"Apa mengundurkan diri?"
"Hal gila apa yang kamu pikirkan, Adam!" ketus Direktur mengepalkan genggaman jari-jemarinya.
"Jika tidak, itu akan sangat berdampak pada Tim Andromeda. Cepat, pikirkan maka itu akan lebih baik."
"Saya tegaskan kembali, pikirkan itu!" Tekad Adam menuntun yang terbaik bagi Direktur.
"Adam, kau tidak ingat dengan istri mu. Cantik yang sempurna, ya cantik." Direktur mencoba mengoyahkan Adam. Menatap ke depan, tidak memperdulikan ocehannya.
"Anakmu, yang memiliki mata dan keperibadian sepertimu."
"Haha, mereka sangat manis sekali." Direktur mengunakan nada yang sangat sinis.
"Jaga mulutmu, Direktur!" pekik Adam tidak memperdulikan omong kosong Direktur.
Setelah keluar dari ruang interogasi. Adam juga memikirkan ucapannya yang terakhir. Mencoba mencari tahu apa yang Direktur maksud tadi. Adam juga penasaran dengan kondisi anak dan istrinya.
"Eliza, apa kau baik-baik saja?" tanya Adam mengkhawatirkan kondisi kesehatan pada sang Bayi yang ada di janinnya.
"Mereka baik-baik saja," jawab seseorang dengan suara yang tidak asing lagi bagi Adam, ya itu Edwin.
"Mau kamu apa!" sentak Adam dengan tegas dan memukul setir.
"Jangan bertindak bodoh Ketua Tim Andromeda," ucap Edwin sambil menertawakan perjuangan Adam selama ini.
Profesor Pasha langsung menghentikan interogasi ketika mendengar laporan dari Adam. Semua anggota Tim Andromeda dan Investigasi Khusus segera menyusul ke apartemen Adam.
Percakapan Adam direkam oleh Arsenio. Sebelum menyusul, mendengarkan percakapan Adam dengan Profesor Edwin.
"Jangan sekali-kali kamu menyentuh mereka!" Pikiran Adam sudah ke mana-mana. Seolah sudah tahu akan bagaimana kejadiannya.
"Biarkan saya bicara dengan Eliza," pinta Adam yang sudah mendengar samar-samar suara tangisan.
"Eliza, dengar aku baik-baik."
"Tetap tenang, jangan melakukan perlawanan. Aku sedang di jalan menuju apartemen." Adam mencoba menenangkan Eliza yang nyawanya mulai terancam.
"Sayang, segera pulang. Aku takut, sangat takut."
"Aku ingin melihat wajahmu untuk yang terakhir kali. Namun, tidak bisa." Jantungnya berdetak kencang, suasana menjadi mencekam.
"Maafkan aku, maaf," balas Adam suara sedikit serak. Tidak terasa Adam juga meneteskan air mata.
"Pesan ku yang terakhir untuk hubungan kita." Eliza mengeluarkan air mata.
"Jaga Arkana baik-baik, bimbing dia. Dia anak yang pintar, masih memiliki masa depan-"
"Sssst, sudah-sudah jangan mencemaskan itu," putus Adam secara langsung.
"Berikan telepon pada Arkana," ucap Adam yang sudah tidak tahan mendengarkan suara tangisan Eliza. Mencoba mempercepat laju mobil.
"Arkana," panggil Adam dengan manis.
"Ya, Ayah," jawab Arkana yang berdiri di samping Eliza.
"Lakukan yang Ayah perintah."
"Bersembunyi dan menjadi mata-mata yang handal," ucap Adam berpura-pura sedang bahagia.
"Arkana, jika kau memiliki waktu 10 menit akan digunakan untuk apa?" tanya Adam untuk membuat Arkana tenang. Adam juga berencana, akan meminta Arkana untuk menjauh dari hadapan Edwin.
"Membantu pekerjaan Ayah dan menjaga ibu," jawaban dari Arkana yang sangat sederhana.
"Mulai sekarang, Ayah yang mengantikan posisimu dalam menjaga Ibu."
"Bersembunyi dan menjadi mata-mata untuk membantu pekerjaan ayah," ucap Adam sambil menghitung, supaya Arkana menjauh. Kemudian Adam mematikan telepon.
Di sepanjang jalan Adam sudah sangat yakin, bahwa Eliza tidak mungkin bisa selamat. Eliza sudah berada di tangan Edwin. Kemudian, Adam sampai di gerbang pintu rumah.
Ketika berlari sudah mendengar suara ledakan. Masuk ke dalam, sudah melihat ceceran darah dari anak tangga.
Sangat syok melihat Eliza yang sudah terbaring kaku. Melihat tapak kaki di balik gorden. Dengan pergerakan yang cepat mengambil pistol lalu menembakkan ke arah kaki tersebut.
Adam menarik keluar Edwin hingga terbentur dinding. Melakukan perkelahian sebagai rasa balas dendam.
"Dasar pecundang!" sentak Adam melakukan pukulan.
Edwin berhasil menjatuhkan Adam hingga terbentur kaca. Edwin mengambil sebuah pot, lalu diarahkan ke kepala Adam. Alhasil, mengucur darah pelan-pelan.
"Sial." Mengumpulkan tenaga untuk menjatuhkan Edwin. Akhirnya tersampaikan, benturan yang sangat kuat sehingga membuat Edwin terjatuh menuruni tangga.
Sudah jatuh di tangga secara bersamaan. Adam belum puas untuk memberlakukan Edwin. Dengan geramnya Adam membenturkan kepala Edwin di atas meja beberapa kali. Sambil mengucapkan kata mati.
"Ketua!" panggil Detektif Cyra.
"Jangan lakukan lagi," mohon Detektif Cyra sambil mengarahkan pistol.
"Tembak aku."
"Tembak!" pasrah Adam sudah pasrah dengan kejadian seperti ini. Profesor Pasha bersama Profesor Aara mencari keberadaan Arkana.
Tok...tok...tok
Suara ketukan yang berasal dari sebuah peti.
"Arkana, sedang apa kau di sini?" ucap Profesor Aara dengan terkejut.
"Mengikuti perintah Ayah," jawab Arkana dengan nada bersedih. Sepertinya dua profesor sudah tahu maksudnya.
Profesor Pasha memberikan pelukan hangat untuk Arkana. Dia belum tahu apa yang sedang terjadi dengan keluargannya. Dua Profesor mencari jalan keluar melalui pintu yang berbeda. Dia juga harus menjaga perasaan Arkana. Ketika Arkana sudah aman, barulah para profesor beradu pendapat.
"Kebiasaan Pak Adam dengan putra tunggalnya?"
"Memerintahkan supaya Arkana selalau terlatih dengan keadaan mendesak." Mereka berdua kembali menuju ke persembunyian Arkana.
"Selalu mengajarkan Arkana untuk menjadi seorang detektif kepolisian yang baik."
"Maka dari itu, Arkana selalu mematuhi peraturan," lanjut Profesor Aara sambil melipat tangan di dada.
Adam melihat Eliza yang sudah terbaring. Tak terasa air mata menetes membasahi pipi. Tak mampu menahan tangisan.
"Eliza..." Memangku kepala Eliza lalu mengusap rambut panjangnya.
Masih teringat saat pagi tadi masih bertemu dengannya. Masih melihat senyum manis yang membuat hati merindu. Kali ini dia pergi begitu saja. Setiap pagi menyiapkan segala perlengkapan ke kantor, dari mulai baju sampai sepatu.
Tetapi bagi Adam tidak ada gunanya bersedih terus-terusan.
Dilanjutkan argumen dari Gavin dan Detektif Cyra.
"Wajar saja jika Ketua marah besar," ucap Detektif Cyra sambil melipat tangan ke belakang.
"Tetapi itu akan berdampak pada kinerja atau tidak?" tanya Gavin pada Detektic Cyra.
"Menurut penilaian kinerja Adam pada yang terakhir kali."
"Beliau akan menduduki posisi Direktur untuk sementara," ungkap Detektif Cyra sambil berjalan berdua menuju ke sebuah sudut.
"Kamera?" ucap Gavin dengan terkejut.
"Coba di cek," perintah Gavin kepada Arsenio.
Mereka berdua kembali ke kantor untuk mengecek sebuah rekaman. Sedangkan Adam mencari Arkana dalam ruang kerjanya.
"Di mana Arkana?" tanya Adam merasa khawatir.
"Lihat," sahut Profesor Pasha.
Melihat betapa bahagianya Arkana dari sebuah jendela. Tertawa lepas seakan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ketika sedang memperhatikan Arkana. Terlintas mobil polisi yang membawa Edwin. Dia masih sempat tersenyum licik pada Adam.
"Ketua," panggil Profesor Pasha.
"Bagaimana dengan kasus Pak Direktur?" tanya Profesor Pasha yang berdiri di belakangnya.
"Segera lakukan pemecatan, dia sudah sangat melanggar," jawab Adam yang mulai tenang.
"Bagimana jika ada pengelakan?" sanggah Profesor Pasha.
"Kita harus memiliki strategi cadangan jika itu benar-benar terjadi." Kemudian Adam harus kembali ke kantor. Meninggalkan beberapa rekan anggotannya.
Perasaan yang tak karuan. Walaupun itu terjadi pada dirinya sendiri, tetapi tidak lupa dengan tanggungjawab. Adam sangat mengenali Direktur dan Edwin. Sudah terlalu percaya bahwa dirinya tidak akan mungkin melakukan hal keji itu pada rekan tim.
"Ketua," sapa Arsenio.
"Istirahat jika kau lelah," ucap Adam menepuk pundak. Gavin dan Profesor Pasha berencana akan mengantikan Adam ketika interogasi.
"Mas, bagaimana kalau saya yang mengantikan Pak Adam?" usul Profesor Pasha pada Gavin.
"Benar?" sahut Gavin meyakinkan.
"Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan juga." Gavin menyetujui dan bersiap-siap menyiapkan dokumen dan bukti-bukti.
"Biar saya nanti yang bilang dengan Pak Adam," lanjut Gavin segera berjalan menemui Adam.
"Permisi." Gavin mengetuk pintu.
"Saya hanya ingin memberi tahu saja, pak."
"Bahwa interogasi nanti akan digantikan oleh Profesor Pasha," jelas Gavin sambil sedikit tremor. Karena Gavin tahu kondisi Adam sedang dalam marah.
"Kok tiba-tiba?" tanya Adam dengan keras.
"Aduh!" ucap lirih Gavin.
"Karena kami takut bapak dan Direktur akan-"
"Sudah-sudah biar saya saja, 5 menit lagi saya akan masuk," putus Adam berjalan mengambil blazer.
Gavin keluar ruangan menemui Profesor Pasha.
"Bagaimana, mas?" sambut Profesor Pasha dengan penasaran.
"Bapak menolak, siapkan dokumen, 5 menit lagi bapak akan masuk," perintah Gavin pada Profesor Pasha.
"Hmm, bapak gampang-gampang susah orangnya," cemooh Profesor Pasha sambil mengambil dokumen di meja.
"Kenapa gerundel mulu dari tadi?" ucap Arsenio yang duduk di dekatnya.
"Itu bapak, mau digantikan palahan nggak mau," keluh Profesor Pasha meneguk teh sampai tandas. Langkah Adam mulai terdengar. Semua merasa tegang, memikirkan hal apa yang akan terjadi.
"Jangan pada panik gitu," ucap Adam mencoba mencairkan suasana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments