Waktu berlalu dengan cepat, tepat sebelum jam sepuluh malam rombongan mahasiswa itu sampai di sebuah bangunan tua peninggalan Belanda. Bangunan yang dijadikan Panti Jompo yang dikelola oleh Mariyati. Hanya ada kesan wingit begitu mereka sampai disana.
“Mulai sekarang kalian yang akan membantu saya mengelola dan mengurus para lansia yang ada disini. Hanya tersisa enam orang tua yang tinggal di tempat ini, dan masing-masing dari kalian akan merawat dan menjaga satu orang tua setiap harinya. Malam ini kalian boleh istirahat, dan melanjutkan kegiatan di pagi hari. Para orang tua yang tinggal disini akan bangun sangat pagi, jadi kalian juga harus mengikuti jam aktivitas mereka. Di siang hari sebelum tepat jam dua belas, mereka semua harus tidur siang. Dan akan bangun setelah jam tiga pagi, barulah kalian bisa mengurus mereka lagi. Membantu menyiapkan alat mandi ataupun makan serta obat-obatan yang harus mereka konsumsi. Lalu sebelum jam enam sore, kalian harus mengantarkan mereka kembali ke kamarnya masing-masing. Mereka tidak boleh terlalu capek, biarkan mereka istirahat sampai jam setengah delapan. Bantu dan layani mereka, jika mereka membutuhkan sesuatu. Barulah kalian antarkan mereka kembali ke kamar lagi sebelum jam dua belas tengah malam. Dan ingat perkataan saya! Tak ada yang boleh keluar kamar setelah jam dua belas malam, segala sesuatu yang kalian butuhkan harus kalian siapkan di dalam kamar kalian masing-masing. Sudah ada kamar mandi dalam di setiap kamar kalian, jadi jangan pernah meninggalkan kamar kalian. Karena setelah tepat jam dua belas tengah malam, semua lampu di Panti Jompo harus padam. Disini daerah pedesaan yang jauh dari fasilitas umum, kita harus menghemat listrik kalau tak dipergunakan. Apa kalian sudah paham dengan penjelasan saya? Jika sampai kalian melanggar peringatan saya ini, lalu terjadi sesuatu pada kalian, itu bukanlah tanggung jawab saya. Disini masih banyak pencuri ataupun perampok, bahkan para pembunuh yang bersembunyi di daerah terpencil seperti tempat ini!” Mariyati menatap satu persatu dari ke enam mahasiswa yang ada di depannya. Kali ini mereka semua dengan kompak menjawab ucapan Mariyati.
Setelah memberi penjelasan, Mariyati mengantarkan mereka semua ke kamar. Tiga laki-laki di dalam satu kamar yang sama, begitu juga dengan para perempuan yang dijadikan satu di sebuah kamar. Kali ini Dina terang-terangan protes pada Mariyati, karena ia tak ingin berada di dalam satu kamar yang sama dengan Sintia.
“Kalian harus berada di dalam satu kamar yang sama, kau tak bisa protes Dina! Kau berada disini karena memang sudah seharusnya begitu, tak ada pilihan lain selain mengikuti perkataan ku. Apa kau mengerti Dina?” Mariyati membentak Dina seraya membulatkan kedua mata.
“Ba baiklah kalau memang begitu, tapi aku tak mau satu ranjang dengan Sintia!” Dina menyipitkan kedua mata menatap Sintia penuh kebencian.
“Widia dan Sintia, kalian tidur satu ranjang.” Ucap Mariyati dengan nada suara datar.
Hanya anggukan kepala yang menjadi jawaban Widia dan juga Sintia. Mereka semua masih dalam keadaan bingung, kenapa mereka semua tiba-tiba sudah berada di Panti Jompo Muara Hati. Karena seingat mereka, tadi mereka masih ada di ruangan dekan membahas kerja lapangan di Panti Jompo ini. Tak ada satupun dari mereka yang membawa perlengkapan dari rumah, karena menurut Mariyati semua sudah disiapkan di Panti tersebut. Dina yang terkenal sebagai selebgram, selalu mengupdate sesuatu setiap harinya. Dan hari ini ia belum sempat mengupdate sesuatu sama sekali. Dina mencari ponselnya di dalam tas yang ia bawa, tapi ia tak menemukan ponselnya. Dina berteriak kencang, menuduh Sintia yang iseng mengambil ponselnya.
“Lu jangan asal ngomong ya Din, kita sama-sama baru datang. Mana gue tau ponsel lu dimana!” Kata Sintia dengan berkacak pinggang.
“Gaes tunggu deh! Ponsel gue juga gak ada loh, coba deh Sin lu periksa tas lu. Ponsel lu hilang juga gak?” Tanya Widia dengan raut wajah yang panik.
Akhirnya Sintia membuka tas ranselnya, dan ia juga tak dapat menemukan ponselnya. Ketiganya mendongakkan kepala ke atas jam dinding, mereka melihat waktu belum menunjukkan pukul dua belas malam. Akhirnya Dina keluar lebih dulu dari kamar, nampak suasana jangal menyelimuti bangunan peninggalan jaman Belanda ini. Dina berjalan menyusuri lorong mencari ruangan pengelola Panti, dibelakangnya nampak Sintia dan Widia yang berusaha mengejar Dina. Tapi mereka terlambat, karena Dina sudah sampai di depan pintu ruangan Mariyati.
Tok tok tok.
Dina mengetuk pintu yang ada di depannya tanpa jeda sedikitpun, sampai akhirnya Mariyati keluar dengan membulatkan kedua mata menatap mereka penuh amarah.
“Ada apa kalian semua kesini?”
“Sebenarnya saya sudah sangat terpaksa berada disini, tapi kenapa ponsel saya juga gak ada? Pasti ibu tau kan dimana ponsel saya?” Dina menghembuskan nafas panjang seraya mengatungkan tangannya.
“Lancang kau Dina!” Bentak Mariyati melotot dengan berkacak pinggang.
Karena terdengar suara yang gaduh, akhirnya ketiga mahasiswa laki-laki keluar dari kamar mereka masing-masing. Mereka bertanya pada Widia dan juga Sintia, kenapa Dina berdebat dengan Mariyati. Widia hanya menjelaskan, jika semuanya terjadi karena Dina kehilangan ponselnya. Sampai akhirnya ketiganya pun baru menyadari, jika ponsel ketiganya juga tak ada. Karena suasana menjadi ricuh, Mariyati mengatakan pada mereka semua jika semua ponsel sudah ia simpan di ruangan nya.
“Selama membantu di Panti ini kalian semua tak di ijinkan menggunakan ponsel. Karena itulah saya mengambil semua ponsel kalian.”
“Tapi kita semua juga perlu menghubungi keluarga bu, bagaimana kalau orang tua kita cemas karena anak-anaknya pergi tanpa berpamitan!” Sahut Sintia dengan memijat pangkal hidungnya.
Mariyati diam lalu menyeringai di hadapan mereka semua. “Tak perlu cemas, orang tua kalian tak akan mencari kalian semua!” Mariyati melotot membuat mereka semua merunduk.
“Maksudnya gimana ya Bu?” Tanya Riko memberanikan diri.
“Pihak Universitas sudah memberitahu keluarga kalian masing-masing. Jadi mereka tak akan mencari kalian lagi, jika ingin semua cepat selesai. Ikuti semua perintah saya, dan jangan banyak protes lagi. Lihat mata saya, dan dengarkan ucapan saya baik-baik.” Kata Mariyati seraya komat-kamit membaca mantra lalu membulatkan kedua mata menatap ke enam mahasiswa di depannya.
Nampak suar cahaya merah keluar dari matanya, Mariyati memerintahkan mereka untuk melupakan segala hal yang terjadi diluar Panti Jompo.
“Mulai sekarang kalian tak akan mengingat hal apapun yang terjadi diluar sana. Fokus kalian hanya satu, mengurus dan menjaga semua orang tua yang ada disini. Lupakan kehidupan kalian sebelum kalian datang ke tempat ini, apa kalian sudah paham dengan ucapan saya?” Tanya Mariyati menatap mereka semua dan hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh ke enam mahasiswa itu.
Setelah itu mereka semua diminta kembali ke kamar mereka masing-masing. Mereka berjalan dengan sorot mata yang kosong. Semua perkataan Mariyati adalah perintah yang harus diikuti, karena bagaimanapun mereka semua tak dapat melawan kehendak Mariyati. Sekarang adalah malam pertama mereka di Panti Jompo itu, dan tak ada yang tau apa yang akan terjadi di malam-malam selanjutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Cillia nopo!
baru mula suda seram ne😆
2023-06-10
2
Liani Purnapasary
aahh bikin greget aq aja 😡😡
2023-06-04
0
Wahyu Trisnawati
cucunya sepertinya suruh mengurus nenek mereka nih 😃
2023-06-04
1