Setelah makan malam selesai, seperti biasanya para orang tua duduk santai di ruang tengah. Hanya ada tv lama yang menjadi hiburan para anak muda disana. Tapi tetap saja tak ada yang bisa dilihat dengan jelas, apalagi gambar yang dimunculkan dari tv itu banyak semutnya. Kali ini Sintia masih kepikiran kejadian yang entah mimpi atau nyata. Ia duduk merenung di pojokan seorang diri. Tak lama Riko memanggilnya, karena Kakek Ridho ingin berbicara dengannya. Hanya Kakek Ridho saja yang malam itu ada di halaman belakang. Ia sedang menyelesaikan lukisan yang dibuatnya.
"Tolong kau berikan lukisan ini pada Siti, sebagai ucapan terima kasih ku padanya." Kata Kakek Ridho seraya menyerahkan gulungan kertas.
"Kenapa bukan Kakek sendiri yang memberikan nya? Nek Siti masih ada di ruang tengah kok." Sintia mengernyit heran.
"Siti akan lebih senang jika kau yang memberikan nya. Ambilah Sin!"
Sintia menerima gulungan kertas yang telah dilukis Kakek Ridho. Kemudian ia mendatangi Nek Siti yang masih membaca sebuah buku. Di usia senjanya, Nek Siti masih sering membaca beberapa buku ataupun novel.
"Apa ini Sin?" Tanya Nek Siti.
"Itu hadiah dari Kakek Ridho, Nek Siti lihat saja sendiri." Jawab Sintia seraya duduk di sebelah Nek Siti.
Nampak Nenek Siti membuka gulungan kertas, ia melihat skesta wajahnya ketika muda dulu. Ia menyunggingkan senyuman ketika melihat lukisan itu.
"Bagaimana Nek, bagus kan lukisan Kek Ridho?"
"Bagus sekali Sin, tidakkah kau merasa wajah ini sangat mirip denganmu?"
Sintia tersenyum mendengar ucapan Nek Siti. Karena menurutnya wajah Nek Siti sewaktu muda lebih cantik darinya. Nek Dijah yang mendengar ucapan keduanya langsung berkata dengan ketus. Menurutnya hanya dirinya dan anak keturunannya saja yang tercantik, karena itulah dulu sewaktu muda Nek Dijah pernah di undang Presiden Soeharto untuk menari di gedung merdeka.
"Hanya aku saja yang terpilih, dan kalian tak ada yang bisa menyaingi ku. Termasuk kau Siti, kau hanya kutu buku yang tak mempunyai prestasi apapun!" Kata Nek Dijah seraya berkacak pinggang.
Terlihat Dina tersenyum miring mendengar perkataan Nek Dijah yang angkuh. Sampai Nek Windu hanya menggelengkan kepala, ia tak habis pikir dengan sikap Nek Dijah.
"Mereka berdua sama ya Nek, pantas saja Dina ditugaskan mengurus Nek Dijah." Celetuk Widia dengan menggelengkan kepala.
Mendengar perkataan Widia, Kakek Bimo dan Dodit pun terbahak. Seketika Doni memberikan kode pada kedua Kakek itu supaya tak menertawakan Nek Dijah. Karena kalau sampai terdengar olehnya, bisa-bisa situasi semakin memanas. Karena emosi Nek Dijah yang tak bisa terkontrol.
"Terserah kau saja Dijah. Meskipun kita sama-sama berakhir di tempat ini setidaknya keturunan ku masih jauh lebih baik darimu!" Sahut Nek Siti yang tak terima dengan ucapan Nek Dijah tadi.
"Apa katamu Siti? Jika keturunan mu lebih baik dariku, tentu kau tak akan berada di tempat ini lagi. Nyatanya kau membusuk di tempat ini selamanya. Jangan berbangga diri hanya karena satu keturunan mu berhati baik dan lembut. Kalau pada akhirnya dia tau yang sebenarnya, dia juga tak akan mau berkorban untukmu!" Pungkas Nek Dijah berkacak pinggang dengan mata melotot.
Nampak Nek Siti hanya diam, kedua matanya mulai berkaca-kaca mendengar kata-kata pahit yang dilontarkan Nek Dijah. Seketika Sintia langsung menggenggam tangan Nek Siti dan menenangkan nya.
"Dina, cepat bawa Nek Dijah ke kamarnya. Kalau gak semuanya makin berantakan nantinya." Kata Widia yang panik, ia takut Mariyati datang dan memarahi mereka semua.
"Dasar munafik kau Siti. Berlagak sok baik dan perhatian, pada akhirnya kau pulak yang menginginkan sesuatu darinya!" Kata Nek Dijah seraya berjalan pergi bersama Dina.
Terlihat Dina senang melihat keributan di antara kedua Nenek itu. Karena baginya, jika Nek Dijah menang melawan Nek Siti, sama artinya dengan dirinya yang berhasil mengalahkan Sintia.
"Nek Siti istirahat di kamar aja ya, biar Sintia antarkan."
Hanya anggukkan kepala yang menjadi jawaban Nek Siti. Sesampainya di kamar, Nek Siti meminta Sintia untuk duduk bersama nya di ranjang. Nek Siti langsung memeluk Sintia dengan berlinang air mata. Setelah ia menumpahkan kesedihan, Sintia diminta meninggalkan kamarnya.
"Apakah Nek Siti yakin sudah baik-baik saja?"
"Sudah Sin, kembalilah ke kamar mu. Sebentar lagi sudah mau jam dua belas malam." Pinta Nek Siti seraya mengunci pintu kamarnya.
Sintia masih berdiri diluar kamar Nek Siti, ia merasa sedih melihat nasib para orang tua yang ada disana. Mendengar perkataan Nek Dijah pada Nek Siti, seakan hatinya ikut perih. Tanpa sadar bulir-bulir bening menetes dari matanya.
"Sin, temenin ke dapur bentar yuk. Gue mau ambil minum nih, teko airnya udah kosong!" Seru Widia dari kejauhan.
Sintia menyeka air mata lalu menghampiri Widia. Tiba-tiba lampu dapur padam, keduanya terkejut dan kebingungan. Mereka baru ingat pesan Mariyati, jika sudah jam dua belas malam semua lampu di Panti akan dipadamkan. Berbekal korek api yang dipegang Sintia, keduanya kembali ke kamar. Samar-samar ada sekelebatan bayangan di belakang mereka. Satu bayangan yang nampak melompat-lompat, membuat Widia bergetar ketakutan.
"Sin itu apa an sih, gue takut tauk!"
Gue juga gak berani noleh ke belakang Wid. Tadi aja gue lihat bayangan nya lompat-lompat gitu. Jangan-jangan itu..."
Belum selesai Sintia melanjutkan perkataan nya, Widia sudah berlari meninggalkan nya. Tapi di lorong menuju kamar, langkah Widia terhenti. Karena ada sesosok pocong yang berdiri mengambang. Pocong itu berada di tengah-tengah lorong, sehingga Widia tak berani melanjutkan langkahnya. Cahaya dari sinar bulan membuat wajah pocong itu nampak jelas. Wajahnya dipenuhi belatung yang menempel, seakan belatung-belatung itu menggerogoti wajahnya sampai tak berbentuk lagi. Widia semakin ketakutan, karena pocong itu melompat mendekat ke arahnya.
Pyaaaar.
Teko yang terbuat dari stainless itu terjatuh, karena tangan Widia bergetar hebat menahan takut. Beruntung nya Sintia datang, dan menyadarkan Widia. Karena setelah kedatangan Sintia, pocong yang dilihat Widia langsung menghilang.
"Wid, lu kenapa?"
Hanya tangisan yang menjadi jawaban Widia. Ia menangis sesegukan tak bisa berkata-kata.
"Ya udah gak apa-apa, lu ke kamar duluan gih. Gue ambil air minum dulu ke dapur."
"Jangan Sin, kita balik ke kamar aja sama-sama." Ucap Widia sesegukan.
Sesampainya di kamar, Widia langsung bersembunyi dibalik selimut. Dina yang masih terjaga di kamar keheranan melihat perubahan sikap Widia. Karena merasa ada yang janggal dengan sikap Widia, akhirnya Sintia bertanya padanya.
"Jujur ke gue deh Wid, tadi lu lihat sesuatu kan?" Tanya Sintia dengan mengaitkan kedua alis mata, dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Widia.
Sintia hanya menghembuskan nafas panjang, ia semakin yakin jika ada sesuatu yang tak beres dengan Panti jompo Muara Hati. Yang ada di pikirannya saat ini adalah, jangan-jangan sosok hantu dengan kepala hampir terputus itu memang benar-benar Beni.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Else Widiawati
bacanya pas malem jum'at..jadi agak2 gimana gituu
2023-09-07
0
Liani Purnapasary
kasian mereka tertekan begitu 😔😔😞😞
2023-06-09
0
Titik Yulianti
nggk nenek nggk cucu sifatnya sama,sombng dan angkuh.pantes dina sifatnya gitu,trnyata nurun dari neneknya.
2023-06-08
1