“Perpustakaan Suci”
Frasa itu secara spontan langsung terucap dari bibir manis Anna. Dwi pun penasaran dengan apa yang diucapkannya.
“Perpustakaan Suci? Apa maksudmu?”
“Kau ingat siswa senior misterius berambut putih yang berpapasan dengan kita saat pulang dari perpustakaan dulu?”
“Iya, emang kenapa?”
“Aku bertemu dengannya lagi kemarin. Dan saat aku tanya perihal ‘Sang Penyelamat’ waktu itu, dia menyebutkan sesuatu hal tentang penjaga perpustakaan suci. Dan ia berkata bahwa diriku dan kau adalah ‘orang terpilih’ berdasarkan ucapan dari sang penjaga itu,” jelas Anna.
Mendengar hal itu, Dwi pun terkejut karena istilah-istilah itu sepertinya terkait satu sama lainnya, antara ‘ruang gaib’, ‘sang penyelamat’, dan ‘perpustakaan suci’. Anna pun menyimpulkan.
“Aku yakin, ruang gaib, perpustakaan suci, dan sang penyelamat itu saling terkait satu sama lainnya. Dan satu satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan mendatangi siswa senior berambut putih itu,”
“Benar juga, tapi bagaimana caranya? Ada sekitar 140 siswa senior di akademi ini, dan kita tidak tahu dimana kelas si rambut putih itu.” Dwi bingung.
“Ya mau bagaimana lagi, kita cek satu-satu ke kelas Da Ta Sa Wa La,” ujar Anna.
Mereka mengemasi barang mereka dari perpustakaan itu dan bergegas menuju blok kelas senior. Untuk mencapainya mereka harus pergi ke arah utara di beranda dengan sebuah patung di tengahnya.
Anna terlihat tergesa-gesa sehingga tidak sadar ia meninggalkan Dwi di belakangnya, dan Dwi berusaha mengejar Anna yang berjalan lebih kencang. Namun lagi-lagi, karena tidak hati-hati ia menabrak siswa lainnya hingga terjatuh tepat di dekat patung itu.
“Aduh, lagi-lagi,”
Namun sepertinya itu bukanlah kondisi yang baik baginya.
“Woy, apa-apaan kau menabrakku,hah?”
Anna pun perlahan menengok ke arah siswa itu, dan ternyata keberuntungan tidak berpihak padanya.
“Apa? kau?”
“oh, ternyata siswi junior ya?”
Ia adalah seorang siswa berbadan besar dengan pandangan yang mengerikan. Rambut hitam pendeknya seolah-olah menunjukkan bahwa ia adalah penguasa. Di belakangnya juga terlihat siswa-siswa yang memandang Anna dengan tatapan remeh.
“Boris, Gabes?”
Tepat sekali. Ia adalah Boris Gabes, siswa senior kelas Ta sekaligus pemimpin dari geng paling ditakuti di Akademi Sihir Nasional Jailolo, ‘The Death March’.
“Oh, sepertinya kau sudah tau namaku ya?” ucap Boris dengan angkuhnya.
Anna pun berusaha mengabaikannya.
“Maaf, tapi aku sedang bergegas hari ini. Aku tidak punya waktu untuk berurusan denganmu.”
Namun Boris menahannya.
“Hey, tunggu dulu, nona manis.”
Boris memegang kedua pundak Anna. Gadis itu berusaha memberontak, tetapi sepertinya sia-sia.
“Lepaskan aku, hey!!”
Mendengar hal itu, Boris pun mulai naik darah.
“AKU BILANG TUNGGU DULU!!!”
BRUKK, dengan kasarnya Boris mendorong Anna hingga terjatuh. Ternyata benar apa kata Licia, ia memang nekad, bahkan terhadap murid perempuan.
“Kau sebagai murid junior seharusnya tau tatakrama kepada kita sebagai seniormu. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang sedang kau lakukan sekarang, tapi karena kau sudah berani melanggar aturan kami, kau harus mendapatkan hukumannya. Sekarang berikan kami semua koin emasmu,” kata Boris.
“Heh, kau mau memalakku ya? Jangan harap kau bisa melakukannya ya. Meskipun kau senior sekalipun, aku takkan pernah tunduk padamu.” Anna melawannya, sama seperti apa yang biasa ia lakukan di dunia nyata.
Anak buah Boris yang mendengar hal itu pun marah karena ada yang berani menentang aturan mereka, tetapi Boris lebih dari itu. Ia benar-benar murka.
“APA KAU BILANG, DASAR JUNIOR SIAL!!!”
PAKK… Boris berusaha menampar Anna, tetapi dengan sigap Dwi menahannya.
“Dwi…?”
“Woy, apa yang kau lakukan?” tanya Boris.
“Hadeuh, dengan badan sebesar ini kau masih mau memukul seorang gadis? Dasar kau ini,” ujar Dwi.
“Dwi…”
Melihat hal itu, anak buah Boris pun semakin marah, namun Boris tersenyum dengan keangkuhannya.
“Hahaha… kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa, junior,” kata Boris sambil menatap mata Dwi.
“Aku tidak tahu siapa dirimu, tapi kalau kau bertindak lebih jauh lagi, aku tidak bisa membiarkanmu.”
Seolah menantangnya, Boris pun akhirnya bertindak.
“Oh, kau menantangku ya, HAH…”
BUK, BRAK…
“Uhuk…”
Tanpa diduga Boris menendang perut Dwi dengan kaki kirinya. Hantaman yang keras menyebabkan pegangan tangannya menjadi lepas. Disaat itulah Boris memukul wajah Dwi hingga terjatuh.
“DWI…” Anna teriak dan menghampirinya.
“Hahaha… baru menggunakan serangan fisik saja kau sudah tumbang, junior. Aku belum menggunakan sihirku lho…” ujar Boris dengan angkuhnya.
“Bos, bagaimana ini? Mereka sudah berani macam-macam dengan kita, apa kita harus memberi mereka pelajaran, bos?” tanya salah satu anak buahnya yang sudah terpancing emosi.
“Tidak, tidak. Sekarang giliranku untuk memberi pelajaran pada mereka. Hanya aku saja yang akan melakukannya,” Jawab Boris dengan senyuman jahatnya.
Mereka berdua benar-benar dalam bahaya. Boris berjalan mendekati mereka. Namun tiba-tiba ia dihalangi oleh seorang siswa lainnya.
“Hei, apa lagi ini? Apa yang kau lakukan?”
Anna dan Dwi melihatnya dengan perlahan, dari ujung sepatunya hingga semakin ke atas. Ia menggunakan seragam layaknya seorang siswa akademi ini. Perawakannya cukup tinggi, dan ia merupakan seorang senior. Dan ternyata dia adalah orang yang mereka cari, siswa senior misterius berambut putih.
“Kau?”
“Cukup sampai disini. Sepertinya kalian memang tidak punya malu ya, menghajar seorang murid junior seenak jidat kalian,” ujar siswa berambut putih itu.
Aneh sekali, para anak buah Boris menatapnya dengan sinis, namun tak ada satu pun yang berani mendekatinya. Sepertinya siswa misterius ini merupakan orang yang ditakuti oleh mereka. Tetapi sepertinya itu tidak berlaku untuk Boris.
“Heh, kau rupanya ya, ketua kelas Da yang sok keren itu. Kelasmu memang sok elit sekali ya dengan geng kami,”
“Hahaha, kelas kami memang elit bro, tidak seperti geng berandalmu yang sok galak di depan para junior. Pantas saja tidak ada yang mau masuk gengmu dari kelas kami. Sorry, tapi kami punya reputasi, menjaga image kami agar tidak seburuk geng payahmu itu.”
Ia malah tersenyum sambil memprovokasi mereka. Boris pun semakin marah.
“Tapi sepertinya aku tidak punya waktu untuk berdebat denganmu sekarang. Aku punya urusan yang penting dengan mereka berdua,” Lanjutnya sambil menatap Anna dan Dwi.
“HEH… APA YANG KAU…”
Belum selesai Boris berucap, siswa berambut putih itu mengangkat tangan kanannya dan merapalkan mantra.
“Mantra Cipta, Cahya, Teleport Solaria,”
WING… cahaya yang menyilaukan muncul dari tangannya. Saking silaunya tak ada yang bisa melihat dengan jelas, hingga cahaya itu pun perlahan menghilang bersama dengan dirinya, Anna, serta Dwi.
“Sial, mereka hilang,” ucap Boris kesal.
…
Sementara itu, Anna dan Dwi diteleport olehnya ke sebuah lorong bertangga.
“Dimana ini?” tanya Dwi.
“Ikut aku, kalian nanti bakal tau,” jawabnya dengan singkat.
“Oh iya, ngomong-ngomong terima kasih telah menyelamatkan kami.” kata Anna.
“Tidak usah berterima kasih. Aku melakukan ini bukan untuk menyelamatkan kalian, tapi untuk menunjukkan hal ini kepada kalian. Lagipula kalian memang mencariku kan?” ucapnya balik.
Semakin kebawah mereka berjalan menuruni tangga itu, namun siswa misterius itu belum berucap lagi.
“Oh iya, ngomong-ngomong kita mau kemana? Dan kau siapa?” tanya Anna penasaran.
“Nanti akan kujelaskan,” ia hanya menjawab demikian.
Tak terasa mereka pun sampai ke ujung anak tangga. Tepat di depan mereka ada sebuah pintu kayu bundar, seperti sebuah pintu masuk ke sebuah ruangan dalam rumah besar.
“Nah, kita sudah sampai,”
Siswa itu membuka pintunya dan menunjukkan sebuah hal yang ingin ia sampaikan pada Anna dan Dwi. Dan ternyata itu adalah hal yang tak terduga oleh mereka.
“Ini…”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments