Nuffara si penjaga

"Apa yang harus dilakukan? Kenapa orang-orangan sawah?" Anita, salah seorang manusia bertanya pada kelompoknya dengan tangan yang coba merapikan hijab. Dia menatap seorang

Angga si kakak, jelas tampak sama bingungnya dan hanya bisa menyarankan dengan ragu "Tidak tau, tapi bukankah sebelum-sebelumnya kita hanya diminta untuk melakukan pembantaian?"

Ilham yang merupakan tunangan Anita, mengusulkan "... Coba bunuh saja?"

Mendengar ini, Anita menyembunyikan pisaunya dan menolak usulan tersebut dengan keras  "Kau gila ya? Mana bisa seenaknya membunuh sesuatu yang mirip manusia?"

Ilham yang sekali lagi mendengarkan rengekan Anita yang menurutnya sangat manja, tanpa ragu langsung menampar wajahnya dan memaki tanpa sedikitpun kesabaran yang tersisa di matanya "Apa kau buta?! Mirip manusia dari mananya?! Selain kepala, apakah kau pikir ia memiliki organ dalam lainnya? Berhenti merengek dan ayunkan pisaumu! Jangan manja!!"

Anita memegangi pipinya yang membengkak dan menatap tunangan ini dengan tidak percaya, tindakan pria yang ia cintai selama bertahun-tahun ini langsung memadamkan satu-satunya kehangatan yang tersisa di hatinya. Matanya basah, terlebih saat melihat bahwa kakaknya tampak sama sekali tidak peduli saat orang lain memukulnya.

Dadanya menjadi sesak, terutama saat ia melihat mayat orangtuanya yang bahkan masih basah oleh darah di kejauhan. Dia pikir setidaknya masih ada kakak dan calon suami yang bisa ia andalkan, bahu membahu menghadapi kesulitan ini dengannya. Tapi dengan kejadian barusan, dia segera yakin bahwa ini memang sifat asli kakak dan tunangannya.

Di dunia yang sudah berubah sepenuhnya menjadi medan tempur, bersama dua orang ini hanya akan membuatnya semakin rusak dan hancur.

Dengan hati yang patah, dia menjerit dengan wajah berurai air mata serta hidung yang berdarah "Aku tidak mau! Kau saja yang lakukan! Aku pergi!"

Melihat Anita yang berbalik pergi seolah ingin melarikan diri, kedua pria itu sontak memutus tali rasional mereka dan jadi gelap mata. Angga adalah yang pertama kali bergerak dan menjambak hijab moka milik Anita, membuahkan jerit kesakitan si wanita yang berbuah dengan sebuah perlawanan. Seolah mereka bukanlah sepasang saudara kandung, melainkan seorang mangsa dan pemangsa.

Angga menarik paksa pisau yang disembunyikan oleh adiknya dan dengan kejam menonjok perut si wanita, sebelum memakinya "Bajingan, mau kemana kau?! Enak saja mau pergi setelah aku memberimu makan sebulan ini! Tidak tau malu!!"

Pukulan ini membuat nafas Anita sempat terhenti untuk beberapa saat, dia bahkan nyaris jatuh tak sadarkan diri. Tapi keinginan kuatnya untuk bertahan hidup, membuatnya terjaga meski dengan hidung dan sudut mulut yang berdarah "Apa yang kalian lakukan?! Lepaskan aku!! Tolong! Tolong!"

Namun sekeras apapun dia berteriak, tak ada satupun orang yang berniat untuk membantunya. Bagaimanapun juga ini adalah akhir dunia, siapa yang bisa disalahkan jika tidak ada satupun uluran tangan? Setiap individu harus bertanggung jawab atas nyawa mereka masing-masing. Bertahan hidup saja sudah sulit, kenapa harus repot-repot mengorbankan diri untuk menyelamatkan orang asing?

Kesadaran akan situasi inilah yang semakin menghancurkan benak Anita. Dengan putus asa, dia mulai melawan dengan seluruh tenaganya.

Nuffara yang ada di sekeliling tampaknya mulai tertarik akan kerubutan yang dibuat oleh tiga manusia ini, jadi mereka mengawasi apa yang akan terjadi dengan sepasang bola mata kaca mereka tanpa berkedip, diam-diam menilai.

Ilham yang awalnya tidak ingin ikut campur, seketika merinding merasakan tatapan penasaran milik entitas bukan manusia di sekitar mereka. Pria itu menepuk keras pundak Angga dan berseru "Lempar dia ke monster itu!"

Baik Angga dan Anita seketika berhenti melakukan aksi saling menyiksa. Wajah Angga menggelap begitu mendengar usulan Ilham, tapi dia segera berpikir cepat dan dengan kejam menendang keras tulang kering adiknya.

"Mati kau!!" seru Angga, sambil melemparkan tubuh kurus Anita ke pelukan salah satu Nuffara.

"Aaaahhhh!!!!"

Namun Nuffara berambut hitam dan bermata hitam yang mendapatkan lemparan tubuh ini, hanya berkedip lambat dan meraih tubuh wanita itu dengan kedua lengannya. Sontak wanita itu semakin ketakutan dan meronta sekuat yang dia bisa begitu sadar dirinya sedang dipeluk oleh monster. Namun tak peduli sekuat apapun dia coba untuk melepaskan diri, pelukan nuffara tak kunjung melonggar seolah sudah memasung dirinya.

Nuffara berambut hitam itu kebingungan akan semua penolakan ini, oleh karena itu sepasang rahangnya yang terhubung oleh jahitan beberapa utas jerami membuka mulut untuk bertanya dengan suara yang cukup maskulin "Manusia, apa yang kau takutkan? Aku tidak seram."

Sebagai tanggapan, Anita pingsan akibat ketakutan.

"Hm? Manusia? Halo, manusia?" Nuffara berambut hitam itu mengguncang tubuh lemas si wanita dengan hati-hati.

Pita ungu yang mengikat rambut panjang Nuffara yang sedang memeluk Anita, bergoyang-goyang saat ia mngguncang tubuh si wanita "Tidak mati, tapi juga tidak menjawabku? Haloo?"

Jelas, tidak ada sedikitpun niat membunuh yang terpancar oleh setiap Nuffara.

Menyadari ini, rasa takut Angga menurun dan dia mengayunkan goloknya pada si Nuffara "Monster! Lepaskan dia, atau kubunuh kau!"

Melihat agresi manusia yang tiba-tiba padanya, si Nuffara memeluk tubuh lemas Anita dan merajuk "Kalian duluan yang memberikannya padaku, kenapa sekarang memintanya kembali? Tidak mau."

"Dia tunanganku!! Lepaskan!" kali ini Ilham yang mengayunkan pedangnya.

Menyaksikan semua ini membuat Nuffara semakin mengeratkan pelukannyanya pada Anita "Sekarang dia milikku, pergi sana. Orang jahat."

"Brengsek! Mati kau!" Angga adalah pihak yang maju untuk pertama kali.

Nuffara itu menanggapi serangan ini dengan "Ah."

Angga menjadi panik sekaligus ketakutan, dia menyabet kepala si Nuffara berkali-kali secara membabi buta "Sial, kenapa tidak mempan?!"

Sabetan demi sabetan Angga layangkan pada Nuffara yang masih memeluk tubuh pingsan adiknya, dia terus mengayunkan golok secara membabi buta, tanpa peduli meski nanti serangan ini juga akan berdampak pada adiknya. Namun mau berapa kalipun dia mengayunkan senjata, tak ada satupun cedera berarti yang didapatkan oleh Nuffara. Seolah tubuhnya sama sekali tidak terbuat oleh jerami dan kain, melainkan logam yang bisa menyaingi senjata tajam apapun.

Ini adalah satu Nuffara yang tampak seperti gadis belia, masih ada 49 Nuffara tak bernama lain yang mengawasi mereka semua dengan mata main-main. Semua Nuffara ini mengambil rupa manusia dari berbagai usia dan ras.

"Daripada menyerang kami, kenapa kalian tidak membunuh monsternya?" tanya si Nuffara, gerakannya dalam memeluk Anita menjadi lebih dan lebih proktektif.

Mendengar nada polos dari kepala bertubuh jerami ini, amarah Ilham lantas melonjak "Selain kau, siapa lagi monsternya?!"

"Aku bukan monster, aku cuma Nuffara. Kalian biasa menyebutku orang-orangan sawah, aku monster darimananya?"

Nuffara berpita itu semakin cemberut mendengar tuduhan orang-orang ini "Monster darimananya?! Lihat penampilanmu sendiri sebelum menanyakan itu pada kami! Kau jelas-jelas monster!!"

"Benar! Kau hanya terbuat dari jerami, kayu dan kepala manusia, tapi kau bisa bicara! Jelas-jelas kau itu monster!" Ilham menudingnya lagi dengan senjata.

Nuffara itu menghela nafas panjang seolah sudah melihat mahluk terbodoh di semesta dan menjelaskan lagi "Kami bukan monster, manusia. Jangan keterlaluan. Kalian biasa mengucapkan sesuatu seperti mukjizat serta kuasa Tuhan untuk hal yang tidak kalian tau, tapi kenapa kalian justru memanggil kami sebagai monster?"

Nuffara lain yang berjarak lima ratus meter jauhnya menyahut "Benar, masing-masing dari kami memiliki nama dan kehidupan, sama seperti kalian."

Tidak lama kemudian, seluruh Nuffara di kota B mulai sahut menyahut menimpali omongan Nuffara berpita, yang saat ini menjadi satu-satunya Nuffara yang memeluk manusia.

"Kami juga punya perasaan dan bisa merasakan sakit seperti kalian."

"Kami tidak akan membunuh kalian."

"Tidak akan."

"Omong kosong! Kau pikir kami akan percaya dengan itu semua?! Kubunuh kalian! Monster!!" dengan ini, Ilham melompat keatas untuk mengayunkan pedangnya ke kepala Nuffara berpita.

Yang diserang sedikit mendongak untuk melihat wajah buruk pria itu, dia dengan santai mengayunkan tangannya yang berupa tulang berbentuk pedang panjang. Hanya untuk terciprat darah kotor dan tubuh kedua yang ambruk ke arahnya sebagai imbas.

Dia dengan datar berkomentar "Ah kepalanya malah putus."

"Pembunuh!! Monster sialan!!" Angga menjadi gelap mata begitu teman seperjuangannya mati terpenggal dalam sekejap mata. Dia turut mengayunkan goloknya lada si Nuffara, yang tentu saja bisa ditangkis dengan mudah.

"Kau menebas leherku lebih dulu, jadi kenapa aku tidak boleh menebas lehermu?" dia menanyakan ini dengan bingung, dan dengan enteng sekali lagi memenggal kepala orang.

Nuffara yang paling dekat dengannya melayangkan komentar akan pertanyaan ini, yang kemudian disahuti oleh semua Nuffara lain "Manusia itu aneh."

"Aneh."

"Aneh."

Nuffara berkulit gelap dan bermata biru bahkan menambahkan komentar yang cukup pedas  "Kami jelas hanya berdiri sejak tadi dan menyapa, kalian sendiri yang terlarut dalam imajinasi bahwa semua hal diluar sana ingin membunuh kalian."

"Kenapa ya?"

"Manusia pikir mereka sehebat apa sampai berpikir semua hal diluar sana ingin menguasai dunia mereka?" Nuffara mulai bertanya-tanya pada satu sama lain.

Nuffara berambut merah dan memakai topi penuh renda membalas dengan "Bumi hanyalah planet rusak yang sumber dayanya nyaris habis berkat kalian, sementara manusia sebagai salah satu mahluk berakal di bumi justru berbuat begini. Kami hanya membantu menanam dan merawat benih saja."

"Kalianlah yang tidak becus menjaga pemberian Tuhan, menyiksa binatang dan tidak menghormati tanah yang memberi kalian kehidupan" sarkas seorang Nuffara berambut platinum pada seorang ibu yang sedang gemetaran sambil menggendong mayat anaknya yang sudah mulai biru.

Nuffara berambut pirang berkata "Tuhan marah pada kalian."

Setelahnya diimpali oleh Nuffara terkecil "Tapi Dia dan mereka masih ingin memberi kalian kesempatan, oleh karena itu cepat bunuh monsternya sebelum jam sembilan. Atau kalian yang akan dimakan."

Kemudian, beberapa penggal kalimat dari pengumuman sebelumnya sekali lagi menggema di seluruh kota B.

[Dari tanah menuju ke tanah ... Dari tanah kembali ke tanah ... Setiap kehidupan berasal dari tanah, setiap kematian akan kembali kepada tanah. Setiap makanan, air yang mengalir, setiap ruas kehidupan besar akan menjadi mustahil tanpa dukungan tanah.]

[Untuk tanah aku terlahir, untuk tanah aku berakhir ...]

[Dan untuk tanah pula aku harus berpikir ... Lebih baik mati dalam pelukan atau bertahan dalam ketakutan ...]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!