Kami makan dengan tenang, aku merasa tidak pernah puas menatap wajah wanita cantik yang kini sudah menjadi kekasihku. Terkadang masih belum percaya bahwa dia menyukai Pria seperti diriku yang banyak kekurangan.
"Apakah tangan Mas tidak sakit saat bergerak?" tanyanya padaku demi melihat aku menyuap sedikit di rasa-rasa. Memang agak perih.
"Emang kalau sakit kamu mau menyuapi aku?" tanyaku menggoda dirinya.
"Tentu saja. Sini aku suapi," ujarnya mengarahkan sendok yang berisi makanan padaku.
"Jangan, Dek. Malu bila dilihat orang," ucapku merasa malu.
"Hihi... Kenapa malu Mas, kita kan memang pasangan kekasih," jawabnya dengan kekehan kecil.
Saat aku ingin menerima suapan darinya, terdengar suara seseorang yang membuat aku dan Ikha mencari sumber suara bariton itu.
"Dasar tidak tahu malu! Masih berani kamu mendekati putriku!"
"Papa!" Ikha dan aku segera berdiri.
Kulihat lelaki itu berjalan mendekat ke arah meja dimana kami duduk. Tatapannya merah menyala. Aku berusaha untuk tetap tenang. Bukankah aku sudah yakin untuk menerima segala resikonya.
Plak! Plak!
Dua kali tamparan keras mendarat pada pipiku. Tak aku hiraukan. Kucoba untuk kembali menatap wajah lelaki baya yang di sebut sebagai papa oleh gadis yang aku cintai.
"Sekali lagi aku peringati kamu agar tak mendekati putriku! Jika kau masih berani melakukan hal itu maka aku tidak akan segan berbuat lebih dari ini!" tekannya dengan nada tinggi.
"Pa, kenapa melarangku dekat dengan Mas Azzam? Kami saling mencintai, Pa. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menikah dengan lelaki pilihan papa itu!" seru Ikha dengan tangis sudah meledak.
"Diam kamu Zulaikha!" Seketika tangan Pak Haidan ingin melayang menampar putrinya. Namun secepat kilat aku menahannya. Aku rela bila tamparan itu mengenai wajahku, namun aku tidak rela bila pipi mulus kekasihku juga merasakannya.
"Jangan pernah menyakitinya, Pak. Silahkan Bapak memukulku, tapi jangan pernah melakukan pada wanita yang aku cintai. Mungkin dia memang putri Bapak, tapi ingatlah, dan aku yakin dia adalah bagian dari tulang rusukku, jadi aku tidak akan membiarkan siapapun yang menyakitinya! Termasuk Amar lelaki terhormat menurut Bapak itu!"
Aku menurunkan tangan pria itu dengan pelan. Tak peduli semua orang menatap perdebatan sengit yang terjadi diantara kami. Terlihat sekali pria terhormat itu menahan amarah yang terpendam.
"Ayo pulang sekarang Ikha! Dan kau, ingatlah! Jika kau masih berani mendekati Zulaikha, maka aku akan membuatmu menyesal!" sentaknya memberiku ancaman sembari meraih tangan putrinya dengan sedikit kasar.
"Mas Azzam!" seru Ikha menatapku dengan deraian air mata. Aku hanya mengangguk pelan untuk meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Dengan berat hati Ikha berjalan mengikuti langkah sang Papa yang telah di dampingi oleh kedua bodyguardnya.
Aku mencoba menghirup udara sepenuh dada untuk memasok rasa sabar, dan banyak-banyak mengucapkan istighfar. Ini belum seberapa mungkin nanti akan ada yang lebih menyakitkan dari ini.
Aku segera menuju meja kasir untuk membayar makanan, kuamati orang-orang yang berada di rumah makan itu, semua mata menatapku. Aku tak ambil pusing, segera ku langkahkan kaki meninggalkan tempat dimana aku di permalukan oleh ayah dari kekasihku, yaitu wanita yang amat aku cintai.
Dengan perasaan sedikit gelisah, aku tak langsung pulang. Aku takut akan terjadi sesuatu pada gadis itu, maka aku memutuskan untuk mendatangi kediaman anggota dewan itu demi melihat suasananya, apakah ada keributan?
Ku amati dari kejauhan. Tak sengaja netraku melihat Pak Tono yang sedang ngobrol dengan securyti. Aku segera memanggil pria baya itu dengan jarak cukup jauh.
Pak Tono tergopoh-gopoh menghampiriku. "Ada apa Nak Azzam?" tanya beliau sembari menatap kebelakang, mungkin takut ada yang melihat.
"Pak, apakah Mbak Ikha sudah pulang?" tanyaku sedikit cemas.
"Oh, sudah. Tadi Mbak Ikha pulang bersama Pak Haidan," jelasnya.
"Apakah dia baik-baik saja?" tanyaku masih mencemaskan kekasihku itu.
"Iya, Nak, dia baik-baik saja. Apakah ada terjadi sesuatu?" tanya Pak Tono menatap haran.
"Ah, tidak Pak. Kalau begitu aku permisi dulu. Terimakasih untuk informasinya ya, Pak." Aku segera memacu kendaraanku meninggalkan rumah megah itu.
Aku bersyukur, sedikit lebih lega karena gadis itu baik-baik saja. "Tenanglah, Sayang, aku berjanji akan mematut diriku agar sepadan di sampingmu." Aku bergumam sendiri dan berjanji pada diriku sendiri. Aku pasti bisa untuk menjadi sukses.
Sejak kejadian waktu itu, kami masih tetap berhubungan, meskipun harus backstreet. Sejak kejadian itu pula aku sudah memutuskan untuk mengikuti kursus arsitektur. Dengan gaji yang aku sisihkan, aku yakin bisa menggapai cita-citaku.
Sore ini aku baru saja keluar dari yard PT tempat aku bekerja. Kulihat sebuah mobil telah terparkir disana. Aku sudah sangat mengenali mobil itu.
"Mas Azzam!" panggil gadis yang sudah dua hari ini tak aku temui. Dia tersenyum manis sembari membukakan pintu bagianku.
"Hei, Dek. Kamu kenapa masih saja nekat?" intrupsiku yang tetap mengkhawatirkan dirinya.
"Habisnya kangen," jawabnya membuat aku tersenyum gemas.
"Aku menatapnya dengan dalam. Kini wajah kami sudah begitu dekat sehingga mengikis jarak. Aku yang memang sangat merindukannya, maka ku kecup bibirnya dengan lembut. Dia membalas kecupanku sehingga pergumulan lidah terjadi sebelum kami meninggalkan tempat itu.
Hanya itu yang berani aku lakukan, jujur aku tak berani menyentuhnya terlalu jauh. Dan aku sudah berjanji tidak akan pernah berbuat nyeleneh sebelum menjadi halal. Dan aku juga memikirkan adik perempuanku satu-satunya. Tak ingin hukum karma berlaku. Bagaimana jika nanti adikku di nodai oleh lelaki yang belum mahramnya.
Sepanjang perjalanan Ikha selalu memeluk lenganku. Aku dapat melihat bahwa dia begitu merindukan aku. Ternyata perasaan kami tak jauh berbeda. Mungkin aku seorang lelaki masih bisa mengendalikan rasa rinduku, tapi untuk perempuan pasti sangat sulit.
Aku sangat memahami perasaan kekasihku. Kubiarkan dia mencari kenyamanan, sesekali aku mengusap pipinya dengan sebelah tangan, dan ku kecup keningnya penuh rasa sayang.
"Dek, kita mau kemana?" tanyaku di tengah perjalanan.
"Kerumah Mas Azzam," jawabnya yang membuat aku kembali cemas.
"Bagaimana jika nanti Papa kamu datang menemui kamu lagi?" tanyaku ragu.
"Tenang saja, Mas. Kita parkir mobil ini di mall. Setelah itu kita pesan taksi. Jadi kita kerumah kamu naik taksi," ujarnya memberi solusi. Entahlah, apakah solusinya itu yang terbaik, karena aku yakin ayahnya mempunyai seribu mata diluar.
"Kamu yakin ini adalah hal yang tepat? Bagaimana jika nanti kembali datang masalah? Aku takut bila hubungan kita semakin renggang, Dek," ucapku mengutarakan rasa ketakutanku.
"Percayalah, Mas. Untuk kali ini tidak akan ketahuan. Pokoknya Mas ikut saja," ujarnya dengan yakin. Aku tak bisa membantah hanya bisa mengikuti kemauannya.
Bersambung....
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Defi
Ikha kenapa ga kasih bukti2 kejahatan Amar kepada Papanya biar terbuka fikiran Pak Haidan kalau Azzam yang sudah menolong Ikha dari kejahatan yg Amar lakukan
2023-06-07
2
Assyifa
Semangat Azzam. kmu pst bisa membuktikan
2023-06-07
1