SEMBILAN.

Mobil terus melaju, aku hanya memandang pepohonan di samping jalan yang terlihat berjajar rapi seakan ingin menertawakan ku. Aku lalu membuang muka melihat ke arah depan lagi. Aku sempat melihat Juna melirik ku beberapa kali, tapi aku tak ingin bicara lagi padanya.

Mobil masih melaju meninggalkan hiruk pikuk kota di belakang kami, kalau aku tidak salah menebak , ini jalan menuju ke arah pegunungan. Tapi kenapa ia membawaku ke pegunungan dan malam - malam begini ? Ketika aku masih menebak-nebak mencoba menerka apa yang dipikirkannya , Juna berhasil mengalihkan perhatianku.

" Dingin?", tanyanya lembut. Aku menoleh ke arahnya yang masih fokus menyetir.

" Enggak, kita mau kemana ? ", tanyaku akhirnya.

" Nanti juga tau, ahh.. kalau dingin, di jok belakang ada jaketku, pakailah.. ", kata Juna.

Aku melihat kebelakang , ada jaket yang terlipat rapi. Disampingnya ada bekas bekas tas belanjaan yang berserakan. Sepertinya itu jaket baru.

" Kamu sengaja yaa ? ", tanyaku sambil menunjuk jaket itu.

" Sekali lihat kamu sudah mengetahuinya yaa.. , benar -benar hebat kamu Elena Wijaya", kata Juna girang .

Aku diam saja, anak kecil pun tahu jika baju yang masih ada label harga nya adalah baju baru.

Sungguh, Juna adalah orang yang sangat kekanakan.

Semakin mobil melaju naik, semakin dingin saja. Meski AC mobil sudah mati dari tadi, memang ini daerah gunung jadi wajar saja suhu naik seperti ini. Dress yang kupakai seakan - akan tak bisa menutupi suhu yang semakin dingin .

" Sebelum datang tadi aku membeli cincin di mall, lalu kepikiran ingin mengajak mu kemari. Lalu aku juga berinisiatif membelikan mu jaket, takut nya kamu akan kedinginan ", katanya lagi.

Lalu aku melihat kembali cincin di jariku, tak bisa dipercaya aku menerima pinangan pria ini. Rasanya aku masih saja ingin ini hanya sebuah mimpi.

" Kalau sudah berniat memberikan ini untukku, kenapa beli jaket pria.. dasar", kataku sambil mengambil jaket itu. Suhu dingin ini akhirnya mengalahkan ku.

" Hahah.. aku takut kau tidak menerima nya.. kan sayang.., jadi bisa kupakai sendiri nantinya", katanya.

" Dasar, aku jadi sangat meragukan keikhlasan mu", kataku yang membuat Juna hanya nyengir, tersirat kebahagian di wajahnya.

Aku memakai jaket yang memang nyata nyata kebesaran itu, dan benar kehangatan langsung menyelimuti ku. Mobil melaju semakin lambat, samar samar terlihat lampu rumah di kejauhan, ada sebuah villa berjejer. Di paling ujung ada rumah yang cukup besar dengan taman yang luas menghadap kota.

' Apa ini villa miliknya', tanyaku dalam hati.

" Iyaa.. ini villa keluarga Mulya, tapi orangtuaku jarang kesini, sudah seperti villa pribadiku" , kata Juna seakan tau apa yang ada di pikiranku.

Mobil berhenti di depan taman yang luas . Meski malam hari tapi tetap saja taman ini terlihat begitu indah dengan lampu temaram. Bunga-bunga nampak berjejer rapi bak lukisan.

Jarak taman ke villa itu cukup jauh, tapi Juna malah menghentikan mobilnya disini.

" Ayoo turun" , kata Juna.

Aku dengan ogah dan lesu turun dari mobil, berjalan jauh ke Villa membuatku malas. Juna masih menunggu di depan mobilnya.

" Semangat dong, jangan ogah-ogah gitu", sambungnya lagi.

" Apa mau digendong?", tanya nya.

" Ngapain kesini ? ", tanyaku datar.

Juna mendeket berjalan ke arahku. Tiba -tiba ia bisikkan sesuatu di telingaku.

" Kalau wanita diajak ke villa oleh lelaki, apa artinya? Coba pikir kan lah", Juna meringis tertawa dan berjalan meninggalkan ku di belakang.

' Kurang ajar ' , jeritku dalam diam.

Coba saja jika dia berani macam-macam padaku, aku tak akan membiarkan nya.

***

Bukannya masuk ke Villa, ia malah berjalan menuju gazebo di samping taman, Aku hanya mengikutinya dibelakang.

Dari sini kami bisa melihat pemandangan kota yang begitu indah. Aku bertanya dalam hati, apa yang benar benar ia inginkan sampai mengajakku kemari.

" Duduk sini, kita lihat ketenangan yang menyenangkan" , kata Juna. Aku duduk disampingnya dengan menjaga jarak yang cukup jauh.

" Maaf yaa sudah membuat mu bingung", ucap Juna.

Juna mengatakan dengan nada rendah, aku tau itu tulus. Tapi alasan yang aku ingin ketahui belum juga terjawab.

" Setelah kupikir pikir lagi, kita sebaiknya memang menikah ", lanjutnya.

" Nikah kontrak ? ", tanyaku.

Entah kenapa kata kata itu terucap begitu saja. Juna terkaget-kaget mendengar nya.

" Apa-apaan itu? Kita menikah beneran lah. Pernikahan itu sakral, jangan dibuat main main seperti itu", kata Juna.

" Tuan Juna masih mencintai mendiang istri, lalu menikah denganku untuk apa? Jangan bilang hanya demi keluarga dehh", kataku.

Juna tersenyum ke arahku. Tiba tiba ia menarik tanganku dan membuat aku duduk tepat disampingnya tanpa jarak, begitu dekat hanya dengan satu tarikan saja. Kini aku benar-benar merasa dia memang lelaki dewasa dan aku yang bocah

" Menikah tentu untuk punya anak", bisik Juna di telingaku. Tubuhku bergetar geli, merasakan bisikan Juna yang mendebarkan.

" Kenapa suka banget bisik bisik di telinga sih, ngomong aja langsung ", kataku.

Aku mencoba menggeser tubuh menjauh darinya. Sayangnya ia menahan ku cukup dengan satu tangannya saja agar tak bisa menggerakkan badan. Aku berhenti berusaha, pasrah duduk didekatnya seperti ini.

" Kamu menggemaskan sekali ", Juna tertawa.

" Jangan -jangan Kamu benar benar pedofil, menjauh dariku" , kataku.

" Kamu pikir umurku berapa, aku baru 32 tahun, lelaki dewasa yang matang ", Juna berkata dengan bangga

" Matang ? Menuju busuk kan ?" , kataku.

" Hahha, anak kecil sepertimu tau apa ? ", Juna terkekeh.

" Siapa yang kau bilang anak kecil , aku akan berumur dua puluh tahun yaa.. ", kataku.

" Ohh yaa? Siapp menikah dong", Juna berkata lagi.

" Isshh", aku membuang muka.

" Kamu pernah pacaran ?", kini wajah Juna serius.

" Belom", kataku.

Aku heran kenapa Juna mengajukan pertanyaan seperti itu.

" Bagus lah, Jadi aku yang pertama", Juna tersenyum puas.

Yaa.. aku memang belum pernah pacaran, mungkin inilah yang menyebabkan aku tidak bisa bergaul baik dengan laki-laki. Aku selalu menolak lelaki yang ingin mendekati ku, kala itu pacaran, percintaan atau hal - hal berbau asmara bukanlah prioritas ku.

Aku kembali mengingat masa mudaku yang penuh dengan kerja keras, belajar, bekerja , belajar , bekerja, sepertinya hanya itu yang ku lakukan. Jika dipikir pikir , aku merasa menyesal. Jika saja aku tahu akhirnya hanya akan di jodohkan, aku pasti akan menikmati masa mudaku dengan lebih leluasa.

Terdengar bunyi Guntur yang bergemuruh , pantas saja dari tadi aku sama sekali tidak melihat bintang, ternyata memang mendung. Langit sangat gelap jika dilihat dari atas sini.

Dan tiba-tiba tanpa aba-aba rintik hujan mulai turun. Juna beranjak menarik tanganku menuju dalam villa. Rintik hujan mulai berubah menjadi deras, kami terus saja berlari , tapi jarak gazebo dan pintu Villa yang cukup jauh memaksa kami untuk merasakan dinginnya hujan malam ini.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!