Turnamen Adu Sihir Nasional Ke-21 akan segera dimulai. Kita sudah sampai ke penghujung acara pembuka. Yang Mulia Paduka Kaisar Nusantara ke-12, Hilal Hasanuddin dari Mangkasara telah resmi membuka turnamen sihir paling bergengsi di negeri ini. Sorak sorai para penonton pun menggema di seantero Dukono Arena Jailolo ini.
Sebagai penutup seremoni, sang Kaisar merapalkan sebuah mantra sihir dan menembakannya pada sebuah lingkaran cahaya yang melayang tepat di atas arena tersebut.
“Mini Noktah”
TWINGG… sebuah cahaya kecil yang ditembakkan oleh sang Kaisar terbang ke segala arah sebelum melewati lingkaran itu. Sesuatu hal yang ajaib pun terjadi.
“Ini… ini…”
Anna tak mampu berkata banyak melihat sesuatu yang sangat menakjubkan itu muncul di depan matanya. Lingkaran biru itu bersinar dengan terang dan mengeluarkan dua buah cahaya ke arah yang saling berlawanan. Kedua cahaya itu pun berpecah menjadi kelipatan dua sampai enam belas, dan akhirnya membentuk persegi panjang yang bertuliskan sejumlah nama. Tepat setelah cahaya itu berhenti, sang pembawa acara kembali berbicara.
“Baiklah, inilah daftar 16 peserta Turnamen Adu Sihir Nasional Ke-21 di Dukono Arena Jailolo ini. Para peserta dari 5 akademi sihir di seluruh Nusantara ini akan saling berjuang untuk memperebutkan gelar juara,”
Tepat seperti apa yang dikatakan oleh sang pembawa acara. Itu adalah daftar para peserta yang akan saling bertarung untuk menjadi juara turnamen sihir paling bergengsi di negeri ini.
Sang tuan rumah Akademi Sihir Nasional Jailolo mengirimkan 6 peserta, yakni Riko, Dwi Septianto, Nikita Innes, Tama Aprilliana, Alita Chaniago, dan Anna Sahilatua.
“Apa? Alita juga ikut turnamen?”
Anna dan Licia bertanya-tanya tentang hal itu. Mereka tak menyangka gadis pendiam asal Pagaruyung itu juga menjadi peserta turnamen ini. Namun hal itu malah membuat mereka penasaran akan kemampuan sihirnya, apalagi Alita hampir tidak pernah terlihat berlatih ilmu sihir.
Selain Jailolo, sekolah sihir lain yang mengirimkan pesertanya adalah Akademi Sihir Nasional Tapanuli. Salah satu sekolah sihir tertua di wilayah barat Nusantara itu mengirimkan 4 peserta, yakni Henrick Sutiyoso, Michael Hutahaean, Ricardo Lumbantoruan, dan Rebecca Batubara.
Sekolah lain yang mengirimkan pesertanya dalam turnamen ini adalah Akademi Sihir Wilayah Pakuwon Mataram dengan hanya 2 peserta, yakni Tubagus Sila dan Ruri Yana. Akademi Sihir Wilayah Kawanua Minahasa juga terlihat hanya mengirimkan 2 peserta saja, yakni Emilia Gumansalangi dan Johannes Gultom. Hal yang sama juga dilakukan Akademi Sihir Nasional Saranjana yang hanya mengirimkan Budi Hirata dan Illya Halim saja dalam turnamen ini.
Tidak ada yang tahu pasti apa sebab ketiga sekolah sihir itu hanya mengirimkan dua peserta saja. Namun yang jelas bagan pertarungan para peserta sudah terlihat dan mereka harus bersiap untuk menghadapi lawannya. Anna sendiri akan berhadapan dengan Emilia Gumansalangi dari Kawanua dalam pertandingan kedua, sementara Dwi akan berhadapan dengan Henrick Sutiyoso dalam pertandingan ketiga.
“Yeah, aku harus berjuang untuk menang dan menyelesaikan semua masalah ini,” ujar Anna sambil mengepalkan tangannya.
Pertandingan pertama mempertemukan Tubagus Sila dari Pakuwon melawan Riko dari Jailolo. Keduanya sudah berada di tengah lapangan, saling berhadapan satu sama lainnya, Sang wasit pertandingan memperhatikan mereka dari tengah-tengah pinggir lapangan, hampir seperti dalam pertandingan bulu tangkis di mana wasit tidak masuk ke tengah arena. Ia terlihat sedang berbincang dengan sejumlah juri sebelum akhirnya mengangkat tangan tanda pertandingan akan segera dimulai.
“Lepaskan pelindung!!!” Teriak sang wasit.
Sebuah hal ajaib pun kembali terjadi. Arena pertarungan langsung tertutup oleh sihir pelindung transparan.
“Eh, tunggu. Apa maksudnya ini? Kenapa harus pakai pelindung segala?” tanya Anna kebingungan.
“Pastilah, Anna. Kau tidak mau terkena sihir nyasar kan? Itulah gunanya sihir pelindung,” jelas Licia.
“Oh… Iya juga ya,” Anna baru menyadarinya.
Tepat setelah pelindung itu tertutup sempurna, sang wasit kembali mengangkat tangannya. Ia menghitung mundur pertarungan. Baik Tubagus maupun Riko sudah siap berhadapan satu sama lainnya.
“Bersedia,”
“Siap,”
“MULAI!!!”
Sang wasit menurunkan tangannya pertanda pertandingan telah dimulai. Penonton yang melihatnya langsung bersorak kegirangan.
Tubagus dan Riko terlihat melompat mundur, saling menjauh satu sama lainnya, namun mereka melakukannya sambil merapalkan mantra.
“Mantra Cipta, Bara…”
BOMMM…. Sihir bola-bola api yang mereka ciptakan saling beradu, menghasilkan ledakan-ledakan dengan asap yang cukup tebal. Sebenarnya ini baru permulaan, tapi pertunjukkan itu begitu menghibur para penonton. Alhasil mereka pun semakin bersorak kegirangan.
Hal yang tidak jauh berbeda juga dirasakan oleh Anna dan Dwi. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya mereka melihat pertarungan sihir secara langsung di depan mata kepala mereka sendiri, terlebih lagi di dunia asal mereka hal ini tidak mungkin terjadi.
“Keren…”
Tak ada ucapan lain yang mampu diucapkan gadis berambut pirang itu saat melihat kedua penyihir muda itu saling menyerang satu sama lainnya dengan ilmu sihir. Namun di tengah pertarungan, ia baru menyadari sesuatu hal di pikirannya.
“Eh, tunggu dulu. Mereka bertarung pakai seragam akademi?”
Anna baru menyadarinya. Baik Tubagus maupun Riko, keduanya saling bertarung dengan seragam akademi kebanggaan mereka. Tubagus mengenakan seragam akademi berwarna coklat dengan corak batik, sementara Riko mengenakan seragam khas akademi Jailolo yang berwarna merah dan putih itu, sama seperti yang dipakai oleh Dwi dan Aldy.
“Mereka tidak pakai seragam khusus?” tanya Anna sambil menengok ke arah Licia.
“Eh, kau baru tahu, ya?” Ucap Licia.
“Aku kan baru pertama kali lihat turnamen ini, jadi aku tidak tahu,”
“Hadeh, ini pasti karena ulah Rott sial itu lagi,”
Licia terlihat menunjuk ke salah satu lengan bajunya. Kebetulan ia juga sedang mengenakan seragam.
“Seragam akademi sihir di seluruh Nusantara menggunakan kain Fatma sebagai bahan dasarnya. Ia berasal dari serat bunga melati Fatma yang hanya tumbuh di wilayah Nusantara ini. Tidak seperti melati lainnya, melati Fatma punya kemampuan perlindungan sihir karena ia dapat menyerap mana yang ada di alam,” jelas Licia.
“Menyerap mana?” gumam Anna.
“Iya. Dengan kemampuan khususnya, kain dari serat bunga ini bisa digunakan dalam setiap pertarungan sihir,” lanjut Licia sambil menarik kain lengannya.
“Hmm…”
“Kalau kau pergi ke Kontinen Veropa, kau pasti melihat kalau para penyihir di sana biasanya menggunakan semacam baju zirah untuk melindungi tubuhnya dalam bertarung. Sedangkan disini hanya perlu mengenakan seragam berbahan kain ini saja untuk bertarung. Makanya seragam ini istimewa banget, dan ini hanya eksklusif di wilayah Nusantara aja loh,” ujar Licia sambil mengacungkan telunjuk pada Anna.
“Oh begitu ya, keren juga sih,”
Anna memperhatikan seragam yang ia pakai, lalu dengan halus ia sedikit mencubit bagian lengan baju dan roknya.
“Dan yah, seragam ini juga menurutku cukup modis,”
Sambil memegangi seragamnya, ia nampak tersenyum. Sepertinya ia sudah mulai menyukai apa yang ia pakai itu. Namun hal itu ternyata dilihat oleh Dwi yang berada di sampingnya.
“Kan benar apa yang aku bilang, kau sudah menikmati wujudmu yang sekarang sebagai Joshi Kousei,” kata Dwi.
Mendengar hal itu, Anna langsung jengkel dan berbalik padanya.
“Bagaimana kalau kau diam aja, Dwi?”
BAMMM…. Perhatian keduanya yang sempat teralihkan itu kembali fokus pada pertarungan. Debu tebal mengepul di lokasi pertarungan itu. Hampir tidak ada yang bisa dilihat di lapangan tersebut. Namun tepat beberapa saat kemudian, Tubagus dan Riko melompat dari kepulan debu tersebut. Keduanya terlihat saling memegang senjata yang sepertinya terbuat dari sihir. Riko memegang sebuah pedang api besar, sementara Tubagus memegang dua buah pedang tanah dengan ukuran yang lebih kecil.
“HIYAAAA!!!!”
Riko mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menyerang Tubagus, sementara lelaki Pakuwon itu menahannya dengan kedua pedang tanah kecilnya.
“Berjuanglah Riko!!!” teriak salah satu siswi dari tribun atas. Sepertinya dia juga murid akademi Jailolo.
Mengeluarkan seluruh kemampuan pengendalian mana-nya, Riko berhasil mendorong Tubagus dengan pedang sihir api itu hingga menghujam lapangan dengan kerasnya. Terlihat sejumlah luka bakar di tangannya akibat serangan sihir hitam itu. Tak cukup sampai disitu, dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia melancarkan serangan pamungkas.
“TERIMALAH INI, HIYAAAA!!!!!!”
BAMMM… Riko menghunuskan pedang apinya pada Tubagus yang terlihat sudah tak berdaya itu. Hunusan sihir yang dahsyat itu melontarkan sejumlah api ke arah penonton di tribun. Namun untungnya dengan adanya perisai tidak membuat hal itu menjadi bahaya. Para penonton yang melihatnya dibuat terkesima, mereka tak bisa berkata apa-apa, terlebih lagi Anna dan Dwi yang baru pertama kali melihat hal seperti itu seumur hidup mereka. Kekhawatiran sebenarnya ada di benak mereka, takutnya serangan mengerikan itu malah membunuh sang penyihir Pakuwon itu. Tapi sepertinya tidak, cukup mustahil seorang penyihir membunuh penyihir lainnya dalam turnamen biasa, ini bukan Gladiator.
Gelombang api itu perlahan menghilang bersamaan dengan asap yang menyelimutinya.
“Sudah selesai,”
Riko berpikir bahwa ia sudah memenangkan pertandingan itu. Kemampuan sihir apinya itu tak bisa dipandang remeh. Namun ternyata ia salah, justru dirinya lah yang terlalu meremehkan lawannya itu.
“Apa?”
Tubuh Tubagus menghilang. Padahal tadi ia jelas-jelas ada dalam jarak serangan mematikan itu. Yang ada sekarang hanyalah sebuah lapangan kosong.
“Apa? Menghilang?” Anna terkejut.
Riko sudah membuat kesalahan, dan kedudukan pun berbalik dengan cepat. Batu-batu lapangan itu tiba-tiba melayang ke udara, menutupi seluruh tubuh Riko bagaikan magnet yang menarik benda-benda di sekitarnya. Lelaki itu kini tak bisa bergerak sedikitpun, ia terkurung di dalam bola batuan yang melayang itu.
“Uhh… Aku tidak bisa bergerak,”
“Wah, wah, sepertinya kondisi sudah mulai berbalik ya,”
Tak disangka-sangka, Tubagus Sila ternyata ada di belakangnya. Ia muncul dari gumpalan debu itu. Tangan kirinya ia arahkan pada Riko yang tengah terjebak itu, seolah-olah dirinya yang mengendalikan gumpalan tanah itu hingga melayang-layang di udara. Dan memang begitulah adanya.
Riko benar-benar tak bisa bergerak. Tubuhnya terkunci di dalam bola tanah itu. Beberapa murid bertanya-tanya, kenapa tak ada respon perlawanan dari Riko,. Hal ini pun dipikirkan oleh Licia.
“Tunggu, kenapa dia tak bisa bergerak sedikitpun? Harusnya kan dia bisa membebaskan diri dengan hentakan sihirnya,” ucap Licia kebingungan.
Mendengar hal itu, Aldy yang berada di sebelah mereka menjawabnya.
“Dia takkan bisa melakukannya,”
“Hah? Kenapa?” tanya Licia sambil menengok ke arah Aldy.
“Itu adalah sihir penyegel dari Helenia, Iptameni Balla,”
“Iptameni Balla?” Licia bingung karena baru pertama kali mendengar nama mantra itu.
“Sihir penyegel yang mengurung lawan di sebuah bola melayang. Penyihir yang terjebak dalam bola itu akan terkunci dan tidak bisa mengendalikan mana, baik dalam tubuhnya maupun mana yang ada di alam,” jelas Aldy.
“Oh, jadi karena itulah dia tak bisa melawan dengan sihir?” tanya Licia lagi. Aldy pun mengangguk.
Dari apa yang dikatakan ketua kelas Da itu, Riko tidak bisa menggunakan sihirnya untuk membebaskan diri karena dirinya sudah dikekang oleh sihir penyegel itu. Ia tak bisa mengendalikan mana untuk melawan. Sepertinya tak ada kesempatan baginya untuk memenangkan turnamen ini sekarang.
“Baiklah, kita akhiri disini,”
Tubagus memanggil sebuah pedang tanah dari tangan kanannya, lalu melompat dan melesat dengan cepat ke arah bola melayang itu.
TWINGG… Ia menghunuskan pedangnya sekali pada bola itu. Namun tepat saat ia melewatinya, bola melayang itu terlihat seperti terhunus puluhan kali oleh serangannya. Bola itu pun lalu pecah berkeping-keping dan Riko pun terhempas ke lapangan. Tubuhnya terlihat tak bergerak sedikitpun setelah itu. Bangku penonton nampak hening melihat peristiwa itu.
“D~Dia…”
Anna terlihat sangat panik melihat Riko yang sudah tak berdaya lagi. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Namun Aldy membantahnya.
“Tenang saja, dia hanya pingsan,”
Tubagus melepaskan pedang tanahnya. Benda itu pun ikut pecah berkeping-keping. Ia hanya menatap Riko yang terbaring di lapangan dengan tatapan biasa. Tak lama kemudian sang wasit berujar dengan suara keras.
“Baiklah. Pemenang pertandingan ini adalah Tubagus Sila dari Akademi Sihir Wilayah Pakuwon!!!”
Keheningan itu berubah menjadi sorak sorai dari para penonton. Pertandingan pertama ini sudah menentukan siapa jawaranya. Lelaki Pakuwon itu lanjut ke babak 8 besar.
Banyak dari para penonton yang kegirangan setelah melihat pertandingan sihir yang cukup sengit itu. Namun berbeda dengan Anna yang masih sedikit terkejut dengan apa yang terjadi, meskipun kini dirinya bisa sedikit bernapas lega,”
“Huff… Syukurlah. Aku pikir dia mati,” katanya sambil mengelus dada.
Tubagus berjalan meninggalkan lapangan, sementara Riko yang sudah tidak berdaya itu digotong oleh staf medis.
Pertandingan pertama telah usai. Kini tibalah saat yang ditunggu-tunggu, pertandingan kedua antara Anna Sahilatua dari Jailolo melawan Emilia Gumansalangi dari Kawanua.
“Baiklah, aku harus menang dalam pertandingan ini,”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Sari N
keren. bisa detail gitu tor 👍
2023-06-19
1