Esok harinya, karena hari Minggu, giliran Ara di rumah menjaga Aizhe. Sementara kelima kakak laki-lakinya, seperti biasa, pergi pagi-pagi mencari nafkah dengan menjual susu botolan kepada para tetangga di apartemen yang sama.
Mereka tak hanya membeli susu, tetapi juga sering meminta bantuan Axel, Nathan, Zee, Chloe, dan Arzqa untuk mengerjakan pekerjaan rumah: mencuci piring dan baju, menyapu, mengepel, dan bahkan merawat bayi. Itulah yang selalu dilakukan kelima anak itu, banting tulang demi bertahan hidup dan mengumpulkan biaya operasi mata Ibu mereka.
Meski hanya terkumpul lima puluh ribu rupiah per hari, jumlah itu sudah cukup untuk membeli kebutuhan pokok selama tiga hari. Makan nasi dan lauk seadanya pun sudah cukup memenuhi isi perut mereka.
Sambil menunggu kelima jagoan Aizhe pulang, Ara terkejut saat Aizhe tiba-tiba perlahan duduk di sebelahnya dan mengajak putri kecilnya bicara.
"Ara, lagi mengerjakan apa, sayang?" tanya Aizhe. Ara menunduk, diam, dan menatap tas sekolahnya yang rusak.
"Ara, kenapa diam, sayang? Ara tidak mau bicara sama Mommy ya?" Aizhe mengulurkan tangan, mencari kepala Ara untuk dibelai, tetapi gadis itu bergeser sedikit dan mengelak.
"Hm, kenapa Ara menjauh? Ara lagi marah sama Mommy?" tanya Aizhe, merasakan putrinya sedang bersedih. Ara meremas kedua tangannya, menahan gemuruh di hatinya, dan mencoba untuk tidak bicara. Namun, melihat wajah Aizhe yang sedih, Ara tak tahan membendung air matanya. Ia maju menyerbu ke pelukan Aizhe dan menangis pilu.
"Mommy, Ala sayang Mommy," ungkap Ara memeluk erat. Aizhe memegang wajah Ara kemudian mencium kepalanya.
"Ya sayang, Mommy juga sayang sama Ara. Maaf ya, kalau Mommy tidak bisa memberikan apa-apa pada ulang tahun kalian kemarin," lirih Aizhe dengan suara bergetar. Ia merasa bersalah pada putrinya yang menurut orang-orang memiliki kelainan, tidak seperti kelima anaknya yang terlahir sehat tanpa kekurangan fisik.
Memang terlihat, mata Ara yang aneh. Mata kanan berwarna hitam, sedangkan mata kiri berwarna biru. Karena itu, hanya Ara satu-satunya yang memiliki mata biru di dalam keluarganya. Memang aneh, tetapi bagi Aizhe, Ara adalah putri paling imut dan unik dalam hidupnya.
"Sekarang, Ara sudah tenang?" tanya Aizhe.
"Hm, sudah, Mommy!" jawab Ara antusias dan tersenyum. Aizhe menghela napas lega, kemudian menarik Ara untuk duduk di pangkuannya.
"Oh ya, Mommy boleh tanya sesuatu?"
"Boleh, Mommy mawu tahu apa?" tanya Ara sambil bersandar di dada empuk ibunya dan merasakan rambutnya disisir dengan lembut.
"Bagaimana sekolah, Ara? Apakah di sana Ara sudah punya teman baru?" tanya Aizhe tidak sabar mendengar cerita putrinya tentang sekolah.
Jangankan punya teman, Ara sendiri takut bicara pada teman kelasnya.
"Kenapa diam lagi, sayang?" Aizhe mulai cemas tak mendengar suara Ara. Tiba-tiba Ara berbalik badan dan memeluk Aizhe. Aizhe pun kaget merasakan Ara kembali sesenggukan.
"Mommy, Ala ndak mawu sekolah. Ala mawu di lumah jaga Mommy," lirihnya memohon.
"Kenapa? Apa yang membuat Ara tiba-tiba begitu? Bukannya Minggu lalu Ara ingin sekali masuk sekolah, kan? Kenapa sekarang tidak mau, sayang?" tanya Aizhe menyentuh dan menghapus air mata Ara.
Ara meraih kedua tangan ibunya, dan memohon, "Ara ndak bisa telus ke sana. Sekallang tas Ala sudah lusak, tellus teman-teman di sekolah ndak ada yang mawu main sama Ala, melleka telus bilang kalau Ala anak halam dan punya Ibu yang cacat, Mommy," jawabnya jujur.
Aizhe terdiam sesaat, syok mengetahui putrinya ditindas di sekolah. Kali ini bukan tangis Ara yang terdengar lagi, tetapi emosi Aizhe yang meluap.
"Mommy, kenapa? Apa Ala sudah salah bicalla?" tanya Ara khawatir dan panik melihat air mata ibunya berjatuhan. Aizhe sangat terguncang; penderitaannya benar-benar berlanjut kepada anak-anaknya.
"Mommy! Mommy!" Ara kaget melihat ibunya pingsan. Gadis kecil itu segera lari keluar, mencari kelima kakaknya. Saat hendak membuka pintu, secara kebetulan Axel, Chloe, Nathan, Zee, dan Arzqa telah pulang sore itu.
"Hei, Ara. Lihatlah, aku dapat tas baru dari tetangga baik, sekarang kamu bisa—" ucap Axel terdiam, begitu pun yang lainnya kaget melihat Ara panik dan menangis.
"Kakak, Mommy! Mommy pingsan, Kakak!"
"Apa?" Mereka berlima bergegas masuk dan benar saja, Aizhe tak sadarkan diri. "MOMMY!" pekik mereka, semuanya panik. Axel, Chloe, dan Nathan membawa bantal dan kasur dari kamar, membaringkan ibu mereka. Sementara Arzqa menenangkan Ara, dan Zee keluar mencari bantuan. Beruntung ada tetangga baik yang mau mendengarkan permohonan Zee, dan segera menelepon dokter untuk datang memeriksa kondisi Aizhe.
Ting Tong.
"Arzqa, coba buka pintunya, Nak," suruh tetangga itu yang duduk di samping Ara. Tak hanya menelepon dokter, tetangga baiknya juga datang melihat kondisi anak-anak Aizhe.
"Selamat datang, Dokter," sambut Arzqa dengan ramah. Ia mendongak dan diam sejenak memandangi dokter itu yang cukup tinggi, tampan, dan bermata biru.
"Terima kasih," balas Dokter itu tersenyum ramah.
"Oh ya, apa benar ini alamat Nona Aizhe?" tanyanya.
"Be-benar, ini rumah Mommy kita," jawab Arzqa membuat Dokter itu terkejut dalam hati. Ia merasa tak percaya, karena dari informasi tetangga Aizhe, pasiennya masih muda berumur 22 tahun, tetapi rupanya sudah memiliki anak berumur sekitar lima tahun dan fasih berbicara. Bahkan, "Kita?" Itu artinya anaknya lebih dari satu!
"Kalau begitu, boleh Dokter masuk melihat Mommy kalian?" tanya Dokter.
"Silakan, tolong periksa sampai Mommy sembuh!" pinta Arzqa.
"Baiklah. Kamu tenang saja, itu memang tugas Dokter. Kamu tidak perlu khawatir dan terus berdoa demi kesembuhan Mommy kalian." Dokter menepuk pelan kepala Arzqa kemudian masuk. Begitu terkejutnya ia setelah melihat wajah pasiennya, Dokter itu terkesima dengan paras cantik Aizhe. Bagaikan berlian yang sengaja disembunyikan. Ia pun juga kagum melihat ada lima anak laki-laki tampan di sampingnya. Kecuali ia tidak melihat Ara, karena gadis itu sedang berada di dalam kamar, takut dengan yang namanya Dokter.
"Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya sang tetangga.
"Nona Aizhe mengalami depresi berat. Ini cukup bahaya kalau dia terus-menerus seperti ini, kemungkinan bisa menyerang kejiwaannya. Saran dari saya, bawa dia periksa sesekali ke rumah sakit. Saya selalu ada di sana dan pasti akan bersedia meluangkan waktu untuknya."
"Terima kasih, Dok. Kapan-kapan, kalau ada waktu," ucap tetangga itu dan melihat kelima anak kembar di sampingnya menunduk lesu. Mereka sedih karena belum ada biaya untuk membawa ibu mereka periksa ke rumah sakit.
"Baiklah, kalau begitu, saya pergi dulu, masih ada sesuatu yang perlu saya kerjakan hari ini. Dan untuk kalian, tak perlu cemas, ibu kalian akan segera siuman. Nih, Om Dokter berikan obat gratis untuk meringankannya."
"Terima kasih, Dok!" Kata mereka berlima senang.
"Yosh, sampai jumpa." Dokter membelai kepala Axel. Kemudian keluar. Belum ada dua langkah, tiba-tiba seseorang menghubunginya.
"Heii, bajingan! Ke mana kau sekarang? Kenapa tak sampai juga? Kau memang mau Nenek mati sekarang hari ini? Cepat, ke sini!" marah pria yang berada di seberang telepon.
"Mohon maaf, Tuan Muda. Hari ini ada keadaan darurat jadi—"
"Ck, tak usah banyak alasan! Hidup Nenek saya lebih berharga daripada nyawa pasienmu yang lain!" kata orang itu lagi dengan sombong.
"Baik-baik, saya akan segera ke sana."
Tuutt…
"Buset dah, galak amat jadi manusia! Memang benar kata orang, hanya dia Presdir paling galak, cerewet, dan tidak berperikemanusiaan di kota ini!" Dokter mengembuskan napas panjang, kemudian bergegas ke kediaman Ericsson.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Julia Juliawati
apa kelima anak itu hasil perkosaan? klo iya biadab x laki-laki perkosa cwek yg g bisa melihat 😭😭😭
2025-05-21
0
Suky Anjalina
lanjut
2024-01-30
0
Clara Safitri
keren thor..semoga novel tamat
2024-01-05
0