Debris dan Manusia

Malam kali ini terasa jauh lebih mencekam dibandingkan satu bulan lalu, saat pertama kali pintu perak menurunkan orang-orang kembali ke bumi. Geraman binatang buas, suara berderak tulang-tulang yang tergilas sesuatu yang melata, juga jeritan samar manusia di kejauhan.

Danielle tidak bisa tidur, mata gelapnya menatap kanopi tulang rusuk raksasa yang dibuatkan Joshua menggunakan tulang-tulang di tubuh pria itu sendiri. Tubuh rampingnya bergerak keluar sangkar dari sela-sela dan diam untuk sementara, menatap pintu perak di langit yang masih bergerak seperti ombak lautan secara lambat.

Sepasang mata gelapnya berkilat dengan tangan yang meraba-raba perutnya sendiri, jelas merasakan perubahan yang terjadi di tubuhnya. Dengan bertelanjang kaki, dia mulai mengambil langkah satu demi satu diatas puing-puing bangunan. Sama sekali tidak menaruh minat pada organisme raksasa apapun yang melewatinya, tanpa perlu mempertimbangkannya sebagai mangsa. Rumput beracun yang setajam jarum, juga menyusut untuk sementara waktu saat kakinya yang lembut dalam diam menginjak-injak mereka.

Dia melihat air danau yang berkilauan memantulkan cahaya dari setiap pintu perak, mengacuhkan jeritan demi jeritan minta tolong dari kejauhan. Matanya terpejam menikmati angin yang membelai lembut tubuhnya sekali lagi, dan begitu dia kembali membuka matanya semua jeritan itu segera menghilang.

Matanya bersitatap dengan mata seorang pria yang dipantulkan refleksinya oleh air danau.

Itu adalah Samuel.

Sepasang lengan kuat sekali lagi membelit pinggangnya dengan cara yang lembut namun sangat posesif "Dani, tidak bisa tidur?"

Dia menatap refleksi mereka diatas permukaan danau, mengulas senyum kecil dan menjawab "Iya, kau juga tidak bisa tidur?"

Samuel menyadari kemana arah pandang gadisnya dan mengikuti, bibirnya mengulas senyum langka yang sangat manis "Mn. Aku terlalu merindukanmu, tapi dua anjing itu terus saja mencoba menjauhkanmu dariku. Aku kesal, sangat kesal."

Dengan sekali menggerakkan jarinya, permukaan danau yang memiliki refleksi mereka berdua membeku menjadi kristal es sejernih cermin, membuat Danielle lebih leluasa mengamati mereka disana. Samuel sekali lagi sudah menenggelamkan wajahnya ke ceruk lehernya, dengan mata yang masih terkunci pada refleksi mereka seolah sedang membuktikan pada Danielle akan betapa cocoknya mereka saat bersama.

"Amu, apa kau tau ..." Danielle menggantung kata-katanya dan menarik pihak lain untuk duduk diatas tanah bersamanya.

Samuel tanpa sungkan mendudukkan Danielle diatas pahanya, membuat kursi malas dari salju yang nyaman untuk mereka. Pria itu mulai menggosok wajahnya pada pipi si gadis dengan cara yang sangat familiar bagi keduanya, sebelum menjawab pertanyaan barusan dengan "Tidak, apa?"

Dengan wajah tersenyum, Danielle memgusap rambut Samuel dengan cara yang penuh afeksi "Manusia tidak berasal dari kera, tapi diciptakan setelah kera, beberapa mirip dengan kera dan kebanyakan bahkan tidak lebih pintar dibandingkan kera."

Perasaan Samuel menjadi lebih dan lebih baik, pria itu juga mulai menanam ciuman seringan bulu pada seluruh wajah Danielle. Mulutnya mengeluarkan tawa yang selembut sutera, dengan pikiran yang jelas terpusat pada hal sama yang dipikirkan oleh gadisnya, pria itu balas berkata dengan nada jenaka "Kau benar, Dani. Sangat sedikit manusia yang benar-benar manusia. Dan seperti katamu dulu, lebih sedikit pula manusia yang bisa memanusiakan sesama manusia."

Keduanya diam dan menikmati suasana tenang yang mulai diinterupsi oleh langkah kaki sesuatu yang berlarian dari seberang danau, kening Samuel berkerut tidak senang. Untung saja Danielle masih mengusap kepalanya dan dengan patuh mendudukinya, kalau tidak maka Samuel pasti akan langsung menghancurkan kepala mahluk-mahluk itu karena berani mengganggu waktunya.

"Amu, apa kau tau?" pertanyaan berulang ini kembali menjadi pusat konsentrasi dan dunianya.

"Tidak, apa?" dan pria itu masih menjawab dengan antusiasme serta sikap manja yang sama.

Danielle menatap asal suara berisik yang mengganggu mereka dan melanjutkan kata-katanya "Manusia itu ... Menjadi manusia dan bisa disebut manusia, semuanya berkat 'manusia' yang tidak akan kita sebut sebagai manusia bahkan jika kita bertemu mereka."

Samuel membalas ini dengan menanam ciuman manis di sudut mulut gadisnya, sebelum berhenti melanjutkan tindakannya saat merasa ada yang mengawasi mereka.

Mata Samuel tiba-tiba terfokus pada sekelompok orang di seberang danau yang tampak lelah dan putus asa, dua pria berbeda usia dan seorang wanita yang sepertinya seorang ibu rumah tangga. Pandangan mereka bertemu dengan sepasang mata ungunya yang mampu menarik orang seperti pria penggoda. Butuh beberapa saat sampai salah satu pria yang tampaknya merupakan kepala keluarga orang-orang itu, berteriak padanya dari jarak yang cukup jauh ini dengan berurai air mata dan disusul oleh teriakan demi teriakan dari yang lain.

"Tolong! Tolong kami!"

"Mas, tolong kami! Kumohon!"

"Kau adalah Debris 'kan?! Tolong kami! Selamatkan kami! Aku akan memberikan apapun asal kau mau menyelamatkan kami! Kumohon!"

"Kami punya perhiasan! Kami juga punya daging! Kami bisa memberikanmu semuanya! Kumohon!"

Namun Samuel menanggapi semua teriakan itu dengan tawa keras seperti seorang pasien mania, tubuhnya juga bergetar saking lucunya perkataan orang-orang di seberang sana. Dia tidak pernah tertawa sekeras dan selepas ini pada orang-orang itu, yang saat ini dengan panik menghindari kejaran sekaligus serangan dari sekelompok serigala berkaki dua yang tampak lapar. Mereka berusaha sekeras mungkin menghindari setiap cakar serigala dengan gerakan yang sangat terlatih, tapi sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang.

"Aaahhh! Tolong! Tolong!" Pria yang tampaknya anak mereka berteriak putus asa saat seekora serigala berhasil mencabut paksa tangan kirinya.

"Alfan!"

"Monster! Lepaskan anakku!!"

Samuel tertawa terpingkal-pingkal saat serigala itu mengunyah lengan kiri si pria tepat di hadapan orangtuanya, mulutnya bahkan mulai berkomentar "Daging segar memang yang terbaik, mereka benar-benar monster cerdas yang pintar memilih mangsa."

Danielle mengamati semua ini dengan tenang saat serigala itu sekali lagi mengayunkan cakarnya, merobek perut pria muda bernama Alfan itu dan dengan kejam menarik keluar isi perutnya dalam kondisi si pria masih hidup. Orangtua pria itu menjerit histeris dan langsung kehilangan kontrol gerakan mereka, segera tertangkap oleh enam serigala lainnya.

 "AAAAAAHHHHH!!!"

Samuel tertawa sambil memukul-mukul kursi saljunya saat melihat sepasang kaki pria tua itu tercabut dari tubuhnya, akibat dua serigala yang berebut dan menarik-narik tubuhnya ke arah berlawanan. Tubuh pria paruh baya itu berkedut-kedut dengan darah segar  Si ibu yang melihat kematian tragis dua anggota keluarganya yang tersisa, menatap ke asal arah suara tawa itu dengan kebencian sedalam tulang pada Samuel dan Danielle.

"Biadab! Dasar iblis! Beraninya kau tertawa?!"

"Dasar keparat! Mati kalian!!! Mati!!"

Mungkin merasa bahwa teriakan wanita itu berisik, salah satu serigala itu tanpa ampun langsung mencabik kepalanya menjadi dua. Dunia sekali lagi menjadi tenang, hanya suara alam, kunyahan serta cabikan yang agresif, dan tawa Samuel yang bergema di sana.

Danielle menghela nafas panjang dan akhirnya berkomentar "Mereka bahkan tidak mengenalimu."

"Ah ... Dani, maksudmu ayah?" dia baru menjawab setelah puas tertawa, bahkan ada genangan air mata di sudut matanya. Jelas dia menikmati apa yang dilihatnya barusan.

Danielle melihat serigala yang tidak berhenti mengunyah mayat dan menjawab tenang "Mn. Ibumu bahkan menyumpahi kita."

Samuel sekali lagi menggosok wajah keduanya dan berujar acuh "Biarkan saja. Sejak awal mereka tidak membutuhkanku sebagai anak, harusnya mereka senang aku tidak ikut campur pada urusan keluarga mereka."

Topik ini tidak lagi menarik, apalagi saat para serigala itu sudah kenyang setelah mengadakan pesta daging barusan.

Danielle menggenggam salah satu tangan Samuel dan mengajukan pertanyaan, penasaran ".... Sesuatu itu bilang mereka tidak akan memaksa kita bermain setelah jam lima sore, tapi kenapa masih ada pembantaian?"

Pria itu menangkap keseriusan dalam nada pertanyaan gadisnya dan dengan senang hati menjelaskan apa yang ia ketahui "Waktu yang diucapkan itu hanya berlaku untuk pembantaian yang secara pribadi mereka lakukan, mereka tidak akan menghalangi pembantaian alami pada manusia diluar jam terbang ke Surga. Itulah mengapa terkadang lebih aman berada didalam pintu dibandingkan di dunia yang kita sebut rumah."

Seolah teringat sesuatu, Samuel kali ini bertanya "Dani, kau tidak akan menjadi gila tiba-tiba dan melindungi sampah-sampah itu 'kan?"

Tidak butuh waktu lama, gadis itu menjawab singkat "Aku benci kera."

Samuel sekali lagi tertawa dan memeluk Danielle dengan perasaan bahagia, gadis itu juga hanya menanggapi antusiasme orang ini sekenanya. Mata hitamnya menatap singkat pohon apel besar di samping mereka, sebelum mengulas senyum kecil dan kembali berbincang santai dengan Samuel.

Kulit pohon apel itu sedikit terkupas, menampakkan raut terdistorsi milik seorang debris berambut pirang yang menyaksikan semuanya tanpa melewatkan satupun.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!