Pagi itu mereka semua melakukan aktivitas seperti biasanya. Hanya Dina saja yang masih terbaring di tempat tidur. Ia hanya tau jika seluruh tubuhnya terasa sakit dari ujung kaki sampai atas kepala. Ia tak mengingat ataupun mengerti kenapa kondisi tubuhnya jadi seperti itu. Karena itulah Mariyati memberikan Dina waktu untuk istirahat di kamar, dan tugas mengurus Nek Dijah di ambil alih Sintia dan Widia. Meski keduanya tak yakin bisa mengurus lansia pemarah itu.
Para mahasiswa perempuan masih sibuk di dapur, dan mengawasi para lansia perempuan. Sementara Riko dan Doni, berada di kebun belakang membantu Kakek Bimo mencangkul tanah.
"Kakek Bimo dan Dodit tetap disitu saja ya, lihat Kakek Ridho ngelukis kebun dulu. Kita ambilkan tanahnya dulu buat ngisi pot tanaman!" Pinta Riko sebelum pergi ke halaman belakang.
"Yakin nih Ko, kita tinggalin para Kakek tanpa ada yang jaga? Kalau mereka butuh apa-apa gimana?" Tanya Doni mengaitkan kedua alis mata.
"Udah gak apa-apa, ada Kakek Ridho bersama mereka. Tadi gue udah minta bantuan nya buat ngawasin dua teman lansia nya itu. Udah yuk ah, keburu panas cuacanya!" Jawab Riko seraya menarik tangan Doni.
Riko dan Doni mencangkul gundukan tanah yang masih basah. Mereka merasa gundukan tanah itu seakan masih baru, kenapa kemarin mereka tak mengambil tanah dari situ saja. Karena sesuai perintah Mariyati, mereka tak boleh keluar dari batas patok tanah yang sudah ada tanda nya. Tapi tanah di tempat sebelumnya terlalu kering, jadi mereka kesulitan untuk mencangkul.
"Loh Don, ada sesuatu di dalam tanah ini. Jangan dicangkul lagi deh. Jangan-jangan ada harta karun di dalam sana, biar gue gali pakai tangan aja kalau gitu!" Riko melompat ke bawah tanah, tangannya berusaha mengambil sesuatu yang ada di bawahnya.
Tapi tiba-tiba sesuatu terjadi. Riko merasa kakinya sangat berat, seolah tersedot tanah yang ia pijak. Ia menunduk melihat ke arah kaki, ternyata sandal jepit yang ia pakai sudah tertutup tanah di sebagian alas kakinya.
"Don tolong tarik tangan gue dong, gue ngerasa kayak ada sesuatu yang narik kaki gue dari dalam. Tapi gak mungkin kan di dalam sini ada lumpur hisap, tanahnya aja kering dan struktur tanahnya padat." Keluh Riko seraya menggapai tangan Doni.
"Lu gimana sih Ko, masak bisa turun gak bisa naik sendiri! Payah tau gak!" Doni jongkok lalu meraih tangan Riko.
"Cepetan Don, tarik gue ke atas!"
Riko semakin panik melihat kakinya sudah tertutup tanah. Seperti ada sesuatu yang menariknya hingga tak bisa menggerakkan kakinya. Semakin keras ia menggoyangkan kaki agar terlepas dari cengkeraman tanah di bawahnya, semakin kuat dan cepat kakinya terhisap ke dalam. Nampak Doni semakin panjk, dari posisi berjongkok kini ia tengkurap di pinggir parit agar dapat menarik lengan Riko. Tangan Riko sudah basah oleh keringat, hingga membuat tangan Doni terlepas karena licin.
"Astaghfirullahalazim." Ucap Riko tanpa sadar.
"Ko tanahnya udah semata kaki, jangan-jangan ini ulah setan penunggu kebun lagi!
Keduanya semakin panik dan tak tau harus berbuat apa lagi. Karena sekarang tanahnya sudah nyaris menutup setengah betis Riko. Doni berteriak kencang meminta pertolongan, sampai akhirnya Kakek Ridho datang membawa tongkat panjang. Ia menghentakkan tongkat itu ke tanah, dan terlihat komat-kamit membaca sesuatu.
"Lepaskan pemuda ini sekarang juga, sebelum aku melakukan sesuatu padamu!" Bentak Kakek Ridho terlihat marah.
Perlahan tarikan di bawah tanah terasa mengendur. Riko mulai bisa menggerakkan kakinya, lalu Doni menarik tangan Riko ke atas. Mereka saling bertatapan, dan terdiam untuk beberapa saat. Hanya dengan sekali tarikan saja, Doni berhasil mengeluarkan Riko dari dalam tanah yang nyaris menghisap nya. Kini Riko berdiri dengan mengibaskan celana dan sandal dari sisa tanah yang masih menempel. Ia menggaruk kepala yang tak gatal, merasa heran karena tanah yang terlihat biasa seakan ingin menguburnya hidup-hidup.
"Terima kasih ya Kek." Ucap Riko seraya membalikkan tubuhnya.
"Loh kemana Kakek Ridho?" Tambah Doni kebingungan.
Mereka semakin heran karena tiba-tiba Kakek Ridho menghilang begitu saja. Keduanya tak habis pikir, tanah yang tekstur nya nampak padat bisa menghisap seseorang ke dalamnya. Mereka sama-sama bergidik, lalu mengambil tanah merah seperlunya, dan pergi setelah menutup gundukan tanah itu kembali. Mereka tak ingin ada orang lain yang celaka, dan terjebak di dalamnya.
"Riko, Doni. Apa yang kalian lakukan hingga batas perkebunan? Saya sudah katakan jangan sampai keluar dari batas yang ditentukan! Kalau kalian sampai celaka bagaimana? Untung saja ada Kakek Ridho yang membantu, jika tidak kalian bisa saja hilang disana. Dan siapa yang akan membantu Kakek Ridho dan Dodit hah?" Ucap Mariyati dengan nada suara tinggi.
"Maaf Bu, semuanya salah saya. Doni gak salah, saya gak akan mengulangi nya lagi." Riko menundukkan kepala merasa tak enak hati.
"Sudahlah Mar, yang terpenting sekarang mereka baik-baik saja. Biarkan mereka membersihkan diri dulu, sebentar lagi sudah waktunya makan siang." Pungkas Kakek Ridho menatap wajah Riko dengan serius.
Sintia merasa ada yang janggal, setelah ia melihat raut wajah Riko dan Doni. Terlebih lagi dengan kondisi Dina yang tiba-tiba sakit.
"Semua udah siap, yuk ke meja makan Sin!"
"Terus Dina gimana Wid? Gue gak tega lihat dia kayak kesakitan gitu. Bukannya kemarin Mbah Gito bilang mau ngobatin dia ya?"
"Ntar kita bawain aja makanan ke kamar, mungkin dia masih trauma aja sih menurut gue." Kata Widia seraya membawa nampan makanan ke kamar.
Nampak Dina masih berbaring di atas ranjang. Sintia membuka pintu supaya Dina bisa langsung masuk ke dalam. Mereka melihat wajah Dina yang pucat, serta tubuhnya yang lemah.
"Sebenarnya lu di obatin sama Mbah Gito gak sih Din? Kok kondisi lu malah jadi gini?" Tanya Widia mengaitkan kedua alis mata.
"Gue gak apa-apa kok Wid, mungkin kecapean aja. Bukan salah Mbah Gito juga kayaknya gue kayak gini. Karena yang gue inget emang dia terapi gue kayak Nek Dijah juga." Jawab Dina menyenderkan tubuh ke tembok.
"Cepat sembuh ya Din, kita harus balik ke depan lagi." Ucap Sintia dengan menghembuskan nafas panjang.
Keduanya kembali melakukan tugasnya, meninggalkan Dina seorang diri di dalam kamar. Nampak Kakek Ridho diam-diam menatap wajah Riko dengan sorot mata sendu. Sama seperti Nek Siti yang tiba-tiba melihat Sintia penuh kesedihan.
"Kakek Ridho gak suka sama masakan kita ya?"
Kakek Ridho terperangah mendengar ucapan Sintia. Ia tak sadar jika Sintia melihat ekspresi wajahnya.
"Suka kok Sin, kau dan Dina sangat pintar memasak. Pasti bakat yang kalian dapat karena faktor keturunan." Tambah Kakek Ridho, membuat Nek Siti dan Nek Dijah menyunggingkan senyuman.
Hari itu berlalu begitu saja dengan cepat. Setelah mendapat gangguan di siang hari. Riko dan Doni juga kompak tutup mulut, mereka tak ingin teman-temannya yang perempuan mengetahui kejadian janggal yang siang tadi mereka alami. Keduanya tak ingin membuat keadaan semakin ricuh, karena beberapa hari itu sudah sering terjadi sesuatu yang menurut mereka janggal. Dan tak bisa dicerna dengan akal sehat, semuanya mengarah ke hal gaib yang sangat awam bagi mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
yuli Wiharjo
semangat thor.
2023-06-12
1
Liani Purnapasary
untung ga Sintia korban biadab mbah Gito itu 😡😤😤greget bngt baca x.
ga sabar deh nunggu Rania datang mampir kepanti jompo 😁buat nolong jiwa Sintia yg sdh diikat oleh iblis Gito itu 😤
2023-06-12
0
Ibni Fathan
kasian sekali Dina malah jadi korban Mbah Gito juga apa nanti Dina dinikahi sama Mbah Gito ya??emg nek Dijah mau nunggu Dina sampai melahirkan keturunan Mbah Gito tp mereka Demit sih bisa jd Dina hamil dalam waktu singkat...lanjut ka 💪💪😘😘
makin kesini makin membuat penisirin😁😁😁
2023-06-12
0