Lantai 5

Suara lembut memanggil telingaku dengan sangat sopan, namun isinya membuatku syok.

"Kak, kami sudah mati." Ucap Gadis berkepang dua sebelum akhirnya berlari menjauh.

Mbak Tati, yang melihat perubahan wajahku, langsung bertanya, "Ada apa dek?"

"Emm, tidak ada apa-apa, Mas. Aku mau ke toilet dulu yaa." ucapku mencoba menenangkan diri.

Akupun berjalan perlahan tetapi berpapasan dengan seseorang yang sepertinya ingin ke toilet juga.

"Mbak baru ya disini," ucapnya berbasa-basi. Aku pun terkekeh dan menjawab iya. Dia melirik ke arah belakang dan menunjuk Gadis berkepang dua tadi. "Dia anakku, Mbak. Dia sangat nakal. Kalau dia mengomongkan hal-hal aneh, jangan didengarkan. Anak saya memang seperti itu." Dia menjelaskan sambil menatap ke arah Gadis tadi yang berada di sekitarku tadi.

"Anak ibu baik kok, dia juga sangat ceria,"ujarku sembari menepuk bahunya. Kami berdua berjalan beriringan menuju toilet. Tak lama kemudian, dia mengatakan akan pergi lebih dulu, karena takut anaknya berbuat ulah jadi tinggalah aku seorang diri di dalam toilet.

...

"Kamu yakin anak itu bisa bertahan malam ini?" Hartati menatap lurus ke depan. Sedangkan Bisma hanya terdiam dengan hati yang sangat kecut.

Mereka adalah sepasang suami istri yang sejak awal mereka menjaga Hotel 27.

"Aku yakin, karena dia tidak sendirian, adanya juga suaminya," jawab Bisma.

"Tapi suaminya terlihat sangat lemah, Mas," ucap Tati memprotes.

"Aku ragu," ucapnya.

"Lah, mau gimana lagi dek? Kita juga tidak bisa berbuat banyak. Toh, mereka juga datang tiba-tiba padahal Pak Juna sudah menyembunyikan hotel ini agar tidak diketahui oleh keluarganya."

Sepasang suami istri ini saling berdiam, mereka memikirkan hal-hal lama dan peristiwa-peristiwa masa lalu yang telah mereka alami selama bekerja di Hotel 27.

"Semua ini tidak akan terjadi, Mas. Andaikan Mas Juna tidak melarikan diri dari Sy...."

"Huts, jangan lanjutkan dek," sanggah Pak Bisma kepada istrinya. Tati langsung terdiam.

"Tidurlah dek, kita harap saja mereka berdua baik-baik saja."

...

Tiba-tiba lampu di toilet mati, nyala mati terus. Buru-buru aku membuka pintu dan hendak keluar karena merasa tidak nyaman. Saat akan melangkah keluar, aku merasa ada seseorang berada di belakangku, hawa dingin sangat mengganggu. Tanpa menoleh ke belakang, aku langsung keluar dari toilet dengan terburu-buru.

"Syukurlah, kali ini aku tidak berpapasan dengan apapun yang menakutkan. Meskipun Mas Bagas mengatakan semua hal yang aku alami adalah halusinasi, namun aku merasa semua ini sangat nyata," ucapku terus mengomel sebelum langkahku terhenti.

"Mas Bagas... ," aku berteriak kesal melihat Mas Bagas sedang berdansa dengan perempuan lain. Rasanya hatiku panas sekali. Aku langsung menghampiri mereka dan menarik Mas Bagas untuk kembali ke kamar. Meskipun Mas Bagas sempat menolak, aku terus menarik lengannya dengan sangat kuat.

"Ngak jadi makan bu?" tanya pelayan yang tadi menyambut kami.

"Tidak," jawabku cuek.

Sepanjang jalan di lift, aku terus menerus mengomeli Mas Bagas hingga di kamar. Seseorang merasakan cemburu jika baru saja ditinggal sebentar suaminya sudah memeluk wanita lain dengan tertawa.

"Benar-benar memuakkan," ucapku menghela nafas kasar.

"Maaf sayang."

"Kamu cantik kalau marah kayak gitu."

"Sini sayang, yaampun istriku lagi cemburu," Mas Bagas merayuku.

"Mas jangan kayak gitu lagi, aku cemburu," ujarku mendekap tubuh suamiku. Aku bisa merasakan aroma melati yang sangat kuat dari tubuhnya yang membuatku merasa pusing dan tidak nyaman.

"Tubuh Mas kok ada aroma melati sih?"

"Jangan-jangan gadis tadi kuntilanak lagi?"

"Astagfirullah sayang, ngucap ihhh."

"Mana ada krek cantik tadi kuntilanak," refleks Mas Bagas menutup mulutnya dan melirik ke arahku.

"Mas... ," aku langsung murka dan mencubit lengannya yang membuatnya meringis kesakitan. Tanpa memperdulikan Mas Bagas, akupun memilih segera tidur dan tidak memperdulikan rayuan dan omong kosongnya lagi.

...

Matahari masih malu-malu di ufuk timur, Hartati dan suaminya sudah membuka pusat hotel. Seketika, aroma busuk menyengat hidung keduanya. Namun, mereka terlihat sudah terbiasa, ditambah mereka sudah memakai masker. Keduanya pun membersihkan setiap sudut dengan telaten. Tepat jam 7 pagi, semuanya sudah bersih dan wangi.

"Mas, berapa pendapatan malam ini ya?"

"Ayok kita cek dulu, dek."

Mereka membuka brankas yang ditutupi kain hitam di bawah meja.

"Ada 50 juta, Mas."

"Jadi itu sebabnya menjadi lebih kotor," ucap Tati.

Mereka buru-buru membereskan uang tersebut, dan Pak Bisma menuju bank untuk melakukan penyetoran tunai.

Di tengah kesendirian, dia melihat anak kecil berkepang dua berjalan melambaikan tangan kepadanya, Hartati pun membalas lambaian tangannya dengan tersenyum.

Aku, yang baru saja keluar dari lift secara tidak sengaja, melihat interaksi antara mereka berdua.

Akhirnya, aku bisa tenang karena Gadis berkepang dua bukanlah hantu karena ibu Hartati juga bisa melihatnya.

"Selamat pagi bu," sapaku dengan sopan.

"Selamat pagi juga mbak," ternyata kehadiranku sudah divalidasi sehingga ia memanggilku "ibu." Aku langsung membayangkan aku menjadi kaya raya.

"Oh, Pak Bisma ke mana mbak?"

"Lagi pergi ke bank, bu."

"Sepagi ini?"

"Iya, karena bank di sini cukup jauh."

Meskipun aku bertanya-tanya tentang uang hotel, aku masih belum tertarik menanyakannya.

"Umm, begitu," ucapku merespon.

"Apakah di sini ada kendaraan, Mbak Tati?"

"Ibu mau kemana?"

"Ke supermarket, Mbak."

"Kalau tidak salah aku pernah melihat, tidak jauh dari sini. Aku malas bawa mobil, Mbak." ucapku cengengesan padahal aku tidak pandai mengemudi, hanya ingin memamerkan diri ke Hartati.

"Ada motor saya di halaman parkir, ibu bisa pakai ini."

Mbak Hartati kemudian memberikan kunci motornya.

"Bu, apakah Pak Bisma sudah memberitahu Anda tentang ini?" tanya saya.

"Memberitahu tentang apa, Mbak?" Balas Bu.

"Tentang larangan, Bu. Jangan lupa untuk memberitahukan suaminya bahwa jangan sekali-kali pergi ke lantai 5, Bu." Jawab saya sambil menunjukkan gerakan mengalihkan pandangan.

"Apa yang terjadi di lantai 5, Mbak?" Tanya Bu khawatir.

"Banyak lantai-lantai yang belum diperbaiki, Bu." Ujarku sambil memberikan gerakan yang mencurigakan. Saya hanya bisa menyetujui tanpa menanyakannya banyak, meskipun saya juga cenderung berpikir terlalu banyak.

Saya segera pergi untuk berbelanja, karena sejak kemarin saya sangat ingin minum minuman bersoda. Sepanjang jalan, saya menikmati udara yang segar dan kabut yang masih menutupi sebagian jalan di kejauhan. Saya berusaha melupakan semua kekacauan dan beban pikiran saya yang banyak.

Pada suatu pagi, bel berbunyi mengganggu Bagas yang masih sangat mengantuk. Meskipun begitu, bel terus berbunyi tanpa henti membuat dia sangat kesal.

"Sayang, bukalah pintunya dulu." Panggilnya.

"Sayang..." Panggilnya berkali-kali tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya, dia membuka pintu dan langsung sorot matanya melotot dan menyala sempurna seolah-olah menemukan semangat pagi.

"Maaf, Mas mengganggu pagi-pagi." Kata seorang perempuan dengan rambut pirang dan baju tidur tipis di hadapan Bagas.

"Ada apa, Nak?" Tanya Bagas dengan lembut.

"Kran air di kamar aku rusak, Mas. Aku tidak tahu harus minta tolong kepada siapa," ujar perempuan itu dengan nada manja.

Bagas setuju untuk membantunya dan pergi bersamanya. Dari percakapan mereka di lift, Bagas mengetahui namanya adalah Jasmine.

Setelah itu, Bagas membantu memperbaiki kran air Jasmine yang terlepas, dan dia juga membantu membersihkan kamarnya. Bagas berada di kamar Jasmine cukup lama, namun ketika Jasmine berusaha menggoda Bagas, dia segera menyadarinya dan memilih pergi.

Bagas keluar dari kamar Jasmine dengan perasaan bingung antara menyia-nyiakan kesempatan atau menyesal. Bagas melihat raut kecewa di wajah cantiknya. Saat dia akan menekan tombol lift, lampu lift padam, jadi Bagas memilih untuk naik tangga. Namun, tertera papan penutup di tangga dengan tulisan "PERINGATAN!!! Dilarang ke lantai 5." Tulisan itu ditulis dengan cat merah dan penuh penekanan.

Bagas heran karena Jasmine tinggal di lantai 5. Setibanya di lorong lantai 4, dia melihat sekeliling dan memastikan bahwa tidak ada orang agar tidak ada yang marah padanya. Untungnya aman, jadi Bagas kembali ke kamarnya dengan buru-buru.

Saat Bagas membuka pintu kamarnya, saya sudah menatap tajam dengan tatapan yang menusuk hatinya.

"Dari mana, Mas?" Tanyaku dengan mengatupkan pinggang dan melotot ke arahnya.

"Mas sedang mencari udara segar," jawab Mas Bagas dengan datar.

"Ya sudahlah, Mas Bagas juga tidak mungkin aneh-aneh di sini," gumamku dalam hati.

"Mas, kesini dong. Aku tadi belanja," ujarku sambil mengeluarkan barang belanjaanku. Mas Bagas terlihat antusias melihat banyak makanan ringan.

"Ohiya Mas, Mbak Tati tadi bilang jangan pernah naik ke lantai 5."

"Kenapa, Mbak?" Tanya Mas Bagas dengan antusiasme.

"Katanya, banyak kuntilanaknya," ujarku sambil bercanda.

"Kalau kuntilanaknya cantik, Mas mau aja," ujar Mas Bagas sambil menggoda. Namun, aku langsung mencubit lengan Mas Bagas kuat-kuat karena kesal.

"Bercanda sayang, memang tidak ada di lantai 5," kataku dalam hati.

Padahal Bagas tadi sudah ke lantai 5, namun semuanya terlihat baik-baik saja, hanya tangga dan lift nya yang bermasalah. Bagas tidak mungkin berani menceritakan sosok Jasmine gadis cantik di lantai 5. Sosok Jasmine membuat Bagas semakin penasaran sekarang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!