Hari itu berlalu dengan cepat, ke lima mahasiswa itu terlalu sibuk dengan pekerjaan yang ada di Panti. Apalagi Doni dan Riko yang mengambil tanggung jawab Beni untuk mengurus Kakek Bimo. Meski tak terlalu membutuhkan bantuan mereka, karena kondisi kesehatan dan fisik Kakek Bimo yang membaik. Tapi mereka tetap harus bersama-sama mengurus semua kebutuhan orang tua itu. Sore itu jam sudah hampir menunjukkan pukul enam sore. Sebelum terdengar suara adzan magrib berkumandang, semua orang tua sudah di antar ke dalam kamar mereka. Sejak berada di Panti, mereka semua sudah tak menjalankan ibadah sama sekali. Selain waktu mereka yang habis karena mengurus para lansia. Mariyati juga tak menyediakan kebutuhan mereka untuk beribadah.
Karena kelelahan, Sintia berbaring di atas ranjang. Terlihat ia menguap beberapa kali, matanya melirik ke jam dinding. Sudah hampir jam enam kurang lima menit lagi. Sintia merasakan angin yang berhembus kencang dari luar, hanya ada ia seorang diri di dalam kamar. Nampak jendela kamar yang tirainya bergoyang karena angin. Sebenarnya ia malas berdiri, ia membiarkan jendela itu tetap terbuka. Tapi makin lama udara semakin dingin, memaksa Sintia untuk beranjak dari ranjangnya. Tumpukan kertas di atas meja berhamburan, dan handuk yang ia sangkutkan pada paku di samping jendela juga jatuh. Tak ada yang bisa membuatnya nyaman, selain menutup jendela supaya angin dingin berhenti mengganggu nya.
Berjalan dengan rasa malas, membuat perjalanan Sintia dari ranjang ke jendela terasa sangat jauh. Padahal jaraknya tak sampai empat meter. Semakin dekat dengan tirai yang melambai tertiup angin, tubuhnya semakin terasa kaku karena kedinginan. Sintia memegang ujung tirai, dengan cepat menariknya supaya terbuka penuh. Dan ia ingin langsung menutup jendela. Namun setelah tirai terbuka, Sintia justru tercengang dengan apa yang dilihatnya. Matanya membulat sempurna, bibirnya terbuka. Ekspresi terkejut jelas terlihat dari raut wajahnya. Karena ia baru tau jika jendela kamar itu ternyata tertutup rapat, lantas darimana asalnya angin yang menggerakan tirai itu. Untuk beberapa detik Sintia masih terpaku di depan jendela, saat ia tersadar tangannya masih memegangi ujung tirai yang ternyata masih bergoyang seakan tertiup angin. Padahal ia tak menyalakan kipas di dalam kamarnya. Akal sehatnya seperti pergi meninggalkan nya dengan keanehan yang kembali terjadi. Rasanya Sintia ingin berlari kencang, tapi kedua kakinya seakan mati rasa. Ada aroma anyir darah yang tiba-tiba menyeruak ke dalam kamarnya. Tubuh Sintia semakin bergetar karena ketakutan, peluh sudah membasahi seluruh tubuhnya. Nampak bayangan hitam berdiri di luar jendela, sesosok penampakan dengan kepala yang hampir terpisah dari lehernya. Karena sangat ketakutan, akhirnya Sintia pingsan dan jatuh di lantai.
Dreet dreet dreet.
Suara jam di meja memekakan telinganya, Sintia terbangun dan berusaha menggapai jam yang ada di sebelah kanannya. Dengan mata yang masih terpejam ia berhasil mematikan jam weker yang biasa membangunkan nya ketika di rumah.
Deegh!
Sintia terkejut karena ia terbangun di dalam kamarnya sendiri. Padahal seingatnya, ia masih berada di Panti jompo Muara Hati. Ia menatap seisi kamarnya, dan mengucek kedua mata untuk memastikan penglihatan nya. Ia benar-benar berada di dalam kamarnya. Untuk lebih memastikannya, Sintia bangkit dari ranjang dan melangkah sampai depan pintu kamarnya. Lalu ia menarik gagang pintu dan melihat keluar. Lagi-lagi Sintia melihat sesosok penampakan dengan kepala yang hampir terpisah dari leher. Bekas sayatan melingkar di leher, yang mungkin digorok secara brutal oleh seseorang. Tak jelas wajah siapa yang ada di balik kepala yang hampir terputus itu. Sampai akhirnya Sintia memberanikan diri melangkahkan kaki melewati sosok menyeramkan yang ada di hadapannya. Begitu ia melihat wajah seseorang yang kepalanya hampir terputus itu, Sintia menjerit histeris sebelum akhirnya ia kembali pingsan dan jatuh di lantai.
"Sin bangun Sin, lu ngapain pingsan di depan pintu sih? Lu kecapean ya?" Tanya Widia yang ada di samping nya.
Dari luar kamar nampak Doni dan Riko melihatnya dengan cemas. Sementara Dina yang terlihat acuh, hanya duduk di atas ranjangnya seraya membersihkan kuku tangan.
"Gu gue dimana Wid?" Tanya Sintia gelagapan.
"Lu di kamar Sin, tadi Dina yang nemuin lu pingsan di depan pintu. Lu sakit ya?" Jawab Widia seraya menyentuh kening Sintia.
"Entah mimpi atau nyata gue kayak bangun tidur di dalam kamar rumah gue. Terus pas gue buka pintu, gue lihat ada penampakan serem banget Wid. Dan lu gak akan nyangka apa yang gue lihat tadi. Gue lihat Beni Wid, kepalanya terpotong hampir lepas dari lehernya. Sumpah Wid, gue gak bohong!" Ucap Sintia dengan berlinang air mata.
"Udah deh gak usah halu, buat kehebohan aja sih!" Celetuk Dina mendengus kesal.
"Iya Sin, lu itu cuma mimpi. Kenyataannya sekarang kita semua ada di Panti jompo Muara Hati, gimana mungkin lu bisa bangun tidur di kamar lu sendiri. Udah nih lu minum dulu, kita mau ke depan. Sekarang waktunya makan malam, kita mau jemput semua orang tua dulu. Nanti biar gue aja yang bawa Nek Siti, lebih baik lu istirahat aja. Kalau udah mendingan baru susulin kita ke meja makan. Oke?" Jelas Widia seraya bangkit berdiri.
Namun Sintia menolak, ia tak mau berada di dalam kamar seorang diri. Ia lebih memilih bersama teman-teman nya, dan melakukan pekerjaan seperti biasa.
"Gue udah gak apa-apa kok, gue mau jemput Nek Siti aja." Pungkas Sintia dengan menghembuskan nafas panjang.
Mereka semua menyiapkan makanan yang ada di dapur. Riko mendekati Sintia, lalu menanyakan keadaan nya. Karena ia belum sempat berbicara dengan Sintia.
"Ko gue yakin tadi bukan mimpi, karena semua kayak nyata. Dan yang bikin gue semakin bingung, kata Widia gue pingsan di depan pintu kamar. Bukannya itu artinya gue benar-benar berdiri di depan pintu, karena seingat gue sebelumnya lihat penampakan hantu di depan pintu, yang wajahnya sangat mirip dengan Beni." Kata Sintia nafasnya berderu kencang.
"Udah Sin, lu tenang dulu ya. Sekarang kita makan malam aja, karena para orang tua udah nunggu di meja makan. Ntar Bu Mariyati bisa marah kalau kita terlambat memberikan makan dan obat." Riko menepuk pundak Sintia seraya menyunggingkan senyuman.
Sintia berjalan tertatih menuju meja makan. Nek Siti menatapnya dengan raut wajah sendu. Lalu orang tua itu menggenggam tangan Sintia, dan memberinya semangat. Hanya Nek Siti seorang yang terlihat mengerti dengan suasana hatinya.
"Yang sabar ya Sin, Nenek tau kau anak yang kuat. Jangan menyerah dengan keadaan, Nenek yakin kau mampu menghadapi semuanya." Kata Nek Siti seraya mengusap lembut rambutnya.
Begitu mendengar ucapan Nek Siti, hati Sintia agak sedikit tenang. Ia merasa seperti mendapatkan perhatian dari Neneknya sendiri. Dengan penuh kasih sayang pula, Sintia mengecup punggung tangan Nek Siti. Kedekatan mereka terlihat oleh Mariyati, yang terlihat tidak senang. Dan ia pun langsung menegur Nek Siti, supaya ia lekas menghabiskan makan dan segera meminum obatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Sania Tok
udah mulai menegangkan
2024-04-03
0
Else Widiawati
sereem euy....
2023-09-07
1
Liani Purnapasary
ngeri juga ya 😨😱😭😭😭kasian beni
2023-06-08
1