipaksa berhasil, Pras. Maaf. Tapi kita cuma ngasih waktu pendekatan. Bukan berarti ada kesempatan untuk menolak. Pada akhirnya kalian harus tetap menikah. Apapun yang terjadi." Suara tegas Arik Gudono membuat Pras tersentak.
Apa?
Garis takdir macam apa ini?
Di zaman semodern ini, kenapa masih ada perjodohan konyol hanya karena harta?
Pras meletakkan kepalanya di meja. Tangannya terkepal. Ia pusing. Benar-benar pusing.
"Maaf Pras. Kalau kamu mah menolak Papa nggak papa, kok. Tapi Papa tahu kamu anak Papa satu-satunya yang berbakti. Nggak mungkin kamu bikin Papa kecewa."
Arik Gudono lalu pergi setelah mengucapkan kalimat itu.
Pras mengangkat wajahnya setelah mendengar pintu ruangannya ditutup.
Oke. Guru SMA. Guru apa?
Ah, sial!
Bersambung ...
...
Jangan lupa tinggalkan jejak dan komentar, ya. Terima kasih pembaca.🥰
Cassandra menutup pintu kamar papanya pelan-pelan lalu ia naik ke lantai dua menuju kamarnya sendiri.
Setelah tadi sore papanya mengungkap soal penyakit parahnya dan tujuannya menjodohkannya dengan lelaki bernama Pras itu, Sandra tidak henti-hentinya menangis hingga rasanya matanya bengkak dan air matanya sudah terkuras habis.
Prambodo berulang kali meminta maaf pada putrinya. Ia tidak ingin membuat Sandra menangis tapi ia tak punya pilihan.
Tak, tak, tak...
Bunyi suara langkah kaki Sandra menaiki tangga. Langkahnya gontai seolah tak ada tenaga.
Sandra tetaplah perempuan biasa yang lemah. Terlebih setelah kehilangan mamanya. Cassandra yang sudah seharusnya dewasa secara usia seolah jadi mundur ke belakang lagi. Tingkahnya semacam anak belasan tahun.
"Sandra kangen, Ma," ucap gadis itu sambil memungut bingkai cantik berisi foto mamanya lalu ia peluk sambil menarik selimutnya.
Air matanya menetes lagi tapi Cassandra mengusapnya dengan cepat dengan punggung tangannya.
"Kok Mama nggak pernah bilang sih kalau Papa sakit. Mama cuma bilang biar Sandra nggak terlalu cuek sama Papa. Mama cuma bilang biar aku sering-sering perhatian ke Papa. Jadi ini sebabnya, Ma..."
Sandra menarik nafas panjang lalu membelai wajah mamanya lewat kaca pigura.
"Sandra sampai nggak tahu kalau Papa sakit. Kalau Papa mencukur habis rambutnya dan sering pakai topi karena kemoterapi bukan karena dia pengen model rambut itu seperti yang dia bilang. Sandra kok nggak peka, sih?
Sandra nggak tahu kalau Papa sibuk ke luar negeri, sering keluar kota bahkan nggak pulang berhari-hari karena berobat, bukan karena nggak perhatian sama Sandra.
Kok bisa Sandra nggak sadar beberapa tahun terakhir kondisi fisik Papa berubah banyak. Sandra terlalu marah karena Mama ninggalin Sandra sendirian.
Sandra terlalu marah karena nggak bisa jalan berbulan-bulan dan harus pemulihan. Sandra marah karena Papa terus makasa Sandra sekolah. Papa juga melarang Sandra untuk main musik dan Sandra jadi marah ke Papa."
Cassandra bermonolog sendiri seolah-olah foto mamanya bisa mendengar suaranya. Kemudian ia menaruh bingkai foto itu lagi di samping mejanya.
Lalu dipungutnya handphone yang tergeletak di mejanya itu.
Sandra menatap kosong ke arah layar ponsel yang sudah ia nyalakan itu. Nafasnya terasa berat.
Dalam hati ia ingin hilang, "Oke. Di saat-saat terakhir Papa, yang bisa Sandra lakukan cuma bikin dia senang. Jadi pura-pura aja menyanggupi perjodohan ini. Tapi sebelum cowok itu dikenalin langsung, aku harus nyari tahu sendiri soal dia. Ah, tadi nama lengkapnya siapa sih..."
Cassandra lalu membuka akun sosial medianya dan mengetikkan nama lengkap pria itu di kolom pencarian namun tidak ada hasil.
Ia lalu mengetikkan alternatif nama lain yang memungkinkan tapi juga tidak ada hasilnya. Username atas nama Prastyo Hakka Gudono tidak ada sama sekali.
"Hidup di zaman apa sih cowok itu. Semua sosial medianya nggak ada namanya, loh. Dia pakai nama anonim kali, ya? Ah, tapi kayaknya malah dia mungkin nggak main sosial media deh. Dia kan cowok tua 27 tahun. Mana ngerti mainan beginian."
Cassandra asyik dengan handphone-nya tapi mulutnya sambil menggerutu.
Cassandra mengetikkkan nama itu lagi di mesin pencarian internet, berharap menemukan artikel atau apapun yang ditulis atas nama Pras.
Nihil!
Iia tidak menemukan apa-apa kecuali CV, riwayat pekerjaan, dan biodata singkat di akun resmi perusahaan.
"Ya ampun! Bener-bener, ya! Memang cowok kuno itu orang. Tapi 27 tahun sih masih muda dan keren seharusnya kalau orangnya kayak Amris Goyard. Tapi ini benar-benar kayak bapak-bapak."
Sandra mengomel sendiri sambil mencoba membesarkan foto Pras yang terlihat pecah-pecah itu untuk meneliti seperti apa sih Prastya Hakka Gudono ini. Sandra juga membandingkan Pras dengan Amris Goyard-vokalis band rock favoritnya yang tampan dan tetap keren meski usianya sudah 40 tahun.
"Benaran mas-mas biasa yang tua banget gayanya. Oh nasibku!" Sandra memijit-mijit kepalanya lalu meletakkan kembali handphone canggih itu di kasurnya dan berusaha memejamkan mata.
Pencarian soal Pras buntu. Ia benar-benar tidak tahu apa-apa soal pria itu. Sandra akhirnya berkesimpulan dan menganggap Pras mas-mas tua menyebalkan dan membosankan yang jelas tidak akan cocok dengannya.
"Oke, tidur Sandra! Besok bangunin Papa. Ajak jalan-jalan di taman, pastiin dia minum obat, ajak berjemur sambil ngobrol. Kamu nggak mau kan nyesel kayak waktu kehilangan Mama?"
Sandra bicara sendiri sambil memejamkan mata. Ia biarkan air matanya menetes lagi.
Sandra tahu sebentar lagi usianya 20 tahun. Mimpinya menjadi penyanyi dan musisi terkenal sepertinya sudah tinggal kenangan sekarang setelah tahu kondisi papanya.
Sandra hanya ingin fokus mengurus papanya yang selalu bilang usianya tidak akan lama lagi. Ia tak ingin membuatnya kecewa. Setidaknya ia harus lulus sekolah lalu melanjutkan kuliah bisnis seperti yang papanya mau. Itu pun kalau papanya masih ada umur sampai ia lulus SMA.
Cassandra akhirnya tidur. Air matanya mengering sendiri tapi hatinya tercabik-cabik seolah darahnya terasa masih mengucur deras. Sakit itu bahkan masih terasa ketika ia ketiduran hingga terbawa ke alam mimpi.
Ya, Sandra takut akan menjadi sebatang kara. Ia tahu hal itu akan terjadi tapi rasanya tetap menakutkan ketika ia membayangkannya sekarang.
Jujur saja ia tak siap. Lagipula siapa yang siap kehilangan kedua orang tua dalam waktu yang berdekatan.
***
Ketika Sandra ketiduran dan membiarkan ponselnya tergeletak di kasur, Pras justru tidak bisa tidur. Handphone dengan layar menyala terang itu ia genggam dengan alis mengernyit.
Niatnya untuk mencari tahu soal Cassandra lewat sosial media malah teralihkan karena Pras justru asyik stalking akun Mayasa.
Ya, Pras menggunakan akun anonim untuk mencari tahu soal aktifitas Mayasa. Bohong kalau ia sudah melupakan perasaannya pada wanita itu.
Melihat foto pribadi dan anak-anaknya yang ia posting, makanan yang ia makan, lagu yang ia dengar, dan hal-hal sederhana dari Mayasa sudah membuat Pras senang.
Setelah pindah divisi di kantor setelah ketahuan menjalin hubungan, mereka tidak benar-benar melepaskan satu sama lain. Kelihatannya sih sudah tidak ada apa-apa. Kalau bertemu di rapat internal pun sikap mereka tampak biasa, sehingga tak ada yang curiga.
Tapi baik Pras maupun Mayasa, keduanya sama-sama tahu rasa itu masih ada. Keduanya pun juga sama-sama tahu kalau mereka tidak akan pernah bisa bersama.
"Aku malah ngapain sih buka-buka akun Mayasa. Oke, fokus. Cari tahu soal Cassandra. C-a-s... S-nya dua atau satu sih?"
Sambil merebahkan dirinya di tempat tidurnya, akhirnya akun sosial media Cassandra dengan mudah bisa Pras temukan.
"Oke. Ini dia! Wow!"
Dan Pras langsung tidak bisa berkata-kata.
"Oke aku punya ide..."
Lalu Pras menutup layar sosial media itu dan beralih mencari satu kontak di daftar kontaknya. Ia tahu ia harus bagaimana untuk mendekati Cassandra.
"Halo Hugo? I need your help!"
Bersambung ...
...
Tinggalkan jejak like dan komentar untuk next part ya.🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!