"Memangnya ada kejadian apa sih Pak?" Tanya Sintia penasaran.
Pak Kirun menghembuskan nafas panjang, lalu menoleh ke berbagai arah. Nampaknya ia agak ragu untuk bercerita pada mereka.
"Kalau saya ceritakan, tolong kalian berdua jangan cerita ke siapa-siapa ya. Apalagi Bu Mariyati juga jangan sampai tau, kalau saya yang menceritakan nya pada kalian." Jawab Pak Kirun dengan suara beratnya.
Sintia dan Riko dengan kompak menjawab iya seraya menganggukkan kepala. Barulah Pak Kirun membagi sedikit kejadian yang terjadi di Panti jompo Muara Hati.
"Kejadian yang sangat berbekas itu memang sudah lama terjadi. Kira-kira hampir sepuluh tahun yang lalu. Terjadi kebakaran di gedung sebelah, yang biasa ditempati para orang tua laki-laki. Saat itu Panti tersebut masih dalam keadaan jaya, banyak donatur yang menyumbang. Meski tak banyak lagi keluarga dari para lansia disana yang datang menjenguk. Bu Mariyati selalu berusaha mencari dana untuk membiayai kebutuhan para lansia yang ia jaga. Kejadian itu begitu cepat, disaat Bu Mariyati tak ada di Panti terjadi kebakaran yang menewaskan hampir semua penghuni. Yang tersisa hanya beberapa orang tua, jumlahnya tak sampai sepuluh orang dengan beberapa pekerja. Malang memang nasib para lansia itu, sudah keluarga nya tak ada yang perduli. Tempat mereka bernanung di hari tuanya justru terbakar, api saat itu merambat dengan cepat di halaman belakang, tempat para lansia perempuan dan laki-laki istirahat santai. Saat itu Bu Mariyati sedang mencari donatur, untuk membayar pekerja yang membantu nya di Panti. Tapi saat ia kembali, justru kepahitan yang diterimanya. Untung tak semua gedung terbakar, masih ada bangunan yang ditempati para lansia perempuan. Dan karena kejadian itu, Bu Mariyati sempat depresi sehingga tak bisa menjalankan Panti itu dengan baik. Sampai akhirnya kepemimpinan nya di ambil alih oleh adiknya sendiri. Tapi semenjak itu, saya dengar Panti tak bisa menampung banyak lansia lagi. Mungkin mereka hanya merawat para orang tua yang tersisa, yang saya bilang selamat tak sampai sepuluh orang itu loh dek."
"Lantas bagaimana kelanjutannya Pak? Kenapa sekarang Bu Mariyati bisa menjadi pengelola Panti itu lagi?" Ucap Sintia wajahnya nampak serius mendengarkan cerita Pak Kirun.
"Ya mau bagaimana lagi, bangunan Panti itu memang sebenarnya milik pribadi dari mendiang suaminya Bu Mariyati. Jadi ya setelah dia sembuh, Bu Mariyati sendiri yang menempati nya." Kata Pak Kirun seraya menghentikan laju delmannya.
"Wah gak kerasa sudah sampai pasar, padahal ceritanya belum selesai ya Pak." Keluh Riko menggelengkan kepala.
"Hahaha. Santai saja dek, nanti bisa kita lanjutkan. Saya tunggu agak jauh dari Pasar ya, dibawah pohon beringin besar itu!" Kata Pak Kirun seraya menunjuk ke arah utara Pasar.
"Gak di dalam Pasar aja Pak?"
"Wah jangan dek, takut kudanya buang hajat malah bikin kotor Pasar."
Setelah itu Sintia dan Riko membeli beberapa bahan pokok makanan. Ia juga diminta membeli bunga tujuh rupa dengan dupa beserta kemenyan.
"Nah kan bener dugaan gue!"
"Dugaan apa Sin?"
"Tadi kan gue sempat ngehirup bau kemenyan di depan ruangan Bu Mariyati. Nah ini pas dia ngasih anggaran ke gue, dia juga nitip dibelanjain semua ini." Kata Sintia seraya menunjukkan selembar kertas yang diberikan Mariyati.
"Mungkin Bu Mariyati masih mendalami ajaran kuno. Orang jaman dulu kan gitu Sin, masih percaya dengan hal-hal yang berbau mistis. Udahlah gak usah mikirin yang gak pasti, kalau lu penasaran buat apa semua itu, nanti langsung tanya aja ke Bu Mariyati." Riko membayar semua belanjaan lalu berjalan terlebih dulu.
Nampak Sintia masih berdiri di depan kios penjual bunga tujuh rupa. Lalu ia terlihat berbicara dengan si pemilik kios.
"Adek-adek ini kan masih muda, kenapa beli bunga nya banyak sekali. Apa ada acara di rumahnya?"
"Gak ada acara apa-apa kok Bu, kebetulan itu titipan orang saja. Memang harus ada acara dulu Bu buat beli bunga dan dupa nya?"
"Biasanya kan bunga tujuh rupa, dupa dan kemenyan buat acara ritual dek. Saya kira adek-adek ini meneruskan ilmu dari orang tuanya."
"Sin! Cepetan kita harus beli beras juga loh, nanti kita kesiangan!" Seru Riko dari kejauhan.
Akhirnya Sintia berpamitan pada pemilik kios itu. Tapi si ibu justru berpesan pada Sintia, supaya ia menjauh dari orang-orang yang melakukan ritual. Salah-salah ia sendiri bisa menjadi korbannya. Karena tak kunjung datang, akhirnya Riko mendatangi Sintia lalu mengajaknya pergi dari sana.
"Lu lama banget sih ngobrol sama si ibu! Nih tolong lu bawa belanjaan yang ringan, gue mau panggul karung beras tuh. Sisa uangnya lu bayarin dulu ke penjualnya." Kata Riko memberikan tentengan belanja pada Sintia.
Lagi-lagi Sintia diam membisu, karena gelagatnya yang menjadi aneh. Riko pun bertanya lagi, apa yang sedang mengganggu pikirannya.
"Percuma kalau gue cerita juga lu gak akan percaya. Jadi mending gue cari tau dulu kebenarannya seperti apa. Semoga gak ada hal buruk yang terjadi selama kita di Panti jompo itu." Batin Sintia di dalam hati.
"Gak ada apa-apa kok Ko, gue cuma kangen orang rumah aja. Sini biar gue bawa belanjaan nya."
Setelah membayar, Riko memanggul karung beras sampai depan pasar. Ia menoleh ke arah utara, tapi ia tak melihat delman Pak Kirun. Sintia pun kebingungan mencari keberadaan delman itu.
"Masak iya Pak Kirun pergi ninggalin kita? Ongkos yang tadi kan belum kita bayar Ko!"
Riko meletakkan karung beras, ia meregangkan otot lalu mengusap peluh di keningnya. Dari kejauhan nampak Pak Kirun sedang menjalankan delman ke arah mereka.
"Wah maaf ya dek, tadi ada yang minta di antar ke belakang pasar. Karena saya pikir tidak terlalu jauh makanya saya antarkan sebentar." Ucap Pak Kirun turun dari atas delman, lalu membantu meletakkan belanjaan ke atas delman.
"Gak apa-apa kok Pak, kami juga belum lama menunggu. Ngomong-ngomong apa orang di daerah sini masih suka bakar dupa dan kemenyan ya Pak?" Sintia kembali menanyakan hal yang mengusik pikiran nya.
"Namanya orang Desa dek, beberapa masih ada yang suka meneruskan kebiasaan leluhurnya. Bunga tujuh rupa, dupa, atau kemenyan memang identik dengan dunia gaib. Tapi tergantung kepercayaan masing-masing, ada yang melakukan nya untuk menghormati leluhur ataupun ritual perlindungan dari makhluk halus. Memangnya kenapa adek bertanya begitu?"
Sintia tak langsung menjawab, ia masih menelaah penjelasan Pak Kirun.
"Ah, itu dia hanya penasaran saja Pak, karena kebetulan Bu Mariyati meminta kami membeli semua ini." Kata Riko dengan menenteng bungkusan berisi bunga, dupa dan kemenyan.
Nampak Pak Kirun hanya tersenyum datar, ia tak mengatakan apa-apa lagi. Sampai akhirnya Sintia kembali bertanya mengenai hal yang terjadi di Panti setelah kebakaran terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Titik Yulianti
mungkin pak kirun ini makhluk jadi"an suruhannya bu mariyati ya thor.
2023-06-06
0
Rina Hartopo
makin seru 😊
2023-06-05
0
Ibni Fathan
sepertinya ada yg pak Kirun tutupi...
lanjut ka 💪💪💪
2023-06-05
0