Merasa Aneh

Aroma melati kembali menyapu hidungku. Aku tidak ingin terlalu banyak berpikir, jadi aku memilih mengabaikan semuanya. Hari ini, aku dan Mas Bagas sepakat untuk melakukan rapat meskipun hanya berempat dengan Pak Bisma dan Mbak Tati. Aku juga sudah menyampaikan rencanaku hari ini kepada Mbak Tati.

Setelah sarapan dan bersiap-siap, kami berkumpul di ruangan Pak Bisma. Aku membuka rapat sebaik mungkin. Pertama-tama, aku menanyakan tentang aliran keuntungan Hotel kemana karena selama ini aku tak pernah merasakan harta kekayaan ayah.

"Sebenarnya semua keuntungan bersih hotel, Pak Juna amanahkan untuk dimasukkan ke rumah sakit, rumah ibadah, dan panti asuhan," ucap Pak Bisma menjelaskan.

"Mengapa ayah tidak mengambil untuk dirinya sendiri?" tanyaku.

"Saya juga kurang tahu, Bu. Karena dari awal beliau pindah ke kota, itu amanahnya tiap bulan," jawab Pak Bisma.

Aku mengernyitkan alis malas dan merasa tertekan dengan ulah ayah. Bahkan saat kami hanya punya nasi dan garam saja setiap hari untuk dimakan, ayah tidak pernah mengambil sepeserpun. Meskipun ayah akan di kenal sebagai orang dermawan, namun dia sangat dzolim terhadap keluarganya.

"Benar-benar membuatku kesal," gerutuku.

"Mulai sekarang, semua keuntungan hotel berikan kepada kami," ucap Mas Bagas mengambil alih. Aku hanya menatap Bagas pelan.

"Tapi, Mas. Ini amanat yang kami jalankan dari Pak Juna sudah bertahun-tahun," kataku.

"Ayahku sudah meninggal, Mbak. Dia sudah bersatu dengan tanah," ucapku semakin kesal.

Mbak Tati dan Pak Bisma hanya bisa diam dan mengangguk pelan. Aku merasa bersalah telah bertindak tidak sopan kepada mereka berdua. Namun, apa boleh buat. Alasan saya kemari adalah untuk mengubah hidup saya. Saya ingin menjadi bos dan kaya raya.

"Aku juga akan menambah pekerja agar Mbak Tati dan Pak Bisma bisa bersantai."

"Tetapi, Bu, hotel ini tidak boleh memasukkan pegawai," ucap Mbak Tati. Namun, Pak Bisma segera minta maaf untuk kelancangan Mbak Tati. Aku hanya menaikkan alis sebagai respon.

Kami pun meninggalkan ruangan dan berjalan ke lobby. Saya sudah menuliskan lowongan pekerjaan di depan pintu hotel. Tetapi orang-orang hanya melewati hotel dengan acuh tak acuh, padahal, saya telah menuliskan jumlah gaji yang menjanjikan.

Saya sengaja duduk di depan dan menunggu yang ingin datang interview kerja, tetapi sampai sore hari tidak juga siapa-siapa datang.

Saat akan masuk ke rumah, tiba-tiba seorang pria menghampiriku.

"Itu masih buka tidak lowongan kerjanya?" tanya pria tersebut.

"Masih kok, Mas."

"Silakan masuk dulu untuk membicarakan kontak kerja."

Langkahku dan pria itu malah dihentikan oleh teriakan seseorang dari belakang.

"Kamu kenapa malah kesini untuk cari kerja tuh, Nak?" Aku bisa melihat bahwa itu adalah ibunya.

"Aldo ingin membantu ibu untuk menghasilkan uang, Bu," jawabnya berusaha meyakinkan.

"Ibu tidak peduli, Nak. Kita hidup pas-pasan, tapi ibu tidak mau kehilangan kamu," ucap ibunya sambil menangis histeris.

"Ayok Nak, kita pulang. Hotel itu terkutuk."

"Mohon maaf, Bu, apa hubungannya dengan hotel saya?" ucapku mulai kesal.

"Mbak harus segera pergi dari hotel itu, sebelum bernasib sama dengan yang lain," ucapnya sembari menarik anaknya pergi. Sedangkan, anaknya hanya bisa menatap ke arahku dengan sedih.

Aku masuk ke hotel dengan kesal dan mengamuk. Mbak Tati yang melihatku langsung berjalan menghampiri.

"Ada apa, Bu? Kenapa kelihatannya kesal begitu?" tanya Mbak Tati.

"Gimana gak kesal, ada ibu-ibu bilang hotelku terkutuk," kataku.

"Padahal aku sudah sangat baik, mau memberikan pekerjaan kepada anaknya," kataku lagi.

"Istighfar, Mbak. Berhentilah mengoceh," kata Mbak Tati sambil menggenggam tanganku. Saya merasakan rasa khawatir dari ucapannya yang terdengar gemetar.

"Ibu sebaiknya naik ke atas karena sudah malam. Sebelum ke kamar, sebaiknya ambil makanan supaya tidak keluar kemana-mana kalau sudah malam ya," kata Mbak Tati. Aku bisa merasakan khawatir dari suaranya.

"Baik, Mbak."

Aku yang sedang kesal tidak berniat untuk banyak bertanya lagi. Saya tidak ingin menambah beban pikiran hari ini. Tepat pukul 6 malam, Mbak Tati dan Pak Bisma meninggalkan hotel. Sementara itu, aku juga sudah mengambil makanan.

"Loh, kok membawa banyak makanan begitu, Sayang?" tanya Mas Bagas melihatku yang agak kesulitan membawa banyak makanan.

"Tolong bantu dulu, Mas," jawabku.

Mas Bagas pun sigap membantuku. Saya lalu menjelaskan tentang perkataan Mbak Tati tadi sebelum pulang.

"Ah, padahal kita bisa makan di bawah, Sayang. Apalagi tadi malam, aku belum makan apapun. Malah kamu suruh balik ke kamar," cerocos Mas Bagas.

"Gimana gak, Mas. Kamu membuat darahku tinggi, malah pejantan dengan perempuan lain," kataku dengan nada kesal.

Mas Bagas hanya bisa tersenyum melihatku kesal.

Kami pun duduk di balkon, menikmati udara malam yang sejuk. Aku lalu menceritakan tentang ibu-ibu yang mengatakan bahwa hotel ini terkutuk.

"Itu hanya alasan si ibu, Sayang. Supaya anaknya tidak kerja di sini," kata Mas Bagas.

"Tapi anak itu kelihatan sangat butuh uang," balasku.

"Kita tidak tahu, Sayang," ucap Mas Bagas.

"Aku menjadi lebih tenang di samping Mas Bagas. Tepat pukul 8 malam, kami bisa melihat begitu banyak orang yang datang masuk ke dalam hotel. Pakaian mereka sangat rapi dan mewah.

"Orang-orang kaya itu, dari mana ya asalnya, Mas?" tanyaku.

"Kenapa, kalau siang hari, mereka tidak ada muncul sama sekali?" saya penasaran.

"Orang kaya kan memang seperti itu, Sayang. Siang kerja, dan malam menghabiskan uang," ucap Mas Bagas.

"Umm, iya Mas. Ternyata, alasan uang, hotel sangat banyak, Mas," ucapku.

Dibalik itu semua, saya masih merasa aneh tentang asal-usul para tamu yang menurutku mencurigakan.

"Tapi, Sayang, sebenarnya Mas bingung tentang satu hal?" ucap Mas Bagas.

"Bingung kenapa, Mas?" tanyaku.

"Kenapa ayahmu menyembunyikan kekayaan yang berlimpah ini?" ucap Mas Bagas.

"Hmm, aku juga bingung, Mas," balasku.

Udara dingin mulai merayap dibalik celah-celah malam. Jadi, Mas Bagas segera memintaku untuk masuk ke dalam kamar, dan dia akan menghabiskan rokoknya lebih dulu.

Di dalam kamar, entah mengapa aku masih ingat betul ibu dari siang tadi yang sangat cemas dengan anaknya. Dia mengatakannya dengan tulus. Aku akhirnya semakin bingung dengan semua ini. Mulai hari ini, aku akan mencari tahu tentang hotel milik ayahnya. Jika tidak menjanjikan atau tidak menyebabkan bahaya untuk orang lain, aku akan segera menjualnya.

Tetapi kalau difikir-fikir, uang dari hotel ini dalam satu minggu saja bisa membuatku berhasil membeli banyak barang, termasuk mobil dan juga rumah. Aku tidak akan direndahkan lagi oleh para tetangga di kota dan aku bisa bergabung dengan kelompok sosialita kota.

Lama rasanya aku bermimpi, tetapi Mas Bagas tak kunjung masuk ke kamar. Aku pun langsung menyusul keluar.

"Mas............ "

"Mas..... Apa yang kamu lakukan?"

Mas Bagas berhasil membuatku sangat syok.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!