Seorang gadis berambut pirang panjang terlihat kebingungan di pinggir sungai. Ia terus memegang wajah dan bagian tubuh lainnya. Ada yang berubah dan ada yang ‘hilang’. Seharusnya ia tak berwujud seperti ini. Semuanya berubah seratus delapan puluh derajat.
“Lah, kok bisa? kenapa beta boleh jadi macam ini? Tunggu, suara beta? Apa yang terjadi?”
Alistair Sahilatua, seorang mahasiswa berambut pirang yang sedang menguji coba hasil penemuannya terlempar ke dunia antah berantah setelah terjatuh dari ruang waktu tak terhingga. Tak hanya dunianya saja yang berbeda, wujud fisiknya juga berubah. Kini ia lebih pendek 20 cm, dari awalnya 180 cm, kini hanya setinggi 160 cm. Dan yang lebih aneh lagi, tubuhnya juga berganti.
Bingung, itulah yang ada di benak pemuda, atau dalam kondisi sekarang, gadis itu. Tidak tahu siapa dia sekarang, apa yang terjadi, di mana dia, siapa yang harus ditemuinya, dan bagaimana cara keluar dari permasalahan itu.
“Bagaimana ini? Macam mana ini boleh terjadi?”
Akhirnya ia pun terpaksa berjalan menyusuri aliran sungai tersebut, berharap menemukan orang yang bisa membantunya, atau menemukan sesuatu yang menarik.
“Semoga di ujung sungai ini, beta temukan sesuatu yang boleh keluarkan beta dari sini.”
Sampai sekitar seratus meter jauhnya, ia akhirnya melihat sesuatu di balik semak-semak. Ia pun perlahan-lahan mendekati semak-semak itu. Karena ini merupakan sebuah dunia yang asing baginya, ia pun waspada akan sesuatu hal yang tidak terduga. Ia melihat sosok dari balik semak-semak itu.
Ternyata itu bukanlah ancaman, bahkan mungkin bisa dibilang sebuah keberuntungan. Terlihat seorang gadis yang seumuran dengannya terlihat sedang mencari rerumputan ataupun obat herbal. Gadis berambut coklat yang mengenakan kaos biru itu terlihat sedang mencabuti rerumputan. Ia pun menghela napas karena merasa sudah aman.
“Huh, syukurlah.”
Tetapi gadis itu menoleh ke arahnya dan terkejut. Ia pun berteriak dan menutup mata karena ketakutan.
“KYAAA!!!”
Tanpa diduga gadis tersebut mengarahkan tangannya pada Alistair dengan pose seperti mengarahkan pistol, dengan telunjuk dan jari tengah mengarah ke depan, sedangkan ketiga jari lainnya berada dalam posisi sebaliknya. Alistair terkejut, apalagi setelah ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.
Tepat di depan kedua jari yang mengarah ke depannya itu muncul bola cahaya kuning sebesar kelereng. Tampak seperti bersiap untuk menembak ke arahnya, dan ternyata itulah yang terjadi.
“Noktah!!” gadis itu mengucapkannya seperti merapalkan sebuah mantra.
Bola cahaya itu pun melesat dengan cepat dan tepat mengarah ke kepalanya. Ia tak punya waktu untuk menghindar.
“Tu-”
TAKK
Bola cahaya itu pun menghantam kepalanya dan membuatnya terjatuh. Rasasakitnya seperti ketapel karet yang mengenai dahimu.
“Aduh…, sakit…”
Gadis yang melontarkan bola cahaya itu perlahan membuka matanya. Ketakutannya berubah setelah ia baru mengetahui bahwa serangannya mengenai kepala orang lain. Ia pun menghampirinya.
“Eh… maaf. Aku tidak sengaja.”
Gadis itu pun menolongnya. Terlihat dahi Alistair memerah karena serangan itu.
“Kau tidak apa-apa?”
“Yah, beta baik-baik saja.”
“Beta?”
Gadis tersebut tampak kebingungan dengan kata itu. Alistair pun mengganti kalimatnya.
“Maksudku, aku baik-baik saja.”
Alistair pun masih bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya.
“Eh, tunggu. Dahimu memerah,” ujar gadis itu sambil mengangkat rambut Alistair dan melihat dahinya.
“Eh, tidak apa-apa. Hanya merah sedikit kok.”
“Tidak, ini tanggung jawabku. Aku harus segera mengobatimu.”
“Eh, tunggu…”
Gadis itu pun menarik tangan Alistair dan membawanya. Alistair pun menghentikannya.
“Sudah, tidak apa-apa. Aku tidak mau membuat kau repot dan mengganggu aktivitasmu. Tidak apa-apa kok.”
Gadis itu pun akhirnya menghentikan langkahnya dan berbalik.
“Huh, ya sudah kalau begitu,” ujarnya sambil berbalik dan menaruh tangannya di pinggangnya.
“Hehe, maafkan aku karena sudah membuatmu cemas,” kata Alistair sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.
“Aku juga, maafkan aku karena menyerangmu tiba-tiba.”
“Ngomong-ngomong ini dimana?” tanya Alistair.
“Sepertinya kau tersesat,” ujar gadis itu.
“Sepertinya…” Alistair masih kebingungan.
“Oh, ya sudah. Setelah ini ayo menginap saja di rumahku. Tidak apa, tidak usah sungkan. Kumohon,” ujar gadis itu dengan sedikit memaksa.
“Hmm… ya sudah baiklah, terima kasih. Maaf merepotkanmu.”
Alistair pun akhirnya mau menurutinya setelah gadis itu sedikit memaksa.
“Tidak masalah.”
“Oh iya, ngomong-ngomong aku belum tahu namamu siapa.”
Mereka berdua sempat lupa akan hal itu. Sang gadis itu pun memperkenalkan dirinya.
“Oh iya. Namaku Licia Salampessy. Salam kenal. Kalau kau siapa?” tanya balik gadis itu.
“Namaku Alistair Sa-”
Belum sempat ia melanjutkannya, Licia memotong perkataaannya.
“Alistair? Bukankah itu nama laki-laki?”
“Oh iya.”
Alistair sepertinya menyadari hal itu bahwa sesungguhnya nama ‘Alistair’ sendiri merupakan nama seorang laki-laki. Sedangkan di sini, dia adalah seorang perempuan. Selain itu, ini adalah dunia yang aneh di mana seorang gadis bisa melontarkan cahaya seperti batu lewat ketapel. Ia pun akhirnya menghela napas dan melanjutkannya dengan nama lain, dengan nada yang gugup.
“Namaku Anna Sahilatua. Sa-salam kenal juga.”
“Oh, Anna, ya? Nama yang cantik. Aku akan memanggilmu dengan nama itu saja. Tidak masalah ‘kan?” ucap Licia.
“Oh iya, tidak apa-apa. Hehehe…” ujarnya kepada Licia, padahal sebenarnya di dalam hatinya berbeda.
“Aduh, sial. Seharusnya beta ‘kan lelaki. Baiklah untuk kali ini biarkan saja. Semoga masalah ini cepat selesai dan beta boleh kembali pada wujud asli beta.”
Licia pun akhirnya kembali pada aktivitasnya, mencari rumput dan obat herbal. Kini ia dibantu oleh Alistair, atau sekarang dipanggil dengan nama Anna.
Tak terasa hari pun sudah sore dan Licia menyudahi aktivitasnya tersebut.
“Ayo ikut ke rumahku.”
“Umm..., baiklah,” Anna pun mengikutinya.
Ternyata jarak antara tempat itu dengan perkampungan penduduk tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 meter saja. Mereka pun akhirnya sampai di sana.
Itu adalah sebuah perkampungan kecil dengan gaya seperti perkampungan biasa, dengan halaman-halaman depan yang cukup luas dan dibatasi oleh pagar bebatuan pada setiap rumahnya. Dinding setiap rumah dicat oleh berbagai warna yang berbeda, dan hampir setiap rumah memiliki halaman belakang.
Akan tetapi perumahan ini sangatlah kecil, bahkan mungkin dapat dikatakan perumahan ini terdiri atas 1 RT saja karena hanya terdiri dari satu jajar rumah di sudut kiri dan kanan, tanpa ada belokan ataupun jalan lainnya. Penerangan jalan itu pun hanya terbuat dari lampu-lampu petromax yang digantungkan pada tiang-tiang kayu yang ditancapkan ke tanah.
Licia dan Annaberjalan memasuki perkampungan yang kecil itu. Tak jauh dari pintu masuk, terlihat rumah Licia yang tidak terlalu berbeda dengan rumah-rumah lainnya di perkampungan itu. Catnya berwarna biru muda dan kuning. Rumah ini pun memiliki halaman yang cukup luas dari arah depan, samping kiri, dan belakang.
“Bunda, aku pulang.”
Seorang wanita muda yang mengenakan t-shirts merah muda dan celana training keluar dari pintu. Rambut hitam panjangnya yang masih bersih dan berkilau menandakan bahwa ia masih sangat muda.
“Selamat datang Licia. Eh? Gadis itu siapa?” tanyanya.
“Dia anak yang tersesat di hutan, Bu. Dan sepertinya dia tak ingat apa-apa. Bolehkah dia menginap di sini?” tanya Licia balik.
“Tunggu, anak tersesat, hilang ingatan, jangan-jangan kau seorang Parachi?” kata ibu itu dengan ekspresi keheranan.
“Parachi?” Anna dan Licia kebingungan mendengar istilah itu.
“Penjelasannya panjang. Kita bahas di dalam saja,” ujar ibu itu.
Mereka berdua pun akhirnya dipersilakan masuk ke dalam rumah yang sederhana itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Sari N
apa itu?
2023-06-03
1