Alistair Sahilatua dan Dwiana Septianti terjebak di sebuah jembatan hitam digital tanpa ujung akibat kesalahan pada teknologi portal mereka. Dan sialnya, jembatan hitam itu pun hancur dan menjatuhkan mereka ke ruang biru muda tak terbatas.
“DWIANAAA…”
“AALIIIII…”
Hembusan angin gravitasi pun mengempaskan dan melepaskan tangan mereka, hingga distorsi pun terjadi pada pandangan mereka dan membuat mereka tak sadarkan diri.
…
Suara ombak terdengar dengan jelas bersama dengan hembusan angin laut. Terdengar pula suara kayu yang sepertinya dari sebuah kapal yang bergerak kesana kemari.
“Woy…”
Terdengar suara seorang pria, namun masih sayup-sayup dalam kegelapan pandangan mata.
“Dimana aku?” ujarnya dalam hati.
“Woy, bangun…”
Suara pria itu terdengar lebih jelas untuk kali ini, tetapi pandangannya masih buram, hingga pria itu pun berteriak dengan keras.
“WOY… BANGUN!!!”
BRAKK… ia ditendang oleh pria itu hingga terjatuh. Akhirnya ia pun tersadar sedang berada di sebuah ruangan kapal kayu. Ia tak bisa bergerak karena tangan, kaki, dan mulutnya terikat. Di depannya terlihat seorang pria dengan pakaian compang-camping yang sepertinya merupakan seorang bajak laut.
“Kau sudah bangun ya, Boy?” ujar pria itu tepat di depan wajahnya.
“Boy? Apa maksudnya itu? Dia bicara padaku?” katanya dalam hati.
Awalnya ia kebingungan dengannya, namun setelah melihat ke bawah badannya ia kaget. Kata itu benar-benar ditujukan kepadanya.
“Lah, kok bisa? Diriku kok jadi begini?” ia kebingungan dalam hati.
Dwiana Septianti, seorang gadis Jawa sekaligus mahasiswi Institut Teknologi Ambon yang tergabung dalam sebuah proyek teknologi portal terlempar ke sebuah dunia lain. Dan yang lebih anehnya lagi, kini ia berubah menjadi seorang laki-laki berambut pendek. Namun sialnya, ia kini menjadi tawanan dari seorang bajak laut.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu sebelumnya, tapi karena kau telah menjadi tawanan kami, sebaiknya kau jangan macam-macam,” ujar pria itu sambil meninggalkannya.
“MMMMMM….” Ia tak bisa berkutik dalam kondisi seperti itu. Meminta tolong pun sepertinya tidak mungkin.
Sekitar satu hingga dua hari pun berlalu. Ia tidak diberi kesempatan untuk menghirup udara bebas dari ruangan itu, dari kursi itu, hingga pada suatu pagi kapal tersebut singgah di sebuah pantai. Pria itu pun kembali ke ruangan itu untuk menemuinya.
“Kita singgah di pantai, dan kau kuingatkan sekali lagi, jangan macam-macam,”
Awalnya ia tak mampu berbuat apa-apa, namun setelah mengetahui ikatan talinya telah longgar, ia pun menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.
HUPP… BRUKK… tepat saat kapal yang mereka tunggangi menyentuh bibir pantai, ia melompat, lalu mendorong pria bajak laut itu hingga terjatuh dan berusaha untuk kabur.
“DIA MELARIKAN DIRI, JANGAN BIARKAN DIA LOLOS!!!”
Ia berlari ke atas kapal. Disana sudah ada beberapa teman-teman pria itu yang berusaha menangkapnya, namun ia berhasil lolos. Dari bibir pantai, pemuda itu berlari ke arah hutan, namun masih dikejar oleh para bajak laut itu. Ia panik tanpa sadar hingga menabrak seseorang di depannya.
“Uh.. Maaf,”
Ia menabrak sesosok pria tua berambut putih panjang. Tatapan matanya yang tajam dan misterius itu membuatnya takut. Tapi entah kenapa dia seolah-olah menawarkan bantuan padanya.
Tak lama berselang, para bajak laut itu pun sampai di tempat itu.
“Kutemukan juga kau. Hei pria tua, serahkan pemuda itu pada kami atau kau akan berurusan dengan masalah,” ujar bajak laut itu memaksa.
Pria berambut putih panjang itu tidak menghiraukannya, malah melindungi pemuda itu agar tetap diam di belakangnya.
“Kalian yang menemukan seorang Parachi, tapi tak memperlakukannya dengan baik, kalian tidak berhak untuk menyentuhnya,” ujarnya.
Mendengar hal itu membuat sang pemimpin bajak laut itu marah.
“Hey, apa katamu, hah?”
“Dia sekarang milikku. Aku yang akan mengurusnya. Jadi sebaiknya kalian pergi dari sini,” kata pria berambut panjang itu.
“Cih, sepertinya kau memang ingin mencari masalah dengan kami, ya?”
SWING… para bajak laut itu mengarahkan telapak tangannya pada keduanya. Dan ajaib, muncul sebuah bola api dari telapak tangan mereka, tepat setelah mereka merapalkan sebuah mantra.
“Mantra Cipta, Bara…”
“Apa? Sihir?” pemuda itu terkejut melihatnya.
“Sekali lagi kuperingatkan kau, pria tua. Serahkan pemuda itu.” ujar sang ketua bajak laut.
“huff, terserah apa katamu,”
Pria berambut panjang itu juga melakukan hal yang sama. Sepertinya mereka akan mengadu sihir, dan memang itu yang terjadi.
“TERBAKARLAH MENJADI DEBU… BOLLA RENTAKA,”
WUSH… bola-bola api melesat ke arah pria tua itu, namun dirinya juga merapalkan sebuah mantra.
“Mantra Cipta, Intan…”
SRINGG… Ajaib. Pemuda berambut biru dan pria tua itu langsung terlindungi oleh kristal besar yang muncul secara magis.
“Apa, sihir kristal?”
“…Puspa Bajaya,” pria tua itu melanjutkan mantranya.
KRAK KRAK KRAK…. Kristal besar itu pun kemudian berubah menjadi ombak berbunga yang siap membekukan mereka. Para bajak laut itu pun panik dan berusaha, namun semuanya terlambat.
“AAAA…”
“BOS, LA…”
Seluruh bajak laut itu membeku di dalam kristal dan menyisakan sang ketua.
“Nah, kau sudah kuperingatkan. Jauhi pemuda ini.”
Tanpa basa-basi, sang ketua bajak laut pun melarikan diri meninggalkan mereka. Pemuda itu pun selamat.
“Huff, Syukurlah,”
Namun pria tua itu berbalik dan mengajaknya.
“Hai kau, Parachi. Ikutlah denganku,” ujarnya.
“Apa? Anda memanggil saya, tuan?”
“Jangan panggil tuan, panggil saja ayah, itupun jika kau mau,”
“Apa? Ayah?” Ia kebingungan dengan apa yang diucapkan pria tua itu. Kenapa ia ingin dipanggil sebagai ayah. Akhirnya ia pun menjelaskannya sedikit.
“Kau seorang Parachi kan? Anak yang hilang ingatan karena Rott? Sebagai pengingat saja, jikalau seseorang menemukan Parachi di dunia ini maka ia diwajibkan merawatnya sampai ia bertemu kembali dengan keluarga aslinya. Itu artinya kau akan menjadi anakku, setidaknya untuk sementara,”
Antara senang dan bingung dengan apa yang ia katakan, namun mau tidak mau ia pun menurutinya, setidaknya sampai ia mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
“Hmm… Baiklah, terima kasih tuan…” ia masih canggung jika memanggilnya dengan sebutan ayah.
“Sebastian Pakpahan, dan kau?”
“Dwia…uh…”
Mengingat ia sekarang adalah seorang lelaki, ia pun mengganti namanya.
“Dwi Septianto.”
“Dwi Septianto? Sepertinya kau seorang Parachi dari Java ya? Baiklah.”
Tuan Sebastian pun akhirnya menjadikan Dwi sebagai anak angkat sementaranya. Dan sebagai kewajibannya, ia menjelaskan semua hal tentang dunia ini, termasuk Tierra Hyuma, Kekaisaran Nusantara, dan ilmu sihir. Kebetulan, Tuan Sebastian merupakan salah satu staf pengajar di Akademi Sihir Nasional Jailolo dan lokasi kediaman mereka tidak terlalu jauh di sebelah utara kota itu.
Dalam ilmu sihir, Dwi sendiri menguasai elemen hitam, yakni Kegelapan, Tanah, dan Api. Dan seperti biasa pada umumnya ia diajari tahap-tahapan teknik sihirnya dari Noktah, Uziya, Rakieta, dan simulasi bertarung. Meskipun sama-sama mengalami kesulitan, tetapi Dwi cenderung lebih cepat dalam menguasai teknik-teknik sihir itu jika dibandingkan dengan Anna.
Kurang dari sebulan, Tuan Sebastian pun mendaftarkannya ke akademi dan melepaskannya karena ia merasa Dwi kini dapat mengurus dirinya sendiri, meskipun ia akan memantau perkembangannya terus-menerus.
“Dwi Septianto, anda terdaftar di Kelas Ha dan kamar asrama anda B-201. Silahkan masuk,”
“Baiklah, dengan ini aku melepaskanmu, namun aku akan terus memantau perkembanganmu. Dan semoga kita akan bertemu kembali di kelas Da nanti.”
Tuan Sebastian dan Dwi pun akhirnya berpisah sejak saat itu, dan kini ia telah resmi menjadi siswa kelas Ha Akademi Sihir Nasional Jailolo.
…
“Oh, jadi begitulah yang terjadi padamu, hmm...” ucap Anna.
“Sudah kubilang pasti kau tidak akan menyukainya,” timpal Dwi.
“Eh, siapa bilang? Aku tidak bilang begitu kok.” Anna membantah.
Tak terasa mereka sudah cukup lama di perpustakaan itu hingga bel pun berbunyi.
“Kepada para pengunjung, perpustakaan akan segera tutup. Dimohon untuk segera mengemasi barang bawaan anda, terima kasih.”
Karena keasyikan berbicara tentang masa lalu Dwi, mereka pun lupa akan tujuan mereka datang ke perpustakaan itu. Alhasil mereka pulang dengan tangan kosong untuk hari ini.
“Ah… Sial. Kita belum menemukan apa-apa,” ucap Anna dengan kesal.
Di kursi depan perpustakaan, Anna mengikat tali sepatunya dan menaikkan kaos kaki putihnya dibawah roknya yang cukup pendek itu. Sambil menunggu, Dwi pun memperhatikannya, namun itu membuat Anna merasa aneh.
“Apa yang kau lihat?” tanya Anna.
“Hmm… tidak ada. Aku hanya sedikit heran dengan dirimu yang seolah-olah menikmati wujudmu sebagai Joshi
Kousei sekarang.” ujar Dwi dengan mengutip istilah ‘siswi sekolah’ dalam Bahasa Jepang.
“Apa? Siapa bilang aku menikmatinya, hah?” teriak Anna dengan pipi memerah.
Dwiana, meskipun dia dikenal sebagai mahasiswi pendiam dan cukup serius dalam belajar, namun dibalik itu dia dikenal sebagai seorang ‘wibu’, penggemar kultur jejepangan yang up to date. Hampir setiap event di dekat kota tempat tinggalnya ia hadiri. Apalagi jika ada klub idol favoritnya, sudah pasti Dwiana datang sambil membawa dua buah lightstick legendanya. Makanya tidak heran kalau dia tahu istilah-istilah bahasa Jepang seperti itu.
Mereka pun akhirnya pulang menuju asrama mereka. Tepat di sebuah lorong dekat perpustakaan mereka berpapasan dengan seorang siswa senior berambut putih. Awalnya mereka tak mempedulikannya sampai ia membisikkan sesuatu ke telinga Anna.
“Akhirnya sang penyelamat telah datang,”
Anna berbalik padanya karena terkejut, tetapi siswa itu seolah-olah tak peduli dengan terus berjalan meninggalkan mereka.
“Ada apa, Anna?” tanya Dwi.
“Uh… Tidak ada,” jawab Anna.
Anna bingung dengan apa yang dibisikkan oleh siswa tadi itu. ‘Sang Penyelamat’, maksudnya apa, dan siapa dia?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments