Malam sebelum keberangkatan, Anna melihat Licia yang sedang berdiri di halaman belakang rumahnya. Ia terlihat ditemani oleh seseorang yang ternyata merupakan Bunda Rara. Terlihat wanita muda itu ingin menunjukkan sesuatu kepada Licia.
“Licia, tidak terasa kau sudah tumbuh dewasa sekarang. Sepertinya bunda akan merindukanmu saat kau merantau nanti,” ungkap Bunda Rara.
“Tidak perlu khawatir, bunda. Aku pasti bisa mengurus diriku sendiri. Lagipula, di akademi nanti semua hal pastinya telah ditanggung oleh para staf pengajar. Disana nanti aku akan ditempatkan di asrama bersama dengan para murid lainnya. Jadi bunda tenang saja,” jawab Licia menghibur ibunya.
“…”
Belum seucap kata terlontar dari mulut ibunya, Licia pun mengatakan sesuatu kembali.
“Bunda…”
“Iya, Licia?” tanya Bunda Rara.
“Sebenarnya, aku rindu ayah. Meskipun aku tidak ingat wajahnya, aku begitu merindukannya. Lantas kenapa ayah meninggalkan kita berdua disini? Kapan ia akan kembali?” tanya Licia balik.
“Sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat untuk menunjukkannya,” kata Bunda Rara.
Wanita itu pun lalu terlihat mengayun-ayunkan tangannya ke kiri dan ke kanan seperti sedang menaburkan benih tanaman. Tak lama setelah itu ia pun melafalkan sebuah mantra.
“Mantra Cipta, Bio, Memoria”
Ajaib, tanaman-tanaman di sekitar mereka tiba-tiba mengeluarkan cahaya hijau, lalu cahaya tersebut naik ke udara seperti sekumpulan kunang-kunang yang terbang. Mereka lantas berkumpul dan menghasilkan berbagai macam objek. Ini adalah salah satu teknik sihir tumbuhan yang dikuasai oleh Bunda Rara.
Perlahan cahaya hijau tersebut bergabung dan membentuk objek menyerupai manusia. Terlihat ada tiga orang manusia, seorang ayah, seorang ibu, dan sesosok bayi yang sepertinya baru lahir. Lalu terdengar suara dari cahaya-cahaya tersebut.
“Akhirnya anak kita sudah lahir, pah. Kita namai dia siapa?” tanya ibu tersebut. Jika didengar dari suaranya sepertinya ia adalah Bunda Rara.
“Aku pernah bermimpi yang sangat indah dimana aku dikaruniai seorang anak perempuan yang
sangat cantik, dan dia sangat ingin dipanggil Licia. Dan akhirnya impianku itu menjadi kenyataan. Oleh karenanya, aku ingin memberikannya nama Licia Salampessy. Semoga suatu saat nanti ia benar-benar tumbuh menjadi gadis yang cantik dan bijaksana,” ungkap pria itu.
Mendengar ucapan itu, Licia langsung mengetahui siapa sosok pria yang bersama ibunya dalam cahaya itu.
“Ayah?”
“Benar nak, dia adalah ayahmu, Viktor Salampessy. Dia adalah seorang ayah yang sangat baik hati dan penyayang,” jawab Bunda Rara.
Tidak terlalu jelas raut wajahnya, namun ia adalah sesosok pria tampan yang mengenakan kacamata.
Cahaya-cahaya itu pun terpecah lalu kembali bergabung membentuk sosok manusia kembali, seperti perpindahan scene dalam sebuah film.
“Aku harus melakukannya, Rara. Jika tidak, kita akan hidup jauh lebih menderita. Persediaan koin emas dan perak kita juga sebentar lagi habis. Aku harus melakukan hal yang lain untuk mengumpulkannya, untuk keluarga kecil kita,” ujar Viktor.
“Kau serius, pah? Kalau begitu kita akan terpisah jauh dalam waktu yang sangat lama. Lagipula, emangnya koin yang kukumpulkan dengan menjual tanaman tidak cukup?” Tanya Bunda Rara.
“untuk sekarang mungkin masih cukup, tetapi entah ke depannya, apalagi Licia akan tumbuh besar. Biaya tanggungannya pasti semakin besar pula. Lagipula kawanku di Selayar berjanji bahwa mereka akan membiayai hidup semua keluarga anggota mereka,” jawab Viktor.
Tidak terlalu jelas apa yang dikatakan oleh pria itu, tapi sepertinya ia bermaksud untuk merantau sebagai pelaut, dimana perusahaan akan membiayai semua keluarga anak buah kapal tersebut. Adapun alasan dirinya memilih untuk melaut karena sepertinya biaya hidup keluarga mereka hampir habis, dan tidak ada cara lain untuk mengatasi hal itu selain merantau ke tempat yang jauh.
Tanpa basa-basi lagi dengan pakaian rapi, pria itu pergi meninggalkan mereka berdua. Tetapi sebelum pergi terlihat bayi yang digendong oleh Bunda Rara memegang jari jemari Viktor seolah-olah tidak menginginkan ayahnya pergi. Melihat hal itu sang ayah langsung berbalik dan mencium kening bayi itu sambil berkata.
“Licia, tolong jaga ibu, nak. Jagalah ia selama ayah pergi. Entah kapan ayah kembali kesini, tapi sepertinya akan sangat lama sekali,” ujar Viktor.
“Ayah!!!” Licia yang melihat visual cahaya itu mulai menitikkan air mata.
“Rara, tolong besarkan Licia dengan baik. Dan setelah usianya sudah 17 tahun daftarkan dia ke Akademi Sihir Nasional di Jailolo. Aku ingin melihat Licia tumbuh sebagai gadis yang baik hati, cerdas, bijaksana, dan kuat,” ucap Viktor berpesan pada Bunda Rara.
Bunda Rara tidak mampu berkata apa-apa dan hanya bisa mengangguk saja. Viktor pun mencium kening istrinya tersebut dan mengusap air matanya. Ia pun berbalik dan pergi meninggalkan mereka berdua.
“Selamat tinggal, kuharap kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti,”
Kumpulan cahaya hijau itu pun mulai terpecah. Licia yang melihatnya pun tak kuasa menahan tangis.
“Ayah… Jangan pergi… Ayahhhh….”
Bunda Rara yang melihat hal itu pun langsung memeluknya dengan kasih sayang seorang ibu.
“Licia, kau dengar kan tadi kata ayahmu? Kau harus berjuang nak. Berjuanglah sampai menjadi seorang gadis yang baik hati, cerdas, bijaksana, dan kuat sesuai kata ayahmu tadi. Suatu saat nanti, jika kita ditakdirkan kembali untuk bertemu dengan ayah, ia pasti akan sangat bangga.” kata Bunda Rara menenangkan putrinya, meskipun terlihat air mata juga menetes dari matanya.
“Huaaaa…..!!!” Licia menangis keras di pelukan ibunya. Kini ia tahu fakta kehidupan di balik keluarganya tersebut. Namun disisi lain benar apa katanya, ia harus belajar dan berjuang demi masa depannya.
Sementara itu, Anna yang melihat mereka dari pintu belakang juga tak bisa berkata apa-apa. Dengan tangan kanan memegang kerah di bajunya, gadis itu juga terlihat meneteskan air mata. Sungguh malam yang mengharukan.
…
Solaris perlahan naik ke langit dan memancarkan sinarnya, pertanda hari baru telah dimulai. Namun kali ini bukan hanya itu. Ini adalah hari di mana Licia dan Anna pergi meninggalkan kediaman Bunda Rara untuk menempuh pendidikan di Akademi Sihir Nasional Jailolo. Setelah mengemasi barang mereka, keduanya pun berpamitan pada Bunda Rara.
“Kami pergi dulu, Bunda,”
“Jaga diri kalian,” Bunda Rara memeluk mereka berdua. Dengan dibekali beberapa pakaian dan peralatan, serta pohon bonsai pengirim koin mereka pun akhirnya pergi.
Anna dan Licia berjalan ke arah utara menuju pantai. Nantinya mereka akan dijemput menggunakan sebuah ‘kendaraan terban’. Sambil berjalan ke pantai utara, mereka pun berbincang-bincang.
“Oh iya, Licia. Ngomong-ngomong Akademi Sihir Nasional Jailolo itu seperti apa? Sepertinya itu adalah sekolah yang cukup besar,” tanya Anna.
“Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya memang begitu,” jawab Licia.
Tak terasa mereka pun sudah sampai di pantai utara. Pantai itu cukup indah, tetapi sangat sepi. Sepertinya hampir tidak ada orang yang tinggal disini.
“Eh, Licia, kendaraan yang akan menjemput kita dimana?” tanya Anna kembali.
“Hmm… Itu dia.” jawab Licia sambil menunjuk ke atas.
Terlihat sebuah kendaraan berbentuk kotak seperti minibus, namun dengan sayap buatan di kiri dan kanannya, serta dilengkapi dengan baling-baling yang cukup besar di bagian belakangnya. Kendaraan itu pun mendarat di bibir pantai. Anna yang melihatnya cukup keheranan. Ternyata penyihir disini tidak terbang menggunakan sapu ataupun sihir lainnya, namun dengan menggunakan kendaraan yang dimodifikasi.
“Itu ‘Layang’, kendaraan yang akan mengantarkan kita ke Jailolo.”
Mereka memasuki kendaraan tersebut. Pintu pun tertutup dan ia terbang meninggalkan pulau kecil itu. Bagian dalam kendaraan itu hampir sama seperti bus antar kota dengan kursi di sisi kiri dan kanannya. Terlihat ada beberapa orang dari usia muda hingga tua ada di dalam ‘Layang’ itu.
Tak terasa sudah 30 menit berlalu. Kendaraan itu menembus awan yang cukup tebal di langit. Namun kali ini sedikit menurun. Sebuah pengumuman pun terdengar di dalamnya.
“perhatian kepada para penumpang, sebentar lagi kita akan sampai di Kota Jailolo. Harap perhatikan barang bawaan anda, terima kasih”
Para penumpang terlihat mengemasi barang mereka. Sementara itu Anna terus memperhatikan pemandangan dari balik kaca. Ia penasaran bagaimana wujud Kota Jailolo di ‘Nusantara Alternatif’ ini, apakah sama seperti Jailolo di ‘dunia nyata’, atau lebih dari itu.
WUSH… Awan pun menghilang dan pemandangan pun terlihat sangat jelas. Dan ternyata berbeda dengan ekspektasi Anna. Gadis itu hampir tak bisa berkata apa-apa setelah melihat wujud dari kota tersebut.
“Ini…ini….”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments