13. Tragedi kampung halaman

Sudah beberapa hari ini Glorva dan Jidante melakukan perjalanan yang panjang untuk kembali ke kampung halamannya, namun saat hampir dekat, Glorva merasa aneh dengan sekelilingnya.

Saat ia mulai melewati padang rumput menuju rumahnya, biasanya ada banyak pedagang yang akan lewat untuk membawa hasil perkebunan yang ada di desanya, namun kali ini sekitarnya nampak sangat sepi.

"Padahal ini musim panen, tapi kenapa tidak ada para pedagang yang lewat'' Batin Glorva bertanya tanya, ia semakin mempercepat langkahnya karna tak sabar untuk sampai di desanya.

Entah kenapa rasa resah dan penasaran dihati Glorva bercampur aduk menjadi satu, ia kemudian berlari dan meninggalkan Jidante yang berjalan di belakangnya.

"Kakek, aku duluaan, kau pelan pelan saja, aku khawatir dengan tulangmu'' Teriak Glorva pada Jidante dari kejauhan, lalu lanjut berlari dengan cepat.

Jidante mendecih, "Anak itu, mentang mentang aku terlihat tua dia sudah berani mengejekku" Kesalnya, ia kini ikut mempercepat langkahnya.

Tak lama kemudian, Jidante berhasil mengejar Glorva, namun ia langsung nenghentikan langkahnya saat ia melihat Glorva yang berdiri mematung dan menjatuhkan ranselnya.

Jidante melihat punggung Glorva yang mematung dari belakang, pandangan Glorva yang kosong melihat ke sekelilingnya, bahkan Jidante sendiri pun shock saat ia melihat seluruh desa yang sudah hangus terbakar.

Jidante melangkahkan kakinya pelan mendekati Glorva, namun saat baru selangkah, Glorva malah langsung berlari mendekati desanya yang sudah hangus tanpa sisa, hanya kayu kayu gosong yang masih tersisa.

Glorva berlari sambil menangis menuju rumahnya sambil terus berharap bahwa apa yang ia lihat tidaklah nyata,

"IBU!! AYAAHH" Teriaknya sambil berlari, air matanya terus berjauthan tanpa henti, hingga ia sampai di depan rumahnya yang juga sudah habis terbakar.

Seluruh badannya bergetar, tangisnya semakin keras, "MEVIIIINN!!" Teriak Glorva sekencang kencangnya, ia kemudian terjatuh dan bersimpuh karna tak kuat menahan tubuhnya yang melemas.

...----------------...

Saat senja mulai datang, kediaman Duke George tengah dipenuhi oleh keramaian dan suka cita, Deus mengadakan perayaan yang sangat besar untuk menyambut kehamilan istrinya yang sudah menginjak usia 3 bulan, semua tamu hadir termasuk Ratu dan Putra Mahkota sebagai perwakilan dari keluarga kerajaan.

Eirla yang akhir akhir ini semakin dekat dengan Nean juga datang ke pesta tersebut bersama keluarganya, dan saat ini, ia tengah duduk berdua dengan Nean di halaman belakang yang jauh dari keramaian.

"Kau pasti khawatir" Ujar Eirla yang memecah keheningan.

Nean menoleh, "Maksudmu?" Tanyanya.

Eirla menghembuskan nafasnya, "Tidak, aku hanya asal bicara" Jawabnya yang membuat Nean memasang muka jengkel, tentu saja hal itu membuat Eirla tertawa puas.

Semenjak berteman dengan Eirla, Nean memang lebih jarang merasa kesepian karna hampir setiap hari Eirla datang mengunjunginya.

Walaupun pamannya telah memperkenalkannya sebagai pewaris George di depan publik, perlakuan yang didapatkan Nean di rumahnya sama sekali tidak berubah, para pelayan dan penjaga masih mengabaikannya seolah olah ia tak pernah ada, istri pamannya yang sudah menjadi bibinya juga tak pernah menegurnya, paling hanya menyindirnya sebagai bocah sial yang tak berguna.

Hari ini Nean benar benar merasa sangat gelisah, ia takut anak pamannya yang akan lahir bisa menjadi ancaman untuknya.

"Kalian berdua sedang apa" Sapa seseorang yang membuyarkan lamunan Nean.

"Yang mulia?! Sedang apa anda disini?" Kaget Eirla, ia nampak tersenyum senang dan berlari menghampiri Wivon.

Nean nampak asing dengan pria yang terlihat seperti seumurannya, "Siapa" Tanya nya singkat yang membuat Eirla melotot, berbeda dengan Wivon yang terkekeh.

"Nean! Kau sangat tidak sopan, dia adalah putra mahkota" Tegur Eirla, lalu ia kembali menghampiri Nean, Eirla menaruh tangannya di atas kepala Nean dan mendorongnya dengan paksa hingga Nean menundukkan kepalanya, setelah itu ia juga ikut menundukan kepalanya, "Salam kepada putra mahkota, maaf atas ketidaksopanan kami yang mulia" Ujarnya yang juga mewakili Nean.

Wivon berjalan mendekat sambil tertawa, "Hahaha, tidak perlu terlalu formal seperti itu ditempat yang sepi ini, lagi pula kita seumuran" Ujarnya, "Dan Eirla, apakah kau akan menaruh tanganmu dikepala pewaris George seperti itu? Bukankah itu juga tidak sopan?" Tegurnya dengan nada yang ramah, membuat Eirla tersadar dengan tindakannya.

Eirla buru buru memindahkan tangannya, "Astaga, aku sungguh minta maaf yang mulia" Ujarnya lagi, sedangkan Nean mengusap kepalanya sambil mendecih.

"Bukankah kau seharusnya meminta maaf padaku?" Kesal Nean, ia menatap tidak suka ke arah Wivon.

"Apa hubungan Eirla dengan putra mahkota?" Batin Nean sambil terus menatap tajam Wivon.

Wivon terkekeh, "Dia benar, kau harusnya meminta maaf kepadanya, sikapmu selalu seperti itu" Jawab Wivon dengan kekehannya.

"Ah iya, aku minta maaf Nean" Ujar Eirla menggaruk tengkuknya, "Tapi kenapa yang mulia kesini?" Tanyanya lagi.

Wivon kemudian mendekati Nean, "Tentu saja untuk menyapa pewaris George" Jawabnya, lalu ia menyodorkan tangan kanannya, "Salam kenal, aku adalah Wivon Delarus, senang mengetahui fakta bahwa kau seumuran denganku" Sapanya ramah.

"Tidak usah basa basi, kau sudah mengenalku, dan beberapa menit yang lalu juga aku sudah mengenalmu" Ketus Nean yang mengabaikan jabatan tangan dari Wivon.

"Nean kau sangat tidak sopan pada seseorang yang mempunyai status lebih tinggi darimu" Bisik Eirla memperingati, namun Nean mengabaikannya.

Wivon menarik tangannya kembali, ia masih tetap tersenyum, "Kau benar, aku menyukai sifatmu yang begitu" Ujarnya, "Aku baru pertama kali datang kesini, dan aku berniat untuk mengelilingi kediaman George, maukah kalian menemaniku?" Tawar Wivon sambil terus menatap Nean menunggu jawaban.

"Tentu saja, kami akan menemani anda berkeliling, kan Nean" Jawab Eirla sambil menyenggol Nean.

"Aku mohon jangan membuang kesempatan ini, sebagai tuan rumah juga kau harus menemani tamu yang datang" Bisik Eirla memperingati.

Nean menghela nafasnya kasar, "Hanya sebentar, aku tidak mau membuang waktu" Jawabnya, lalu berjalan mendahului Wivon, tentu saja Wivon merasa senang, ia kemudian berlari dan menyamakan langkahnya dengan Nean, begitu juga dengan Eirla yang berjalan disamping Wivon.

"Sudah lama kau tidak datang ke istana, apakah karna kau datang bermain kesini?" Tanya Wivon pada Eirla.

"Ah iya, lain waktu saya akan mengunjungi istana untuk menemui yang mulia lagi" Jawabnya tersipu malu. Dulu dia memang sering mengikuti ayahnya ke dalam istana untuk mengurus pekerjaan, sambil menunggu ayahnya, Eirla akan bermain bersama putra mahkota.

"Aku akan menunggu, akan lebih bagus jika Nean ikut berkunjung, kita akan bermain bersama" Ujar Wivon sambil melirik Nean yang berjalan disampingnya.

"Aku bukan anak kecil yang punya waktu untuk bermain main seperti itu" Ketusnya, namun hanya dibalas kekehan oleh Wivon.

"Ah maafkan sikapnya yang seperti itu, dia hanya belum terbiasa bersosialisasi" Ujar Eirla, sedangkan Nean masih terus melangkah dalam diam.

"Sepertinya kau sangat mengenalnya" Sahut Wivon.

"Tentu saja, aku selalu memperhatikan semua temanku, itu karna aku ingin mengenal mereka lebih jauh" Jawab Eirla ceria.

"Apakah kau menganggap aku temanmu?"

"Tentu saja, aku selalu memperhatikan yang mulia"

"Seorang teman tidak akan memanggil temannya dengan sebutan yang mulia"

"Kalau begitu apakah aku boleh memanggilmu dengan namamu?"

"Ya, itu yang aku inginkan"

"Kalau begitu, aku akan memanggilmu Wivon mulai sekarang" Semangat Eirla.

Nean menghentikan langkahnya, keberadaannya seperti menganggu dua orang yang tengah asik berbincang. Melihat Nean yang berhenti, Wivon dan Eirla juga ikut berhenti sambil menatap Nean dengan penuh tanya.

"Sepertinya Eirla sudah tau area sekitar sini karna dia sering berkunjung, kalian bisa berkeliling berdua tanpa aku, aku akan pergi karna ada urusan" Ujar Nean, lalu beranjak pergi meninggalkan keduanya, Eirla dan Wivon hanya bisa menatap kepergian Nean tanpa bisa mencegahnya.

Nean memutuskan untuk pergi ke rooftop karna disana sudah pasti tak ada yang mendatanginya selain dirinya.

"Aku kira Eirla hanya berteman denganku" Batin Nean tanpa sadar.

Setibanya di rooftop, ia menatap langit gelap yang dipenuhi oleh bintang, lagi lagi rasa sesak didadanya muncul.

Nean tak pernah mempercayai siapapun, itu karna lingkungan hidupnya yang membuat dirinya menjadi sosok yang seperti itu, kini ia mulai mempercayai Eirla dan menganggapnya sebagai teman, tapi untuk Wivon, dia masih ragu.

"Orang pertama yang membuatku percaya dengan manusia adalah seorang bocah yang tidak aku ketahui namanya" Lirih Nean yang masih mengingat pertemuannya 3 tahun yang lalu dengan seorang perempuan aneh.

"Gadis yupi? Itu karna nama makanan aneh yang dia berikan adalah yupi" Lanjutnya, ia memberi panggilan sendiri pada anak yang tidak ia ketahui namanya itu.

"Waktu aku kesana dan mengikuti arah saat dia pergi, aku menemukan sebuah desa yang sudah hangus terbakar" Batinnya, "Aku gagal menemuinya" Lanjut Nean sambil terus menatap langit, entah mengapa hatinya tiba tiba merasa kosong, rasa rindu yang sudah lama ia coba untuk lupakan kini muncul lagi.

"Bocah yupi itu, apakah dia baik baik saja?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!