Selesai sholat isya, aku melihat Azizah sudah menghidangkan makanan di atas meja makan. Aku sedikit bingung harus bicara apa.
"Ayo duduk, Bang," serunya padaku dan Azhar yang baru saja selesai mandi dengan pakaian santainya.
Kami memang selalu di urusi dengan saudara perempuan satu-satunya. Rasa menyesal karena telah bicara dengan nada tinggi. Memang selama ini kami tidak pernah bertengkar, mungkin karena aku dan Azizah berbeda pendapat saja.
"Dek, Abang minta maaf," ucapku meminta maaf duluan. Walaupun aku seorang Kakak, namun aku menyadari kesalahanku. Aku tidak ingin adik perempuanku membenciku karena dialah nantinya tempat aku menumpang hidup bila sudah tua. Karena sesayang apapun kita pada pasangan, maka tetaplah saudara perempuan yang akan menerima dan mengurusi kita bila nanti kita tak dibutuhkan lagi oleh pasangan kita.
Aku sadar sekali sebesar apapun masalah kita dengan saudara, maka tak akan pernah bisa memutus tali silaturahmi. Karena kita dilahirkan dari rahim yang sama, dan dibesarkan oleh keringat seorang lelaki yang sama pula. Air di cincang tak akan pernah putus, begitulah hubungan sedarah. Maka selagi bisa aku akan tetap menanamkan rasa sabar untuk kedua adikku.
Azizah menatapku dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Abang, aku juga minta maaf. Hiks..." Dia segera memelukku dan kembali menumpahkan tangisannya.
Aku mencoba untuk menenangkan. Aku tahu dia juga tidak bermaksud melawan diriku. Namun rasa takut yang begitu besar sehingga membuatnya tak bisa bersikap ramah lagi.
"Sudah sudah, Abang tidak menyalahkan kamu. Abang tahu semua yang kamu lakukan karena kamu sangat menyayangi Abang." Aku melerai pelukan dan kutatap wajahnya yang masih penuh dengan air mata. "Dek, tapi untuk kali ini saja bolehkah Abang egois? Karena Abang juga ingin bahagia bersama dengan wanita yang Abang cintai," ujarku meminta pengertiannya.
"Apakah Abang yakin bahwa keluarga Kak Ikha tidak akan menyakiti Abang? Aku takut Bang, mencintai orang kaya sangat beresiko untuk keselamatan Abang," lirihnya masih terisak.
"Kamu percaya sama Abang ya, semua akan baik-baik saja, Dek."
"Baiklah, aku tidak akan melarang Abang untuk berhubungan dengan Kak Ikha, tapi Abang janji untuk tetap baik-baik saja. Aku tidak ingin hal buruk terjadi pada diri Abang," ujarnya yang mencoba mengalah. Aku tahu meski berat baginya, tetapi demi melihat aku bahagia maka dia menerimanya.
"Abang janji akan selalu baik-baik saja. Abang akan buktikan bahwa Abang juga pantas bersanding bersama putri mereka. Abang hanya butuh dukungan dari kalian berdua adik-adik Abang."
Azhar ikut mendekat pada kami. Dia memukul pelan pundakku. Dia adalah adikku yang sedari kecil tak banyak menuntut, sikapnya begitu dewasa, dia juga sangat mandiri. Aku sangat bersyukur mempunyai mereka.
"Abang tidak perlu khawatir, kami akan selalu mensupport agar Abang bisa membuktikan untuk memantaskan diri berada disamping Kak Ikha," ucapnya yang membuat aku tak mampu menahan haru.
Aku mendekap kedua adikku kembali ada rembesan di netraku. Ah, aku benci sekali karena sangat mudah terharu bila ada momen seperti ini.
"Terimakasih atas segala dukungan kalian. Abang benar-benar bersyukur memiliki kalian berdua," lirihku masih mendekap kedua adikku.
"Yasudah, sekarang ayo kita makan, kita nggak boleh sedih-sedih lagi. Do'ain bulan depan aku mampu menyelesaikan tugas skripsiku," ujar Azhar berusaha menghibur.
Akhirnya kami makan bersama, Azizah sudah kembali ceria. Aku merasa lega bisa melihat senyum gadis itu kembali. Sesaat amanah ibu melintas di benakku. Ibu memintaku agar selalu menjaga kedua adikku, dan jangan pernah berlaku kasar pada mereka.
***
Kini sudah satu minggu lamanya aku dan Ikha tak bertemu. Selain kami mempunyai kesibukan masing-masing, aku juga sedang mengikuti kursus arsitektur untuk menggali ilmu yang sudah lama ingin aku pelajari.
Malam ini aku tak mempunyai kegiatan, maka aku memutuskan untuk bertemu dengan wanita yang sangat aku rindukan. Kami membuat janji untuk bertemu di tempat biasa, yaitu disebuah Cafe yang tak jauh dari kediamanku.
Aku datang terlebih dahulu, lalu memesan minuman sembari menunggu. Tak berselang lama terdengar suara gadis itu dengan senyum merekah. Aku sangat bahagia karena dapat melihat senyum itu kembali.
"Maaf ya, Mas. Soalnya tadi kena macet," ujarnya sembari duduk disampingku.
"Nggak pa-pa, Dek. Kamu apa kabar?" tanyaku menatap wajah cantiknya.
"Seperti yang kamu lihat, Mas, tidak terlalu buruk dan tidak terlalu jelek kabarku," jawabnya seperti abu-abu.
"Kenapa begitu? Apakah ada masalah?" tanyaku meminta jawaban.
Kulihat dia menghela nafas dalam. Kedua telapak tangannya menyatu, jari-jarinya saling memilin. Sepertinya ada sesuatu yang sedang ia simpan.
"Dek, ada apa? Bicaralah!" ucapku menatap bola mata bening itu.
"Mas, apakah kamu benar-benar mencintai aku?" tanyanya dengan suara tercekat.
"Aku benar-benar mencintai kamu, Sayang, kenapa kamu masih meragukan perasaanku?"
"Mas, jika nanti aku dijodohkan oleh Papa dengan Pria lain, apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya yang membuat aku bingung harus menjawab apa.
"Apakah itu yang membuatmu gelisah?" tanyaku memastikan.
"Ya, minggu depan aku akan di tunangkan dengan anak teman Papa. Apakah Mas Azzam tak ingin memperjuangkan cinta kita?" tanyanya dengan wajah sendu.
"Baiklah, lusa aku akan datang melamarmu," jawabku dengan yakin. Tak peduli bagaimana tanggapan mereka, yang jelas aku ingin berusaha terlebih dahulu.
"Kamu serius, Mas?" tanyanya dengan mata berbinar.
"Ya, aku akan membuktikan padamu dengan segala keseriusanku. Maaf aku tak mempunyai harta untuk melamarmu. Namun percayalah, aku hanya mempunyai cinta yang tulus, aku akan berjuang untuk membahagiakanmu nantinya.
"Mas, terimakasih banyak atas segala cinta tulus kamu. Aku tak meminta apapun darimu, Mas, dengan kamu datang menghadap pada Papa itu sudah lebih dari cukup bagiku."
Akhirnya aku berjanji lusa akan datang melamarnya. Meskipun aku sudah firasat bahwa lamaranku tidak akan di terima, namun aku sebagai seorang lelaki tak ingin patah arang sebelum berjuang.
Kami banyak ngobrol membahas hubungan yang sedang kami jalani. Sebelum pulang kami makan malam terlebih dahulu, setelah itu kami kembali pulang. Kami berpisah di parkiran Cafe. Setelah memastikan mobil yang dikendarai kekasihku telah hilang dari pandangan, maka aku segera pulang.
Diperjalanan pulang aku masih memikirkan tentang rencana lamaranku besok lusa. Apakah aku benar-benar sudah siap akan hal itu? Apakah mereka akan sudi menerimaku sebagai menantu? Banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benakku.
Setibanya dirumah aku segera melaksanakan ibadah empat rakaat, dan setelah itu aku melaksanakan shalat sunat hajat dua rakaat. Aku berdo'a agar diberikan kemantapan hati dalam menghadapi sebuah niat yang akan aku laksanakan besok malam.
Bersambung....
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Defi
Semangat Zam, ayo berjuang untuk mendapatkan restu dari orang tua Ikha
2023-06-07
2
Assyifa
ayo bg Azzam, kmu pasti bsa 💪🤲
2023-06-07
1
herdaize
Azzam,klo memang kamu serius mau memperjuangkan cinta mu tikung disepertiga malam sampai kan ke sang Khaliq niat baik mu 💪💪😍😍
2023-06-07
1