"Nek, aku sebenarnya mau menikah, tapi karena Nenek lagi sakit, mendingan fokus kesembuhan Nenek dulu. Lagian, masih banyak ratusan stok wanita di luar sana yang bisa aku ajak nikah kapan saja," tutur Arzen tersenyum. Nyonya Arita geleng-geleng kepala. Setiap hari, jawabannya juga selalu sama.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kau ajak satu wanita ke rumah ini? Siapa tahu Nenek bisa sembuh melihat calon istri pilihanmu." Nyonya Arita akhirnya berhasil menjebak Arzen dengan permohonannya.
"Ha? Nenek, serius suruh Arzen bawa wanita? Serius, Nek?" tanya Arzen setengah terkejut. Ia tahu, dulu wanita berkuasa di rumah itu tak pernah sekali pun meminta wanita lain mendatangi rumahnya.
"Yah, habisnya, Nenek merasa kesepian, ibumu itu tidak pernah asyik kalau diajak bercanda. Bicaranya selalu serius." Nyonya Arita beralasan Katherine yang cuek.
'Yaelah, wanita tua itu malah asal tuduh. Padahal dia yang selama ini tak sudi bicara denganku! Cih, munafik!' gerutu Katherine di luar kamar menguping pembicaraan mereka.
"Bagaimana, Arzen sudah siapkan wanitanya?" Nyonya Arita menatap pewarisnya itu seksama. Arzen tampak gugup dan bingung. Arita cemas, perusahaan dan kekayaannya tak diwariskan ke keturunannya di masa depan.
"Ohhh soal itu, gampang kok, Nek! Hahaha… siapa coba yang akan menolak? Mereka di luar sana pasti akan bertekuk lutut dan mengemis untuk dinikahi oleh cucu pemegang saham NEO."
Nyonya Arita tertawa geli melihat sifat sombongnya menurun ke Arzen.
"Sudah, jangan banyak bicara. Pergi bawa wanita itu."
"Yaelah, Nenek! Belum juga ada satu jam, aku sudah diusir," ketus Arzen cemberut.
"Oh, terus mau apa? Mau tunggu Nenek minta rotan terus pukul—"
"Hehe, baiklah Yang Mulia. Anda tak perlu marah, permisi." Arzen mengundurkan diri, keluar dari kamar. Ia membiarkan pembantu menemani Nyonya Arita.
"Mah," panggil Arzen mendekati Katherine yang pura-pura memukul cicak di atas tembok.
"Hm, kenapa?" tanya Katherine.
"Victor mana?" Ternyata Arzen mencari Dokter pribadinya.
"Barusan pergi ke rumah sakit," jawab Katherine jujur.
"Hais, aku sudah membayarnya cukup mahal, tapi masih keluar melayani pasien lain. Memang tak tahu diuntung!" kesal Arzen. Mau bagaimana lagi, Nyonya Arita tak pernah melarang Victor melayani pasien lain.
"Hm, kau mau pergi ke mana?" tanya Katherine melihat Arzen mengambil kunci mobil.
"Ke kantor dong, Mama. Coba lihat, sudah pukul 12 siang. Aku punya meeting penting hari ini. Dah, Ma." Arzen pamit, pergi ke kantornya.
"Ishhh, langsung pergi gitu aja. Nyebelin banget deh!" gerutu Katherine tak bisa memaksa Arzen lagi ke studio Erina.
"Ara, kamu di mana, sayang? Mari, ikut makan sama Mommy."
Aizhe masuk mencari Ara di dalam kamar. Hari ini, putrinya itu tampak pulang lebih awal dari sekolah. Tapi yang sebenarnya, Ara tak masuk hari ini karena bersembunyi di warung dekat sekolah.
Aizhe meraba tempat tidur, mengira Ara mungkin sedang tidur siang, tetapi yang Aizhe dapatkan beberapa lembar uang di bawah bantal dan beberapa biji permen.
"Hm, uang siapa ini?" Seingat Aizhe, uang hasil jerih payah anak-anaknya selalu tersimpan baik dalam kaleng bekas susu.
Aizhe sontak menoleh saat pintu kamar digeser. Terlihat Ara berdiri mematung di sana melihat di tangan Ibunya ada uang miliknya.
"Ara, ini uang siapa, sayang?" tanya Aizhe tahu itu Ara.
"Ara, jawab Mommy!" desak Aizhe maju. Ara mendekat mencoba merebut uangnya tetapi Aizhe segera menaikkan tangannya ke atas.
"Ara, tidak mencuri, sayang?"
Ara tersentak kaget, menggeleng cepat, tapi percuma, Aizhe tak bisa melihatnya. "Ara! Jawab, Mommy!" bentak Aizhe merasa kecewa.
Ara menunduk menangis, mencoba menjelaskan pada Aizhe. "Mommy jangan mallah dulu, uang itu Ala dapat dali sekolah," isaknya.
Aizhe mengatup mulutnya, terkejut. Ia segera berjongkok di depan Ara.
"Kenapa Ara bisa dapat uang? Ara tidak belajar di sekolah?" tanya Aizhe baik-baik memeluk putrinya.
"Tidak. Ala pellgi jualan, bukan menculi, maafkan Ala, Mommy." Hampir saja Aizhe hancur jika Ara benar sudah berbuat demikian.
"Ya sudah, maafkan Mommy juga ya sayang," ucap Aizhe mencium tangan Ara. Ia terkejut merasakan kulit tangan yang biasanya lembut itu telah berubah sedikit kasar.
"Dan tolong, Ara jangan jualan. Di sekolah harus belajar, bukan cari uang." Aizhe menasihati Ara baik-baik.
"Mengellti, Mommy." Angguk Ara pelan.
"Baiklah, sekarang kita pergi makan dulu." Aizhe membawa Ara berjalan menggunakan tongkatnya.
Tiba di meja makan yang kecil, Aizhe duduk di depan Ara. Makan dengan tenang, namun lama-lama perasaan Aizhe mulai tidak enak tatkala Ara tak bersuara di depannya.
"Ara, kenapa diam? Ara tak suka bubur buatan Mommy?" tanya Aizhe.
Tetap saja hening.
"Ara, marah sama, Mommy?"
"...."
"Ara." Aizhe segera berdiri. Seketika gelas plastik di tangannya jatuh setelah tangannya menyentuh wajah Ara yang dingin dan pucat.
"Ara, kamu kenapa, sayang? Ara, bangun, Nak?!" Aizhe yang dilanda kepanikan segera mencari pergelangan tangan, merasakan denyut nadi Ara yang lemah.
"Ya Tuhan, Ara!" Aizhe menggendongnya, berjalan cepat mencari tembok, meraba pintu rumah. Ia berusaha meski berulang kali terjatuh dan kepalanya menabrak dinding. Ia tak peduli darah yang mengalir di dahinya, yang jelas nyawa Ara lebih penting sekarang.
"Buk, tolong! Tolong saya! Tolong saya, Buk!" panggil Aizhe mengetuk pintu apartemen tetangganya.
"Ya Tuhan, apa yang sudah terjadi?" Tetangga itu syok melihat darah Aizhe berlumuran di baju Ara.
"Buk, to-tolong putri saya, tiba-tiba dia tidak bergerak." Mohon Aizhe, menangis di depannya.
"Baiklah, saya bawa kalian ke rumah sakit!"
"Pak! Cepat ke sini! Aizhe dan putrinya butuh bantuan kita!" panggilnya ke dalam. "Yah, baik Bu." Sahut suaminya, segera membawa mereka berdua. Kecuali istrinya di rumah menunggu kembar lima pulang.
Tiba di rumah sakit, Aizhe tak sengaja kehilangan putrinya. "Araaa! Di mana kamu, sayang?!!!" Hal ini membuat orang-orang merasa risih dan juga iba mendengar Aizhe berteriak panik di lorong-lorong rumah sakit.
Gara-gara Dokter ikut membalut kepalanya, Aizhe terpisah dari Ara. Dokter mengatakan Ara mengalami sedikit keracunan akibat mengonsumsi permen yang sudah kedaluwarsa. Tapi beruntung Ara bisa ditangani dengan cepat.
"Nak Aizhe!" panggil tetangganya menghampiri.
"Pa-pak, di mana putri saya?" tanya Aizhe panik.
"Kamu tenang saja, Nak. Putri kamu sudah bapak bawa ke mobil, beserta kantong infusnya. Sekarang mari bapak bawa kalian pulang," jawabnya tak bisa berlama-lama di rumah sakit karena biaya yang cukup mahal.
"Syukurlah, mari, Pak." Aizhe dituntun keluar, nyaris berpapasan dengan Victor yang memakai jubah operasi. Tetapi, saat mereka tiba di mobil, Ara hilang lagi.
"Pak, kenapa diam?" tanya Aizhe cemas.
"Nak Aizhe, maaf, Ara tidak ada di dalam mobil."
"Apa? Ara tidak ada? Bapak pasti bohong, kan?" Aizhe membuka pintu, meraba-raba di kursi tengah, benar-benar tak ada putrinya.
"Nak Aizhe. Di sini saja dulu, biar bapak cari dia." Bapak itu bergegas menelusuri area parkiran. Namun, di dalam mobil orang lain tidak ada.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku katakan pada Aizhe?" Ia berdiri kebingungan, tak sadar sebuah mobil hitam mewah keluar dari parkiran. Di dalamnya, terdapat Ara yang sedang terlelap. Karena lelah mencari Ibunya, Ara masuk ke dalam mobil yang salah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Suky Anjalina
sedih banget bacanya
2024-01-30
0
Yuli Yanti
sedih thor bca nya😭😭
2023-06-30
1
Aulelie Aulelie
😭
2023-06-17
0