Rencana paman, larangan masalalu Fikra

"Rencana mu apa sekarang?" Tanya pamannya terlihat gusar melihat tingkah Fikra.

"Kau tahu, penyakit itu kapan-kapan bisa datang dan tanpa disangka, memang nya kau bisa hidup normal dengan cara seperti itu? Siapa yang akan lebih peduli dari paman dan Ayah?" Karena khawatir pamannya sengaja terus mendesak Fikra.

"Aku tidak bisa melakukannya lagi paman, sungguh. Biarkan aku hidup dengan cara ku. Aku tidak mau menjadi manusia yang benar-benar tidak bisa memiliki apapun kau tahu kan bagaimana itu rasanya?" Fikra terus bersikeras mempertahankan apa yang sebenarnya dia inginkan.

Paman lebih gelisah dan khawatir dari siapapun, dia yang sudah merawat Fikra dia juga yang melakukan terapi itu, dan konsekuensi benar-benar membingungkan.

Fikra tampak berdiri, matanya jauh menatap ke luar jendela kamar. "Aku sudah tidak memiliki apapun paman. Kau ingin menjadikan ku ini boneka?" Fikra terus bicara tanpa henti, menyerang mental pamannya saat itu. Setidaknya Fikra harus berhasil dan melewati terapi yang harus dilakukannya sekarang.

"Kau tahu ayah mu itu bagaimana? Aku sungguh tidak bisa menangani kalian berdua lagi." Ucap pamannya.

"Lupakan saja, atau kau bilang pada ayah jika aku sudah melakukan terapinya dan sembuh. Kau bisa bicara seperti itu kan?" Fikra terus mengecoh.

Pikirannya memang tidak salah, dengan begitu Fikra bisa keluar bebas dan pamannya juga mungkin tidak perlu memaksakan sebuah kehendak yang dia sendiri tidak bisa menjamin jika terapi terakhir bisa menyelamatkan Fikra.

"Aku akan mengatakannya." Ucap pamannya.

Mendengar itu Fikra hanya bisa tersenyum. "Aku harus pergi dari sini, kau bisa membantu ku pergi kan?" Kemudian Fikra meminta sesuatu dari pamannya lagi.

"Apa yang kau katakan lagi? Sebenarnya kamu mau kemana? Ayahmu melarang mu pergi kan?" Pamannya kembali mengingatkan Fikra prihal masalah itu.

"Paman pergi saja dengan ku, dengan begitu ayah akan mengizinkannya kan?" Tawar Fikra memberikan sebuah pilihan.

Pamannya berpikir sebentar, apa yang dikatakan Fikra memang masuk akal jika dia pergi bersamanya tidak perlu merasa khawatir lagi karena dia bisa secara langsung mengawasi Fikra.

"Akan aku pikirkan lagi." Jawab pamannya singkat. Hatinya benar-benar dilema, Fikra jauh dari jangkauannya, bukan lagi seorang anak remaja yang bisa diyakinkan dengan kata-kata biasa, dia sudah dewasa dan ingin hidupnya sendiri. Itu sangat wajar.

"Aku akan menelpon ayah!" Ucap Fikra sambil keluar dari kamar. Di dalam kamar pamannya hanya bisa duduk menunggu dengan bimbang. Rasa cemas sudah tak terukur, dia bisa tidak waras jika terus mengurusi Fikra dan ambisi kakaknya itu. Jika saja bisa lebih baik Fikra benar-benar tinggal bersamanya karena di sana dia akan mendapatkan apa yang Fikra mau, setidaknya tinggal di sana membuat kemungkinan menjadi kecil, tidak mungkin Fikra bertemu dengan masalalu nya lagi.

Setengah hati pamannya mulai sadar, pasti ada suatu pemacu yang membuat pikiran Fikra menjadi tak terkendali seperti itu, Fikra bersikeras dan keras kepala. Dia seperti sedang ingin mencari tahu sesuatu.

Tak sengaja sudut mata pamannya menangkap layar monitor komputer yang masih terdapat lampunya berkedip beberapa kali. Jika saja benar komputer itu masih menyala.

Entah apa yang dipikirkan saat itu, pamannya berjalan dan duduk di kursi, matanya fokus menatap monitor kemudian tangannya menahan beberapa kali tombol di keyboard. Hingga layar komputer benar-benar menyala.

Sampai di sana perasan lain muncul, mengapa tampak sedikit mencurigakan, dia penasaran dengan pekerjaan yang dilakukan Fikra sampai dia memiliki perasaan seperti tadi.

Fikra cukup ceroboh, dia meninggalkan beberapa file yang tidak ditutupnya terlebih dulu. Salah satu file bisa dibuka dan itu hanya menampilkan foto-foto yang tidak dikenal mungkin orang lain.

Pamannya masih duduk, dia juga cukup was-was karena takut Jia Fikra tiba-tiba datang. Tapi benar-benar tidak Masalah kan jika Fikra datang dia tinggal mengatakan bosan lalu tak sengaja menghidupkan komputer.

Dan pemandangan yang tak disangka muncul, sebuah foto buku yang beberapa kali muncul dari mesin pencarian. Tampak matanya langsung melebar, bukanlah benda asing lagi atau sesuatu yang tidak diketahuinya. Ketika sekilas melihat dia bisa tahu apa benda tersebut.

Ekspresi paman langsung berubah, tingkat kekhawatirannya terus menjadi-jadi, dan tekad terakhir sebagai jalan keluarnya dia harus melakukan terapi itu, jangan sampai jika Fikra kembali menyentuh buku itu dan membukanya. Cukup kelam dan membutuhkan waktu lama untuk bisa membuat Fikra seperti sekarang.

"Paman sedang apa?" Tanya Fikra ketika dia langsung masuk ke dalam kamar. Matanya menangkap jika pamannya sudah menyentuh mouse dan tampak melamun.

"Oh, tadi aku penasaran apa yang biasanya kamu kerjakan dalam komputer ini. Sepertinya kau terus mengawasi orang-orang asing." Ucap pamannya terdengar santai saat itu.

Sebaliknya Fikra tampak lebih cemas, dia langsung berjalan dan mematikan komputer terlihat sekali jika Fikra tidak akan mengizinkan siapapun yang menyentuh komputer itu.

"Apakah hobi mu sekarang penasaran dengan orang lain? Kau sedang melakukan sesuatu dengannya?" Pamannya balik bertanya. Sikap paman langsung berubah saat itu. Fikra diam saja dan tak menjawab, dia sudah bisa menebaknya mungkin sekali paman melihat foto-foto Faraz. Tapi jika dipikirkan lagi itu hanya foto tidak ada yang aneh.

"Gak penting, paman jangan asal menyentuh komputer ku ini, itu pekerjaan ku sekarang." Ucap Fikra.

"Aku sedang sibuk hari ini, paman sampai jam berapa di rumah?" Fikra tampak menjadi tidak nyaman dengan kedatangan pamannya saat itu. Bahkan sekarang secara tidak langsung dia berharap agar pamannya cepat pulang.

Buaakkk...

Sebuah pukulan keras tepat menempa kepala Fikra, sampai dia diam dan mulutnya terbuka lebar. Benturan benda tumpul seperti itu sudah cukup membuat dia tidak bisa berkutik, sebentar lagi hanya hitungan detik kesadarannya akan hilang dan sangat terpaksa.

Di tengah kesadarannya yang mulai hilang, tubuh Fikra benar-benar lemas bahkan mungkin sekarang dia akan pingsan. Fikra melihat pamannya sedang memegang tongkat baseball yang mungkin didapatkan di belakang pintu kamarnya.

Entah apa yang dipikirkan paman saat itu, satu detik kemudian pamannya langsung berubah bahkan sekarang nekat membuat Fikra pingsan dengan cara seperti itu.

"Kau merepotkan sekali." Ucap pamannya setelah melihat Fikra tersungkur jatuh ke lantai dari atas kursi.

Ekspresi pamannya hanya biasa saja, tidak terlihat sedikitpun dia meras bersalah setelah melakukannya. Bahkan paman keluar menemui salah seorang penjaga mengatakan jika Fikra ada di dalam kamar dan harus segera dibawa ke dalam mobil bersama untuk melakukan terapi lagi.

Tak terlewatkan paman Fikra juga menghubungi ayahnya Fikra, dia mengatakan akan melakukan terapi itu dan sudah akan berangkat. Namun tidak dibicarakannya dengan cara apa dia membawa Fikra.

Setidaknya satu kekhawatiran harus segera dihapus sebelum terlambat. Pantas saja Fikra kembali jatuh dalam delusi yang sama, kejadian masalalu telah memicunya kembali. Dan itu tidak mungkin dibiarkan, bahkan cara apapun harus dilakukan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!