"Baiklah, kalau begitu mari kita susun rencana dari sekarang," ucap Mama
"Rencana apa, Ma?" tanyaku tidak paham.
Mama menjelaskan padaku tentang rencana yang harus kami lakukan. Pertama mendengar ide Mama membuat aku terkejut, bagaimana jika nanti Papa murka.
"Ma, bagaimana jika nanti Papa murka pada Mas Azzam? Aku takut Papa akan menyakitinya?" tanyaku meminta pendapat Mama.
"Kamu tenanglah, Papa tidak akan mungkin melakukan hal itu, percaya dengan Mama!" mama mencoba meyakinkan aku.
Aku berpikir sejenak, apakah ini sudah keputusan yang tepat? Sepertinya memang tak ada jalan lain. Aku harus mengikuti rencana mama demi kelangsungan hubungan aku dan Mas Azzam.
"Baiklah, Ma. Tapi jika Papa tidak percaya dengan pernyataan aku bagaimana, Ma?" tanyaku ragu.
"Nanti Mama yang akan mengurus semuanya, Mama akan hubungi teman mama yang dokter kandungan itu. Mama akan minta bantuan padanya. Sekarang kamu tenanglah, jangan menangis lagi," ucap Mama sembari menatap wajahku yang telah kusut masai karena sedari tadi menangis.
"Ma, apakah Mama merestui hubungan aku dan Mas Azzam?" tanyaku ingin tahu seperti apa penilaian Mama pada calon suamiku itu.
"Tentu saja Mama merestui hubungan kamu dan Azzam, karena sebelumnya Mama sudah mencari tahu tentang pemuda tampan yang telah mencuri hati anak Mama ini," jawabnya sembari mengusap air mataku.
Aku tak bisa menahan haru. "Hiks, Hiks, Mama..." Aku memeluk Mama yang selama ini sangat menyayangi aku. "Terimakasih telah merestui hubungan kami, aku sayang Mama," lirihku dengan isakan.
"Mama juga sangat menyayangi kamu, Nak. Apapun akan Mama lakukan untuk kebahagiaanmu. Sekarang jangan sedih lagi ya." Mama memelukku dengan erat memberi ketenangan.
Aku hanya mengangguk. Kini batinku sudah merasa lega. Setidaknya ada Mama yang berada di pihak aku dan Mas Azzam. Namun ada sesuatu yang ingin aku pertanyaan pada Mama. Kulerai pelukan, lalu kutatap wajah damai bidadari tak bersayapku itu.
"Ma, jika Mama rela melakukan hal ini demi kebahagiaanku, tapi kenapa Mama tidak melakukan hal yang sama pada Kak Inaya dan Kak Sinta?" tanyaku meminta jawaban.
"Apa yang ingin Mama lakukan, karena kedua kakakmu itu setuju dengan pilihan papa, jadi mama mau lakukan apa? Ya, Mama akui bahwa kedua kakakmu itu menurun sikap Papa. Berbeda dengan dirimu sepertinya Mama banget," jelas wanita baya kesayanganku.
"Masa sih, Ma? Jadi kak Sinta dan Kak Inaya setuju dengan pilihan Papa?" tanyaku sekali lagi, rasanya aku tidak percaya. Karena saat perjodohan mereka aku sedang melanjutkan studi strata satuku London.
"Ya, mereka sama sekali tak keberatan, dan tentu saja membuat mama dan Papa menjadi lega dan tenang. Tapi berbeda dengan kamu. Memang seleramu itu berbeda dengan kakak-kakakmu, dan tentu saja mama juga ingin kamu bahagia seperti mereka. Maka dengan cara apapun akan Mama lakukan untuk dirimu."
Aku kembali terharu mendengar penjelasan mama. Aku tersenyum bahagia kembali masuk kedalam pelukannya. "Ma, bagaimana jika nanti Papa tahu bahwa ini semua adalah skenario Mama?" tanyaku penasaran dengan tanggapan Mama.
"Biarkan saja, Mama akan membalikkan fakta itu pada Papamu. Memang apa bedanya Mama dan Azzam? Karena Mama juga dulunya wanita sederhana, jauh dari gelimangan harta, namun Papa tetap keukuh meminang Mama dengan beralasan cinta."
Aku tak percaya mendengar pengakuan Mama. Jika Papa dulu tak memandang status sosial mama, tapi kenapa sekarang Papa seegois itu? Aku benar-benar tak habis pikir, ternyata jabatan dan kekuasaan membuatnya menjadi angkuh.
Cukup lama aku ngobrol dengan Mama, hingga waktu sudah beranjak siang. Aku juga ingin bersiap untuk ke kampus. Kini hatiku sudah jauh lebih tenang.
"Kamu sudah mau pergi?" tanya Mama berpapasan denganku saat baru turun menapaki anak tangga.
"Iya Ma, siang ini ada dua mata kuliah," jawabku menghampiri Mama untuk menyalami tangannya.
"Yasudah, nanti pulang kuliah langsung pulang, jangan kemana-mana, jangan sampai Papa curiga dengan rencana kita," ujar Mama sembari mengecup kedua pipiku.
"Siap Mamaku tersayang," jawabku patuh dan membalas kecupan di kedua pipinya.
Sore setelah selesai mengikuti materi terakhir, aku segera beranjak menuju parkiran, namun aku melihat sosok lelaki yang aku cintai. Mas Azzam sudah berdiri di depan gerbang kampus, Pria itu sudah rapi dengan stelan sederhananya. Ah dia terlihat sangat tampan sekali.
Dengan senyum bahagia aku menyongsong kehadirannya. Aku selalu saja bahagia bila bertemu dengan kekasih hatiku.
"Hai, Mas. Tumben nyamperin aku kesini?" tanyaku sembari menerima uluran tangannya, sejak kami resmi menjadi pasangan kekasih, dia memang selalu membiasakan aku untuk selalu bersalaman dan mencium punggung tangannya saat bertemu.
Aku sering mengguraui dia bahwa gaya pacaran kami ini sangat alay, namun dia menjawab. "Ini untuk membiasakan diri, Dek, agar nanti setelah kita menikah tidak canggung lagi" Itulah tanggapannya. Sejak itulah aku menjadi terbiasa dan tak peduli bila ada orang yang berpikiran seperti itu.
"Bagaimana kuliahmu hari ini?" tanyanya sembari mengusak rambutku dengan lembut. Tatapannya membuat hatiku menjadi tenang.
"Alhamdulillah berjalan lancar, Mas. Kamu belum jawab pertanyaanku?"
"Emang kenapa? Apakah aku tidak boleh datang kesini untuk menemui calon istriku?" jawabnya yang membuat hatiku semakin entah.
"Tentu saja boleh. Bahkan aku sangat senang dan bahagia," balasku dengan senyum manis.
"Baiklah, mau ngobrol sebentar?" tawarnya.
"Boleh, kita ngobrol dimana?" tanyaku.
"Di tempat biasa saja ya."
"Oke, Mas yang nyetir ya."
"Kamu saja, Sayang, soalnya aku bawa motor."
"Oh, baiklah." Aku tak keberatan. Aku segera mengambil kendaraanku di parkiran.
Setelah mobil keluar dari gerbang kampus, Mas Azzam bersiap menghidupkan mesin motor maticnya dan mengikuti aku dari belakang. Aku benar-benar merasa selalu di jaga olehnya.
Sesampainya di Cafe tempat biasa, Mas Azzam segera memesan minuman dan beberapa cemilan untuk menemani ngobrol kami.
"Mas, nanti malam jadi datang kerumah 'kan?" tanyaku memastikan.
"Tentu saja. Tapi aku tidak tahu apakah lamaranku diterima atau malah sebaliknya," jawabnya dengan raut wajah sedikit sendu.
"Mas Azzam harus optimis, percaya sama aku, kita pasti menikah," ujarku begitu yakin. Dia menatapku dengan heran.
"Kenapa kamu yakin sekali, Dek?" tanyanya dengan heran.
Aku sebenarnya ingin memberitahu tentang rencana itu, namun aku takut bila Mas Azzam tidak setuju. Aku tahu lelakiku ini adalah orang yang sangat jujur dan lurus. Mana mungkin dia mau melakukan hal curang.
"Ah, karena aku yakin dengan hatiku, Mas." Aku hanya mampu beralasan.
"Dek, apa yang harus aku bawa untuk melamarmu?" tanyanya minta pendapat. Ternyata hal itu yang ingin dia bicarakan padaku.
"Mas, jangan repot-repot memikirkan hal itu. Kamu datang dengan niat baik untuk ibadah, itu sudah cukup Mas," jawabku dengan jujur. Karena aku memang tak pernah berharap apapun darinya.
"Tapi aku ingin memberikan sesuatu untuk pengikat di jarimu. Apakah kamu tidak keberatan bila aku memberikan sebuah cincin sederhana ini?" tanyanya sembari mengeluarkan sebuah kotak cincin, lalu memperlihatkan padaku isinya sebuah cincin yang menurutku sangat indah.
Bersambung....
Happy reading 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Defi
Mama Ikha terbaik, benar2 menyayangi anaknya sehingga memilih bersebrangan dengan suaminya dalam memberi restu pada Ikha..
2023-06-10
2
Marliana MARLIANA
ternyata ada kisah di balek kisah nech...
istri yang maju tuk melawan suami tuk mendukung anaknya..aq padamu mama eakkkķkkkkkkkklkllkkkkkkkkk
2023-06-08
1