Sang ibu menyajikan sup dan teh hangat untuk mereka berdua. Kebetulan saja, pada malam hari itu kabut turun di perkampungan sehingga suhu udara menjadi sedikit lebih dingin.
Mereka bertiga pun berbincang di ruang makan. Di sini dan di ruangan lainnya, meskipun penerangannya menggunakan petromax, tetapi anehnya tingkat kecerahannya sama seperti lampu neon pada umumnya.
“Terima kasih karena telah memperbolehkan saya tinggal sementara disini, ibu…”
“Panggil saja Bunda Rara.”
“Oh iya, Bunda Rara. Terima kasih banyak,” ucap Anna.
“Anna, kenapa kau bisa tersesat di tengah hutan tadi? Bahkan kau tak ingat apa-apa sama sekali?” tanya Licia.
“Aku tidak tahu. Oh iya. Tadi kata Bunda Rara saya merupakan seorang Parachi. Ngomong-ngomong Parachi itu apa?” tanya Anna pada Bunda Rara.
“Parachi, singkatan dari ‘Parallel Childs’. Itu adalah sebutan antarbangsa bagi seorang anak yang disesatkan oleh Rott,” jawab Bunda Rara.
“Rott?” Anna kaget mendengar istilah yang asing tersebut.
“Oh, itu. Makhluk halus yang konon katanya suka menculik anak-anak itu ‘kan, Bunda?” Licia baru paham apa yang dimaksud oleh sang ibu.
“benar sekali.”
Anna hanya terdiam mendengarnya. Itu benar-benar sebuah dunia yang aneh. Bunda Rara pun melanjutkan penjelasannya.
“Konon katanya Rott tidak hanya menculik anak-anak dan menyembunyikannya sampai puluhan tahun. Para Rott juga bisa menghapus seluruh ingatan anak-anak yang diculiknya itu.”
“Oh begitu ya,” ujar Anna.
Rott, mungkin di dunia Anna biasa disebut Dedemit atau sejenisnya. Konon ia adalah makhluk halus yang suka menculik anak-anak yang keluar pada larut malam sendirian.
Di dunia nyata tempat Anna berasal, legenda tentang adanya makhluk halus yang suka menculik anak kecil hanyalah mitos yang selalu diceritakan oleh orang tua kepada anaknya agar mereka tidak berani keluar rumah sembarangan di malam hari. Tapi karena ini adalah dunia yang berbeda dengan tempat tinggal Anna, ia tidak mau banyak berspekulasi tentang mitos makhluk itu.
“Oh iya. Ngomong-ngomong sebenarnya di mana ini? Apa nama tempat ini? Dan juga…” Anna menghentikannya sejenak sambil menoleh ke arah Licia.
“Bola cahaya yang kau tembakkan ke arahku tadi, sebenarnya apa itu?”
“Aduh, sebenarnya sudah sejauh mana Rott mencuci otakmu itu, Anna? Baiklah akan kuceritakan dari awal dengan singkat.”
Licia berdiri dari kursinya dan mulai menjelaskan tentang semuanya dengan kedua tangan ditaruh di pinggangnya.
“Kita adalah umat manusia yang tinggal di Tierra Hyuma, planet ketiga di Tata Surya Helia, dengan bintang utamanya Solaris. Dan desa yang kita tempati ini adalah Desa Dara di Pulau Una, sebuah pulau kecil yang merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Moluccas di Kekaisaran Nusantara.”
“Apa? Tierra Hyuma? Kekaisaran Nusantara?”
Mendengar hal itu, Anna sadar bahwa ia sedang terlempar ke sebuah dunia lain yang disebut sebagai Tierra Hyuma. Dirinya terlepar ke sebuah wilayah yang mungkin cukup tepat disebut sebagai ‘Nusantara Alternatif’. Memang seperti ‘Nusantara’ di dunia nyata, tapi ini berbeda. Hukum-hukum alam maupun geografi sepertinya berbanding terbalik di sini.
Licia pun melanjutkan bicaranya. “Oh iya, dan bola cahaya yang aku tembakkan padamu tadi itu adalah salah satu jenis sihir. Selain sihir cahaya ada juga sihir kegelapan, sihir api, sihir angin, sihir-”
Bunda Rara menghentikannya.
“Sudah cukup, Licia. Kau membuatnya bingung,”
Anna pun terlihat sedikit melamun sampai menyadari bahwa Licia dan Bunda Rara memperhatikannya.
“Eh, anu… iya. Tadi sampai jenis-jenis sihir ‘kan?”
Pada awalnya Licia mau melanjutkan penjelasannya. Tetapi karena waktu sudah larut malam, akhirnya bunda Rara pun menyuruh mereka untuk beristirahat.
“Sudahlah, hari sudah malam. Kalian berdua bersihkan badan terlebih dahulu. Setelah itu kalian tidur. Oh iya, untuk Anna, kau bisa memakai pakaian tidur milik Licia.”
“Terima kasih banyak, Bunda Rara,” ujar Anna.
Sesuai dengan apa yang diucapkan Bunda Rara, Anna dan Licia pun mandi bersama untuk membersihkan tubuh mereka. Kamar mandi di sini terlihat sederhana, dengan luas yang tidak terlalu besar dengan dinding batu hitam. Alat-alat mandinya hampir sama seperti di Planet Bumi, namun komposisi herbalnya jauh lebih banyak.
Sambil duduk di sebuah bangku kayu, Licia membersihkan rambut Anna dengan sampo herbal. Tampak gadis itu terlihat cukup bahagia sambil bersenandung sebuah lagu.
Namun hal itu tak dirasakan oleh Anna. Dia hanya bisa tersipu malu saat Licia mengusap-usap rambut berbusanya.
“Eh, Anna. Kau kenapa?” tanya Licia.
“Eh tidak ada kok, hehe…”
Anna berusaha menjawabnya dengan santai sambil sedikit tertawa. Tetapi dalam lubuk hatinya tidak demikian. Ia begitu malu dan gugup. Tak mengherankan karena ini baru pertama kali dirinya mandi bersama gadis lain, tanpa sehelai kain pun, dengan tubuh yang ‘bukan dirinya’ seperti itu.
“Aduh, kenapa hal ini boleh terjadi pada beta sih?” ujarnya dalam hati.
Setelah membersihkan badan, mereka pun langsung bergegas ke kamar Licia untuk beristirahat. Anna meminjam pakaian tidur Licia, yakni sebuah baju lengan panjang dengan celana panjang berwarna putih bercorak bintik-bintik biru pada keduanya.
“Huh, syukurlah ini sudah berakhir,” ucap Anna kembali dalam hati.
Kamar Licia hampir sama seperti kamar rumah pada umumnya. Terlihat sebuah lemari kaca dekat pintu. Tempat tidurnya berwarna abu-abu dan merah dengan ukuran yang cukup besar, dan di depannya ada jendela yang langsung menghadap ke halaman depan. Mereka pun bergegas menuju tempat tidur.
“Hah, lelahnya, tapi asyik sih punya kawan baru, hehe…” ucap Licia sambil melompat ke tempat tidurnya.
“Haha, benar juga,” timbal Anna dengan sedikit senyuman. Ia pun naik ke tempat tidur tersebut.
Suasana hening di malam hari, ditambah Licia mematikan lampu di kamarnya tersebut menjadikannya semakin sejuk. Kedua gadis itu memandangi langit-langit berwarna putih polos yang tak terhias oleh barang apa pun. Mereka terdiam sejenak sebelum Anna bertanya sesuatu hal.
“Hei, Licia.”
“Iya, ada apa Anna?”
“Maaf kalo ini sedikit tidak sopan. Tapi aku tidak melihat ayahmu. Di mana beliau?” tanya Anna.
Licia pun terdiam sejenak. Anna yang melihat reaksinya sedikit panik.
“Eh, tunggu. Maaf. Bukan berarti aku kepo tentang hal itu tapi-”
Licia pun akhirnya menjawab pertanyaan tersebut.
“Sebenarnya, aku tidak pernah tahu siapa ayahku. Bahkan untuk melihat wajahnya saja aku belum pernah sekali pun.”
“Jangan-jangan ayahmu sudah…”
“Tidak, tidak. Bunda Rara pernah bilang ayahku masih hidup. Tetapi bunda berkata bahwa ayahku pergi merantau saat diriku masih bayi. Aku pun tak tahu di mana dia merantau. Aku juga tak tahu kapan ia akan kembali. Dan mungkin aku takkan sempat bertemu dengannya dalam waktu dekat,” jawab Licia.
Terlihat mata gadis berambut coklat itu berkaca-kaca. Anna yang melihat itu pun hanya bisa terdiam dengan rasa iba.
“Maaf karena menanyakan hal itu.”
“Eh, tidak, tidak. Bukan maksudnya begitu. Jadi begini,” Licia mengusap air matanya sebelum melanjutkan penjelasannya.
“Usiaku akan menginjak 17 tahun dalam 1 bulan ini. Dan sesuai dengan amanah ayah pada bunda, setelah usiaku mencukupi, aku diharuskan untuk menempuh pendidikan ke Kota Jailolo, di Akademi Sihir Nasional Jailolo. Di sana aku harus mengasah ilmu sihirku sebelum kembali ke sini dan bertemu dengan orang tuaku kembali.”
“Oh, aku paham. Kalo begitu aku ucapkan selamat ya.”
Licia pun membaringkan tubuhnya ke arah Anna hingga membuatnya kaget.
“Kau juga harus ikut, Anna.”
“Eh, kau bercanda?”
“Tidak, aku serius,” jawab Licia dengan tatapan tajam.
“Tapi, kenapa?” tanya Anna kebingungan.
“Aduh, dasar Rott sial,” Licia menghela napas.
“Jadi begini, kau seorang Parachi ‘kan? Di dalam aturan umat manusia di planet ini, jika sebuah keluarga menemukan seorang Parachi, maka mereka diwajibkan untuk mengurusnya sama persis seperti anak mereka sendiri, sampai sang Parachi itu kembali kepada keluarganya. Hal itu juga termasuk pendidikan dan hal lainnya. Jadi mau tidak mau kau juga harus bersekolah sama sepertiku,” Licia menjelaskan.
“Tunggu, bukannya itu bisa memberatkan Bunda Rara?” tanya Anna kembali.
“Haha, tidak mungkin seperti itu. Bunda Rara adalah pembudidaya tanaman handal bernilai ekonomis tinggi lho. Kau jangan meremehkan kemampuannya ya,” ucap Licia sambil tersenyum.
“Haha, tidak kok. Aku percaya,” kata Anna.
“Haha, sudahlah, ayo kita tidur. Besok aku akan mengajarimu ilmu sihir elemen dasar,” ucap Licia sambil membaringkan tubuhnya kembali.
Mereka pun berhenti bergumam. Lagi pula benar apa kata Licia tadi. Anna pun memandangi langit-langit dan perlahan menutup matanya.
“Benar-benar dunia yang aneh,” gumamnya.
Sesungguhnya ia masih bingung dengan apa yang sedang terjadi. Ia juga tengah memikirkan cara agar bisa keluar dari dunia paralel itu. Tetapi sebelum itu, ada hal yang sangat penting yang ia pikirkan.
“Tapi, di mana Dwiana?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments