Jam delapan malam, anak-anak telah tertidur pulas. Mereka tak bisa begadang sebab esok hari harus bekerja lebih awal lagi. Di tengah keheningan dan dinginnya apartemen sempit itu, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu begitu keras. Aizhe yang terbangun mencari tongkat, pergi mengecek siapa itu. Seketika, setelah membuka pintu, Aizhe langsung menerima cemoohan pedas dari pemilik tanah apartemennya.
"Hei, wanita jalang, kau tahu, pajak kamar apartemen ini beberapa bulan ini sudah sangat menunggak! Sini, berikan uang kalian! Kalau tidak, malam ini juga kau dan anak-anak haram kau itu harus pergi dari sini!"
Aizhe meremas tongkat, sakit dan perih mendengar caciannya. Andai saja Aizhe bisa melihat, dia sudah menampar mulut sombong dan tak berhati itu.
"Mohon maaf, Pak. Apartemen ini sudah dibeli lunas oleh Nenek saya dulu, dan orang-orang yang tinggal di sini juga tahu kalau Anda sudah tak punya hak menagih kepada kami. Tolong berhenti, dan pergilah dari sini," ujar Aizhe lantang mengusir.
"Akhh!" Aizhe menjerit tatkala pria gendut itu menarik rambutnya.
"Lepaskan, Pak! Sakit!" Aizhe meronta dan melawan, tetapi karena buta, dia hanya bisa memukul udara.
"Dasar wanita cacat tak tahu diri, Nenek peyot itu sudah mati, dan kau tak punya hak menghuni apartemen ini. Tapi,"
"Tapi, kalau kau mau pergi bersama saya dan tidur bersama saya malam ini, saya berikan kesempatan untuk kalian tinggal di sini selama setengah tahun, gimana?" godanya yang ternyata datang dengan niat busuk.
Plak!
Satu tamparan cukup menjawab mulut menjijikkannya. Aizhe segera menutup pintu sebelum pemilik tanah tersebut berdiri menghajarnya.
"Jalang berengsek! Mulai sekarang, kau dan anak-anakmu tak akan bisa tenang hidup di apartemen ini. Kalau sampai anak-anak itu muncul, saya berjanji akan langsung menggilingnya." Pria cabul tersebut pergi dari sana.
Aizhe berupaya mengontrol napasnya yang sesak. Ia jatuh di dekat pintu dan menangis ketakutan. Kini, pikirannya penuh dengan nasib anak-anaknya yang pasti akan lebih menderita lagi.
Dengan langkah terhuyung, Aizhe menuju meja. Ia mencari dan meraba bingkai foto yang Aizhe kira terdapat foto Neneknya, namun bingkai itu hanyalah kertas kosong.
"Nenek, Aizhe sudah tidak tahan lagi…"
"Setiap anak-anak pulang kerja, hatiku sangat sakit. Mereka masih kecil, seharusnya mereka hidup enak seperti anak yang lain. Tapi karena aku buta, mereka sekarang memilih mencari nafkah sendiri. Aku juga sudah berusaha mencari kerja, tapi mereka menolak karena kekuranganku." Ia terisak di depan meja memeluk bingkai di dadanya.
"Nek, apa aku boleh menyerah?" Aizhe memejamkan mata, menahan erangan tangisnya dan napasnya.
"Nek, aku harus berbuat apa? Aku lemah, buta, tidak punya apa-apa lagi, dan hanya menyusahkan enam anakku. Apakah aku boleh ikut Nenek? Lalu titipkan mereka ke orang lain?"
"Mereka sudah besar, pintar cari uang, kalau bersamaku, aku hanya akan membebani mereka." Aizhe meracau menepuk dadanya. Tak sadar, di depannya telah berdiri Axel dan keempat adiknya, kecuali Ara. Anak-anaknya menahan isak tangis melihat kondisi Aizhe yang lelah dan menyedihkan.
"Mommy……" panggil mereka berbarengan. Aizhe tersentak, secepatnya menghapus air matanya. Ia berdiri mengambil napas sejenak.
"Axel, kenapa kalian belum tidur?" Bukan jawaban, tetapi pelukan dan permohonan dari mereka. "Mommy, jangan tinggalkan kami." Air mata mereka berlinang malam ini. Aizhe memeluk mereka menenangkan kelima anaknya. Sedangkan Ara, gadis itu tidaklah tidur, ia berdiri di dekat tembok menunduk sedih. Kini yang terbesit di dalam hatinya adalah sosok sang Ayah.
"Daddy, Inalla butuh Daddy." Ia berharap mendapat ayah yang baik untuk melindungi dan menyayangi Aizhe, dan kelima kakak kembarnya.
Pagi telah tiba dengan sinar matahari yang cerah, terbit indah dari timur. Seperti biasa, lima kembar Aizhe bersiap untuk bekerja. Dengan modal Arzqa yang cerdas dalam bisnis kecil-kecilan, mereka siap menjual susu botolan kepada tetangganya. Namun, setelah membuka pintu, Axel kaget melihat di depan pintunya ada kotoran sapi.
"Hei, Axel, kenapa berhenti?" tanya Chloe.
"Lihat, ada kotoran sapi. Kalian tahu, siapa yang menaruhnya?" tanya Axel menunjuk. Chloe dan tiga adiknya mencubit hidung, tak tahan mencium bau yang menjijikkan.
"Ihh, pasti ini perbuatan orang bodoh itu!" Arzqa menggerutu, tahu perbuatan ini adalah si pemilik tanah apartemen yang meresahkan.
"Sekarang, siapa yang mau mengurusnya?" tanya Nathan.
"Ihh, jangan aku!" sentak Zee melihat mereka menatapnya.
"Baiklah. Biar aku saja. Kalian pergi duluan." Axel mengambil balok, lalu dengan ujung baloknya, ia mendorong kotoran itu ke pinggir lantai menjatuhkannya ke bawah.
Plak!
Suara kotorannya terdengar mendarat dengan sempurna. Axel dan empat adiknya maju menengok ke bawah. Mereka kaget melihat kepala pemilik apartemen penuh kotoran sapi, tampak marah-marah di sana. Baru saja berbuat jahat, ia sudah mendapat karma pagi ini.
"Hahaha…. rasakan!" Tawa mereka berlima mengejek.
"Woi, kalian! Beraninya pada saya!" teriaknya menunjuk membuang sekopnya ke tanah. Tapi, mereka semakin terbahak-bahak, segera kabur.
"Hei, Pak! Apa yang terjadi?" tanya seorang penghuni lain, mundur ke belakang setelah mencium bau tubuhnya yang menjijikkan.
"Ck, pakai nanya!" Kesal, pria itu mendorong pergi membersihkan kepala serta wajahnya.
"Ya ampun, memang patut dibalas tai sapi, sifatnya lebih buruk dari binatang. Kalau saja dia bukan anak dari pemilik apartemen ini, aku juga sudah memberinya pelajaran." Penghuni kamar lain yang kecewa, berlalu pergi.
"Hei, Tor! Bagaimana keadaan Nenek?" tanya sang Tuan muda tak sengaja berpapasan dengan Dokter pribadinya kemarin, bernama Victor Pochettino.
"Tenang saja, Nyonya Arita hanya kelelahan," jawab Victor kepada Arzen Neo Ericsson, seorang Presdir Muda yang mengatur perusahaan Entertainment terbesar setelah Presdir Arita pensiun, akibat umurnya yang telah lanjut usia dan lemah.
"Arzen, kau tidak ke kantor?" sahut seorang wanita glamor datang menghampiri dua pria muda tampan tersebut.
"Mama, Arzen pergi kok, cuma hari ini masuknya tengah siang saja." Arzen dengan sopan menjawabnya, bernama Katherine Jenkins yang menikah dengan Ericsson, putra tunggal Arita. Ia tetap hidup mewah di dalam keluarga kaya raya itu meskipun Ericsson telah tiada.
"Oh, kalau begitu, sebelum ke kantor, Arzen jangan lupa ke studio Erina dulu ya, Nak." Katherine memohon.
"Ck, apa sih, Ma? Erina itu sudah besar, tak perlu dijenguk. Buang-buang waktu." Arzen menolak, masuk ke dalam kamar Nyonya Arita.
Katherine membuang napas kasar, tak habis pikir Arzen masih menolak mendekati Erina.
"Padahal Erina sudah cantik, kaya, terkenal, artis, dan ideal. Apa coba yang kurang dari wanita itu?" keluh Katherine ingin menjadikan Erina calon menantu untuknya. Dokter hanya bisa diam melihatnya mengeluh sepanjang hari.
"Pagi, Nek." Arzen menyapa Nyonya Arita mencium tangannya yang keriput. Nenek kesayangan Arzen memiliki pupil mata biru indah menawan. Sedangkan Katherine dan Ericsson, berwarna hitam pekat yang cantik berkarisma, sepertinya.
"Arzen…" lirih Nyonya Arita.
"Ya, Nek. Apa?" tanya Arzen mengupas kulit apel.
"Kapan kau menikah, Nak?" Kulit apel yang dikupas Arzen langsung jatuh ke piring. Pertanyaan Nyonya Arita selalu saja sama setiap hari, itu membuat Arzen kurang nyaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Suky Anjalina
anak yg pertama siapa Thor
2024-01-30
0