”Tuan muda. Saatnya makan.”
Sen berjalan memasuki kamar milik Gill. Di tangannya, terdapat senampan piring yang penuh dengan daging merah segar yang masih berlumuran dengan darah. Sudah lama sekali, Sen melayani seluruh anggota keluarga Arcrey. Dia akan melakukan apa saja bahkan untuk membunuh seseorang dan mengambil dagingnya untuk dijadikan santapan Tuannya.
Gill terlihat terduduk di atas tempat tidurnya sembari memandang keluar jendela. Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Biasanya Gill menjadi tidak bisa tidur saat dia tidak sengaja terbangun. Biasanya dia seperti ini karena lapar. Setiap malam tanpa bulan purnama, Sen melakukan pemburuan manusia. Dia mengincar orang-orang yang berkeliaran di malam hari. Biasanya, mereka adalah orang-orang yang akan melakukan kejahatan.
Sen berusaha untuk tidak menyiksa korbannya yaitu dengan cara memenggal kepalanya dengan pisau tajam dan gerakan yang harus cepat. Setelah korbannya terbunuh, dia mengambil beberapa dagingnya kemudian disajikan diatas piring untuk Tuannya.
”Hari ini, aku mendapatkan daging yang bagus.” Sen meletakkan piring sajinya di atas paha Gill yang masih terduduk.
Gill memandangi daging manusia yang tersaji di depannya. Dia terdiam selama beberapa saat seperti sedang memikirkan sesuatu. Tatapannya juga terlihat kosong meski tangannya bergerak untuk meraih garpu dan pisau yang diletakkan di atasnya.
”Ada apa Tuan muda? Anda tidak ingin memakannya?” tanya Sen yang mulai menyadari ekspresi suram Gill saat akan memakan makanannya.
”Adakah orang lain yang lebih menyayanginya selain Ayahnya?”
Pertanyaan Gill sempat membuat Sen merasa kebingungan. Apa yang dimaksud olehnya? Siapa yang sedang dibicarakan olehnya?
”Apakah Anda sedang membicarakan tentang penyerangan monster kemarin pagi? Atau soal anak laki-laki yang menentang masa depannya?”
Gill memakan dagingnya dan mengunyahnya perlahan. Beberapa saat setelah selesai menelannya, dia menjawab, ”Ya. Aku membicarakan anak itu. Masa depannya berubah. Mungkin, karena rasa sayang Ayahnya yang perlahan mulai ditujukkan. Orang itu mengatakan yang sebenarnya di masa lalu kemudian membubarkan mereka yang ingin memanfaatkannya.”
”Saya tidak terlalu mengerti apa yang Anda bicarakan. Mengapa seseorang bisa merubah masa depannya?”
Gill menatap Sen dengan tatapannya yang tajam. "... Karena masa lalunya. Seseorang tidak bisa terus melihat ke atas. Terkadang mereka juga harus melihat ke bawah. Yang aku maksud, belajar dari kesalahan mereka di masa lalu. Itu akan merubah masa depannya.”
”Ahh, begitu. Anda sepertinya tertarik dengan Tuan muda Leory. Apakah karena dia monster yang memiliki kemampuan istimewa?” Sen membedi jeda. ”... Ada sebuah buku yang menuliskan kalau darah dan daging milik spesies manusia sangat mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan luka. Tetapi, kenyataannya tidak begitu kan, Tuan muda?”
Gill berhenti menyantap makanannya dan pandangannya mulai mengarah ke arah jendela. ”... Itu adalah bukti sayang dari seorang Ayah untuk putranya. Dia sengaja melakukannya agar semua orang berhenti mengincar Putranya demi keuntungan mereka sendiri. Kenyataannya, tidak ada satupun yang istimewa dari seorang spesies manusia selain membunuh dan menghancurkan. Terkadang aku berpikir, kenapa makhluk seperti kami bisa diciptakan untuk menghancurkan manusia?”
...~o0o~...
”Hei! Ivonne! Beristirahatlah! Kau sudah cukup lama bekerja!” ucap Edmund sembari menghampiri Ivonne yang sedang menata kotak obat yang hendak di bawa olehnya.
”Kau masih berpikir aku ini lemah? Beristirahatlah sendiri! Jangan mengajak orang lain!” ketus Ivonne. Setelah dia pergi keluar ruangan dengan terburu-buru.
Saat ini tempat pengungsian masih sangat sibuk dan semakin ramai. Korban berjatuhan terus menerus datang menghampiri meminta untuk disembuhkan. Pekerja medis di sana sampai kewalahan mengurus pasien mereka sebanyak ini. Bahkan Ivonne sampai tidak tega untuk beristirahat meski hanya beberapa menit saja.
”Pekerja medis di sana! Cepat urus adikku! Dia sudah sangat kesakitan!” teriak seseorang di belakang Ivonne ketika dia sedang mengobati pasien yang lain.
”Suruh adikmu untuk bersabar sebentar. Di sini bukan hanya kau saja yang terluka!” ucap Ivonne tegas sambil terus mengobati pasiennya.
Jawaban itu jelas membuat laki-laki itu merasa marah. Wajah garangnya mulai terlihat ingin menyakiti. ”... Lambat sekali kau ini! Cepat urus adikku! Dia sudah menunggu di sini selama satu jam! Apakah kau tidak akan mengobatinya?! Sangat lambat!”
Ivonne tetap diam meski mulut laki-laki itu tidak juga berhenti mencibirnya. Dia tetap berfokus pada pasien patah tulang yang sedang dihadapinya. Hanya tinggal sedikit lagi dia selesai membungkus lukanya, kesabaran dari laki-laki itu kian menipis hingga akhirnya melakukan tindakan.
Tangannya berusaha menarik kerah belakang Ivonne agar dia bisa menyeretnya. Namun, tiba-tiba saja tangannya ini dihentikan oleh kedatangan Edmund yang langsung menahannya seolah memberi isyarat agar orang ini tidak menyentuhnya sedikitpun.
”Kami semua sedang berusaha di sini. Pantaskah kau mengatakan hal itu? Egois sekali. Apakah matamu buta? Tidak lihatkah ada banyak orang yang terluka di sini? Kami bahkan tidak pernah beristirahat dan bahkan rela tidak dibayar oleh kalian. Kalau kau tetap seperti ini, aku akan mengusirmu. Mudah bagiku untuk menghubungi kapten dari semua pasukan.” ucap Edmund sembari menatap mata laki-laki itu dengan dingin.
”Kalau begitu bekerjalah dengan cepat! Satu persatu teman kami mati karena kalian terlalu lambat! Nyawa kami semua terancam! Lagipula, apakah telinga kalian tuli?! Tidakkah kalian mendengar suara kesakitan orang-orang ini?!” teriak laki-laki hingga membuat pandangan seisi ruangan langsung tertuju padanya.
”Kalau begitu kau keluar dari sini! Carilah dokter sendiri! Jangan mengandalkan kami yang ada di sini!” balas teriak Edmund penuh amarah.
”Hentikan kalian berdua. Jangan membuang-buang waktu hanya untuk beradu argumen.” ucap Ivonne berdiri kembali sembari membawa alat alat medisnya.
Ivonne terlihat jauh lebih pucat dari sebelumnya. Ekspresinya terlihat lelah. Namun, dia tetap berusaha bergerak dan melakukan apa yang harusnya dilakukannya. Kebetulan sekali, Ivonne sudah melihat adik perempuan dari laki-laki yang berusaha memojokkannya. Dia segera berjalan mendekatinya dan mengobati seluruh lukanya.
Luka yang dialami adik perempuannya tampak tidak begitu parah. Tidak ada satupun tulang yang patah maupun bergeser. Dia hanya mengalami luka lecet pada bagian kaki dan lengannya. Ivonne hanya perlu membungkus lukanya dengan perban dan obat setelah itu selesai. Orang-orang dengan luka seperti ini biasanya hanya meminta diberikan perban dan obat selanjutnya mereka akan mengobati lukanya sendiri. Tidak seperti keluarga bangsawan ini yang meminta pelayanan lebih. Padahal, mereka tahu bahwa tempat ini adalah tempat pengungsian sementara.
”Aku sudah selesai. Lukanya tidak terlalu parah. Beberapa Minggu lagi, lukanya perlahan akan sembuh.” ucap Ivonne pelan setelah itu dia berjalan berbalik mengarah ke suatu tempat.
”Hei! Ivonne! Aku rasa sudah saatnya kau untuk beristirahat.” ucap Edmund berjalan menghampirinya.
Ivonne berhenti melangkah saat Edmund menghentikan kalimatnya. Dalam kesunyian itu, darah tiba-tiba menetes dari dalam hidung Ivonne. Darah yang begitu kental dan berwarna merah telah menodai lantai marmer berwarna putih. Perlahan, Ivonne menatap Edmund dengan matanya yang tampak berkaca-kaca penuh air mata.
Tidak sempat meneteskannya, tiba-tiba Ivonne jatuh dan mendarat di pelukan Edmund yang berdiri di sebelahnya. Edmund sangat terkejut melihat batasan yang Ivonne miliki. Dengan cepat, dia segera membawanya pergi menuju ruang peristirahatan yang lebih lega.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments