Delusi Fikra.

"Anak aneh... Anak aneh ..." Ejekan yang mereka lontarkan dengan percaya diri, rasanya akan ku robek satu persatu mulutnya hingga terputus sampai tampak rahang yang menganga lebar, dan darah akan membanjiri seluruh badannya.

****

Fikra berjalan di antara orang-orang di sana. Dia sedikit menjauh dari kantornya saat itu, bukan karena takut oleh Selly, dalam situasi yang sama Selly juga tidak akan berani mengadu pada Pak Min atau yang lainnya.Selly melakukannya lebih dulu, orang akan menganggap jika itu adalah salahnya karena sudah memberikan contoh yang tidak baik.

Fikra segera menjauh dari orang-orang ketika pikirannya mulai berubah. Dia tidak cukup stabil untuk mengendalikannya, emosi yang bisa berlebih bahkan entah apa yang akan dilakukannya tadi.

Sesuatu membuat Fikra tidak tenang. Kata-kata yang muncul, terdengar lagi suara anak kecil yang berbicara sadis, dan yang paling disesalkan dia ingat betul bagaimana pengalaman itu pernah dilakukannya. Pengalaman tak terlupakan seumur hidup, dia pernah membuat tangan dan badannya penuh darah namun sampai sekarang dia tidak tahu mengapa dirinya ada dalam keadaan seperti itu.

Langkah kaki Fikra mulai limbung, bahkan tubuhnya sengaja ia tabrakan ke pinggir pagar rumah milik orang lain hingga dia tersungkur jatuh. Perlahan dia mengatur napasnya, berulangkali melafalkan sebuah sugesti berulangkali. "Kau baik-baik saja, kau tidak bersalah, kau baik-baik saja, kau tidak bersalah." Gumam Fikra pada dirinya sendiri.

Ketika matanya menyipit melihat ke sekitar tampak semuanya seperti berputar perlahan, pandangannya buyar bahkan Fikra tidak yakin dia bisa berdiri tegak saat itu. Kedua tangannya tampak langsung gemetar, Fikra melihatnya dengan jelas, bahkan dia merasa keringat dingin tidak bersahabat dengan tubuhnya.

Mengapa harus dalam situasi yang tidak mendukung seperti ini, harusnya dia kembali ke rumah kan. Ketika berpikir untuk pulang Fikra membayangkan sebuah buku yang pernah dipegangnya itu, buku tampak terbungkus dengan kotak yang terkunci, kemudian dia membuka kunci buku itu.

Tampak linglung, Fikra tak tahan dengan ingatan yang bertubi-tubi datang saat itu. Dia langsung meraih hp nya dengan tangan gemetar mencoba menghubungi seseorang di balik telpon.

"Ayah, cepatlah datang!" Ucap Fikra kemudian dia menjatuhkan tangannya. Sekarang tangan kanannya benar-benar tak bertenaga, sulit sekali untuk diangkat bahkan sekedar bergerak sedikit saja itu sangat sulit.

Fikra menyerah, dia melihat ke sekeliling dan memastikan jika tidak akan pernah ada orang yang dia kenal melihatnya dalam kondisi seperti sekarang.

Fikra akhirnya memilih duduk di pinggir pagar sambil menundukkan wajah. Tidak perlu khawatir ayahnya akan sigap datang menemuinya kan, dia tahu itu. Hanya 5 menit dia harus menunggu duduk di sana, cukup dengan wajah tertunduk.

5 menit berlalu, sebuah mobil terparkir tepat di depan Fikra. Dia orang muncul dan memboyong tubuhnya ke dalam mobil.

"Kau baik-baik saja?" Ucap seseorang yang duduk di depan.

Fikra hanya bisa sedikit menoleh tanpa mengatakan apapun. Dia tahu jika itu adalah suara ayahnya yang datang.

Tak lama dari perjalanan hanya butuh sekitar setengah jam akhirnya Fikra Samapi di rumahnya saat itu.

"Bawa dia ke kamarnya saja, panggilkan dokter pribadi dan hubungi Pamannya!" Perintahnya pada seseorang.

Fikra benar-benar tak berdaya saat itu, tubuhnya lemas bahkan satu langkah pun tidak bisa dia gerakkan.

"Sudah tahu sekarang jadwal mu untuk terapi lagi, kau masih tetap saja datang ke kantor itu." Gerutu ayahnya tampak marah.

Benar, Fikra mengalami delusi yang berlebih, bahkan dia sering mengatakan hal-hal di luar nalar pada ayahnya. Membicarakan apapun yang dia lihat kemudian mulutnya membisu ketika dia melihat dirinya sendiri yang berlumuran darah seperti yang dipikirkannya.

Tak lama ketika berbaring di atas kasur muncul seorang dokter yang langsung melakukan pemeriksaan padanya. Sedangkan Ayahnya keluar menemui seseorang.

"Kau perlu dirawat di rumah sakit, setidaknya sampai hal itu tidak lagi muncul. Tekanan darah mu saja saat ini sangat tinggi, bahkan suhu tubuh langsung naik." Dokternya menjelaskan.

"Apa kau juga tidak tidur semalam?" Tanya nya pada Fikra yang tanpa respon darinya itu.

Dokter melihat Fikra penuh cemas, apalagi dia yang sudah merawatnya sejak kecil. Fikra benar-benar tersiksa ketika dia sendiri harus sekuat tenaga melawan diri, berusaha menekan delusi yang tidak mudah ditenangkan dengan dibiarkan saja.

Dokter sangat mengkhawatirkannya, namun tidak ada cara untuk membuat ayahnya setuju dengan perawatan medis semata. Mau bagaimana lagi hanya bisa merespon sebuah obat penenang dan menyuruhnya untuk tetap beristirahat di rumah setidaknya dalam waktu paling sedikit 3 hari ke depan.

"Kau tidak ingin bicara kali ini?" Dokter itu tampak bersikeras ingin membuat Fikra bicara lagi padanya. Tapi tak berhasil, kali ini Fikra tetap bungkam.

"Setidaknya hubungi aku saja jika ada apa-apa, ayo kita bicarakan berdua saja." Ucapnya sebelum keluar dari kamar Fikra. Matanya kembali menoleh ke arah Fikra sebelum dokter benar-benar keluar dari kamar itu.

"Anakku baik-baik saja kan?" Tanya orang tua yang tampak lebih muda dari usianya saat itu.

"Setidaknya dia harus dirawat di rumah sakit, bicarakan dengan dokter ahli psikolog nya." Ucapnya terdengar gusar.

"Sekarang kau boleh pergi!" Kata-kata dokter tidak menjadi solusi, seperti biasa ayahnya sudah membawa pamannya untuk datang dan menemui Fikra saat itu.

Setelah mendengarkan kata-kata dari ayahnya tadi, dokter benar-benar pergi tanpa mengatakan hal apapun yang hanya membuatnya terasa sia-sia. Padahal Fikra benar-benar membutuhkan medis, tapi biarkan saja dia hanya bisa menolongnya sampai cara itu.

Di dalam kamar Fikra masih belum sepenuhnya sadar. Dia masih berjuang untuk memulihkan tubuhnya. Setidaknya dia harus tenang.

Pintu terdengar dibuka, saat itu dia orang muncul masuk ke dalam.

"Kau bisa membuat anakku untuk benar-benar melupakannya?" Tanya ayahnya.

"Apa yang kau katakan? Dia sekarat seperti itu, dan cepatlah kau butuh medis untuk kasus ini." Pamannya bicara dengan setengah marah.

"Aku tidak bisa benar-benar mempertaruhkan reputasi ku, bagaimana kabar akan tersiar di media masa jika anak dari seorang anggota dewan mengalami depresi berat. Kau tahu bayarannya apa dari hal itu?" Tampaknya solusi yang sama tidak cukup masuk dan bisa mudah diterima.

Paman tampak menghela napas, matanya fokus melihat ke arah Fikra. Padahal sudah beberapa tahun ini Fikra tidak mengalami hal yang sangat sulit, kecuali dia benar-benar sedang dekat dengan roh itu.

"Apa kesibukannya akhir-akhir ini?" Tanya pamannya.

"Dia seorang polisi di kota ini." Ucap ayahnya tak santai.

"Kau tidak boleh membuatnya terlalu banyak keluar dari rumah, kau sudah tahu kan resikonya apa?" Pamannya kembali emosi mendengarkan hal itu.

"Apa yang bisa ku lakukan, dia memilih sendiri jalannya dan kau tahu kan jika dia tidak boleh mengalami emosi yang berlebih lagi. Kondisinya belum sempurna pulih." Terdengar membingungkan sekali, memang benar seperti itu namun jika ada dalam situasi yang membahayakannya apa bedanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!