Mereka semua sarapan bersama, tak ada pembicaraan sama sekali ketika mereka makan. Kali ini Mariyati bergabung dengan semuanya, ia ikut makan bersama di meja makan. Dan setelah menghabiskan sarapannya, Sintia memberanikan diri untuk meminjam telepon. Karena ia ingin menghubungi keluarganya.
"Gue sengaja bilang mau telepon keluarga, padahal gue mau memastikan kondisi Beni yang sebenarnya. Gue agak ragu, kalau dia benar-benar pulang ke rumahnya. Karena yang udah lihat Beni jadi hantu gak cuma gue, tapi Widia juga lihat. Meski gue gak yakin itu mimpi atau nyata." Batin Sintia di dalam hatinya.
"Ada apa dengan keluarga mu Sintia, bukannya kalau ada apa-apa pihak kampus akan menghubungi saya. Tapi tak ada yang menanyakan kalian, bukankah artinya semua baik-baik saja." Mariyati menjawab dengan suara datar dan tanpa ekspresi.
"Mungkin Ibu benar kalau tak ada apa-apa dengan keluarga saya. Tapi tetap saja saya merindukan orang tua yang ada di rumah. Sebentar saja Bu, saya mohon ijinkan saya menelepon mereka." Ucap Sintia memohon.
"Seandainya semua keluarga para orang tua ini perduli seperti mu, mungkin mereka tak akan berakhir seperti ini. Apa kau pikir hanya kau saja yang merindukan keluarga mu?" Mariyati membentak Sintia, dan hampir tak memberikan ijin.
Tapi Nek Siti ikut memohon pada Mariyati, supaya mengijinkan Sintia menghubungi keluarga nya. Karena itulah Mariyati terpaksa menuruti keinginan Sintia. Ia di ajak ke ruangan nya, dan dipersilahkan menggunakan telepon kantor. Sintia hampir saja lupa lupa berapa nomor ponsel Beni. Tapi begitu ia menekan beberapa angka-angka, hanya ada jawaban dari sang operator yang mengatakan jika nomer Beni tidak bisa dihubungi. Sudah hampir enam kali ia mencoba, hasilnya tetap sama.
"Bagaimana Sintia apa kau tak bisa menghubungi keluarga mu?"
"Iya Bu, belum ada yang angkat."
"Sepertinya kau belum beruntung, lebih baik kau lanjutkan pekerjaan mu."
Sintia tak fokus dengan perkataan Mariyati, pandangan nya teralihkan dengan sesuatu yang ada di balik tirai sebuah ruangan kecil. Mariyati berdiri tepat di depan ruangan itu, sehingga pandangan Sintia tak terlalu jelas. Ia melihat benda hitam yang melingkar di lantai. Sebuah jam tangan laki-laki yang nampak berkedip, menunjukan sebuah angka digital.
"Kenapa gue merasa pernah melihat jam itu ya." Batin Sintia mengaitkan kedua alis mata.
Mariyati berbicara agak keras, dan meminta Sintia untuk meninggalkan ruangannya. Sontak saja Sintia tercekat, dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu. Diluar ruangan nampak Widia yang sudah menunggu, karena ia sudah tau jika tujuan Sintia meminjam telepon untuk mencari tau keadaan Beni. Tapi Sintia malah menggelengkan kepala, memberitahu jika usahanya tak ada hasil. Widia membalas dengan menaikan dagu ke atas, barulah Sintia menjelaskan jika ponsel Beni tak bisa dihubungi.
"Tolong jagain para Kakek ya, kita berdua mau mencangkul tanah yang ada di belakang gedung. Kata Bu Mariyati Kakek Bimo mau memulai hobinya berkebun, dan kita harus ambil tanah merah di belakang." Kata Riko yang sudah membawa cangkul bersama Doni.
"Ya udah, biar gue sama Widia yang urus. Tapi jangan lama-lama ya, kalau mereka mau ke toilet kita kan gak bisa bantu."
"Siip. Tenang aja Sin, kita udah anter semua Kakek ke toilet kok." Celetuk Doni menaikan alis mata, lalu pergi bersama Riko.
Kali ini para lansia itu sedang duduk santai, dan berbincang-bincang di halaman belakang. Hanya Nek Dijah saja yang sibuk berlenggak-lenggok di iringi musik dari piringan hitam. Terdengar obrolan Kakek Bimo yang menggoda Kakek Dodit. Menurutnya jika Kakek Dodit tetap patuh pada Mariyati, ia akan mendapatkan hadiah spesial di hari ulang tahunnya.
"Jangan bersikap lembek seperti Siti, ulang tahun mu hanya tinggal beberapa minggu lagi kan Dod?" Pungkas Kakek Bimo seraya menyirami tanaman di depan kursi santai.
"Jangan menyebut istilah beberapa minggu, itu masih lama Bim. Kira-kira dua bulanan lagi, setelah itu aku akan bertanding bulu tangkis denganmu." Sahut Kakek Dodit mengembangkan senyumnya.
"Diam kalian berdua, tak perlu menyombongkan diri seperti itu. Apa kalian pikir bisa lebih bahagia setelah mendapatkan yang kalian mau? Tak ada yang kekal abadi di dunia ini, ada harga yang harus kalian bayar. Apa kalian berdua tak paham dengan semua itu?" Cetus Nek Siti seraya menggebrak meja.
Mendengar ucapan Nek Siti, nampak Nek Dijah jadi naik darah. Apalagi ia menggebrak meja ketika dirinya sedang menikmati musik kesukaannya.
"Kau sengaja mau merusak tarian ku hah? Jangan mengganggu latihan tariku Siti! Lagi-lagi kau buat masalah, dasar Nenek tua sombong! Jangan salahkan Bimo dan Dodit, sebelumnya kita semua sudah sepakat. Kenapa sekarang kau jadi sok baik Siti!" Ucap Nek Dijah dengan nada suara tinggi.
Nek Windu segera menengahi perdebatan para lansia itu. Tapi dengan kasar Nek Dijah justru mendorong tubuh renta Nek Windu. Melihat orang tua yang ia jaga tersungkur di lantai, nampak Widia berlari dari lorong dan segera membantu Nek Windu untuk berdiri.
"Dina kau bawa saja Nek Dijah ke ruangan lain biar dia menari sepuasnya disana!" Seru Kakek Ridho membulatkan kedua mata.
Dina terpaksa membawa Nek Dijah ke ruangan lain. Ia menghidupkan musik dan membiarkan Nek Dijah melanjutkan hobi tari nya. Mata Dina tertuju ke sebuah ruangan kosong yang selalu tertutup rapat. Ia mengintip dari celah lubang kunci. Terlihat kain putih yang terkena noda warna merah, samar-samar nampak bayangan seseorang yang berjalan tertatih mendekati pintu. Begitu bayangan semakin dekat, Dina semakin penasaran siapa yang ada di dalam sana. Seakan keinginan nya terwujud, tiba-tiba saja dirinya sudah ada di dalam ruangan tersebut. Ia sedang berjongkok di depan kain putih, yang berbau anyir. Ia sudah menduga jika noda merah itu adalah darah yang menempel.
"Toloooong gue Dinaaa..."
Deegh!
Detak jantung Dina berhenti untuk sesaat. Ia membeku karena merasakan hawa dingin yang luar biasa di belakang tubuhnya. Sekujur tubuhnya terasa membeku. Sekuat tenaga ia menahan diri supaya tak terjatuh. Dan kali ini suara tolong itu ada di samping telinganya. Begitu nyata dan terdengar sangat jelas. Kali ini suara lelaki itu berbicara lembut menjadi kencang, seakan dia sangat marah.
"Tolong gue Dinaaa!!!"
Seketika jiwa Dina seakan keluar dari raga. Akhirnya ia tak sanggup menahan diri, lalu ia pun terjatuh seperti daun kering yang tertiup angin.
Mata Dina pedih karena ada pancaran cahaya yang menyilaukan mata. Kepalanya terasa sangat sakit, seperti baru saja terantuk batu. Ia mencoba membuka mata sedikit demi sedikit.
"Apa yang terjadi ke gue ya." Gumam Dina menggosok wajahnya dengan kedua tangan.
Dina memijat pangkal hidungnya, supaya merasa lebih baik. Ia melihat ke sekeliling, ia sudah ada di atas ranjang. Kemudian Dina mendongakkan kepala ke arah ventilasi di atas jendela. Ternyata cahaya yang menyilaukan matanya berasal dari sana. Ia pun menghembuskan nafas lega, karena mengira apa yang ia alami sebelumnya adalah mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Liani Purnapasary
lanjuttt
2023-06-09
0
Titik Yulianti
ceritanya udah mulai mencekam ini kak.g perduli siang hari udah berani neror.biar tau rasa itu si dina,biar g songong trs.tnggal doni ama riko ini yg blm prnh d teror.
2023-06-09
0
yuli Wiharjo
yg cowok dua orang belum diteror
2023-06-09
0