Hamilton's Mansion, Manhattan, NYC.
Jika biasanya Kayla saat shift pagi sudah bisa sampai ke rumah pukul tiga sore, tapi hari ini ia baru bisa sampai di mansion saat langit sudah mulai gelap. Ia mendesah lelah sebelum pintu SUV lamborghini urus palisade di bukakan oleh supir pribadi mereka.
Terlalu lelah, Kayla bahkan tidak sanggup untuk sekedar menyertir sendiri. Karena itu ia sekarang berada di salah satu SUV koleksi Bennedict.
"Terimakasih, Adam." ucap Kayla pada salah satu supir pribadi mereka.
Sedikit membungkuk sopan, Adam tersenyum, "Sudah tugas saya, Ms Keyla."
Dengan kaki yang terasa sangat pegal, ia mulai memasuki pintu mansion yang sudah di bukakan pelayan yang selalu siap sedia.
"Selamat malam, Ms Keyla." sapa pelayan sopan.
Keyla hanya membalas dengan sanggukan singkat dan seutas senyum lemah. Ia benar-benar sangat lelah.
"Sayang, kau terlambat pulang."
Sambutan dari Donna membuat Keyla mempercepat langkah untuk mendekat pada Donna yang seperti memang sudah menunggunya.
Keyla tersenyum saat menangkap raut wajah khawatir ibunya, "iya, mom. Hari ini ada kecelakaan beruntun, dan IGD sangat sibuk."
Mendesah lega, Donna membelai pelan sebelah bahu Keyla. Sebenarnya ia sangat ingin langsung memberikan pelukan untuk sekedar memberi sedikit kenyamanan, tapi Keyla yang baru pulang dari rumah sakit pasti akan menolak pelukannya dengan alasan kebersihan. Padahal, Donna tidak pernah mempermasalahkan itu.
"Iya, sayang. Mom baru saja menonton breaking news. Bahkan kabarnya ada beberapa jalan yang di tutup?" tanya Donna sambil membawa Keyla untuk langsung menuju lift.
"Iya, mom. Ada delapan mobil pribadi dan dua bus yang menjadi korban."
"Oh Tuhan. Itu buruk sekali." lirih Donna prihatin.
Keyla mengangguk setuju. Bahkan, hanya dengan mendengar cerita saja Donna sudah bisa membayangkan betapa butuknya kejadian tadi. Apa lagi ia yang menghadapi korban-korban langsung.
"Baik-lah. Sekarang kau mandi dan istrihat-lah sebentar, sayang. Mom sudah menyiapkan makan malam." pinta Donna sambil menekan tombol lift.
"Ok, mom. Aku mandi dulu." Keyla menjawab sambil masuk ke dalam kotak besi yang sudah terbuka.
"Iya sayang. Nanti jika Keleigh sudah pulang mom akan memanggil-mu."
Keyla hanya menjawab dengan anggukan singkat. Lantas pintu lift langsung tertutup.
Sampai di lantai tiga, tempat kamar-kamar pribadi pemilik rumah, Keyla langsung menuju kamar dan merogoh tas. Hari ini, setelah makan siang, lebih tepatnya setelah pasien-pasien tabrakan beruntun tiba, ia benar-benar belum sempat membuka ponsel.
Setelah masuk ke dalam kamar, Keyla membuka ponsel. Ada satu panggilan tidak terjawab, dan satu pesan dari Tristan. Ada beberapa pesan penting menyangkut rumah sakit. Keyla mendahulukan kepentingan rumah sakit. Ia membaca beberapa pesan dari perawat, dan beberapa pesan dari apoteker yang meminta konfirmasi resep obat.
Keyla mendesah pasrah saat ponsel-nya langsung mati kehabisa batrai, sebelum ia sempat membaca pesan dari Tristan.
Dengan langkah lelah, Keyla langsung melemparkan ponsel ke atas ranjang dan mulai melucuti bajunya. Ia ingin sejenak memejamkan mata di dalam bathtup berisi air hangat.
***
"Tadi pulang pukul berapa dari rumah sakit, Key?"
Di sela-sela memotong barbecue striploin dengan spring carrot buatan istri-nya, Bennedict bertanya. Ia memang baru keluar dari ruang kerja saat semua orang sudah siap di meja makan.
"Keluar dari rumah sakit pukul lima kurang lebih, dad. Dan sampai ke rumah pukul enam lebih karena jalanan sangat macet." jawab Keyla setelah menyesap wine di sela-sela menikmati daging grill panggang sempurna buatan Donna.
"Ada berapa banyak korban, sayang?" Donna ikut bertanya sambil menatap Keyla.
"Kalau tidak salah, ada sekitar delapan belas yang di bawa ke rumah sakit kita, mom." Keyla menjawab setelah selesai menghitung.
"Ada korban jiwa?" Kenneth ikut bertanya sambil meraih gelas wine-nya.
Keyla mengangguk. "Ada satu korban jiwa di tempat, dan satu lagi yang tidak tertolong saat di IGD, Ken." menjedah, Keyla membuang nafas panjang lalu melanjutkan. "Dan salah satu-nya sedang mengandung."
"Oh ya Tuhan. Kasihan sekali." lirih Donna merasa prihatin.
Tidak hanya Donna. Raut wajah Keleigh-pun langsung berubah iba. Sedangkan Bennedict seperti profesional yang sudah ribuan kali mendengar kabar seperti ini, ia hanya menggeleng singkat. Dengan Kenneth yang tampak tidak terganggu sama sekali dan langsung memasukkan potongan daging ke dalam mulut tanpa berkomentar.
"Apa parah? Maksut-ku, apa para korban yang masih selamat terluka parah, Key?" Keleigh bertanya dengan raut wajah ingin tahu bercampur ngeri.
Menggeleng singkat, seutas senyum Keyla terbit. Lantas menjawab, "Thanks God, hanya dua orang yang cukup parah tapi tidak berbahaya dan hanya butuh beberapa jahitan ringan. Sisanya hanya luka memar dan lecet biasa, Ke."
"Oh Thanks God. Semoga mereka cepat sembuh." Ujar Keleigh lega dan tulus.
Sebenarnya, selesai makan malam, Keleigh ingin meminta Bennedict untuk menyampaikan kabar bahagia-nya. Tapi ia merasa tidak etis untuk memberikan kabar bahagia di tengah cerita duka. Walau-pun para korban bukan kenalan apa lagi keluarga mereka tapi tetap saja, Keleigh merasa tidak pantas.
"Kau tadi pulang pukul berapa, sweetheart?" Bennedict bertanya sambil melirik pakaian Keleigh yang belum berganti.
Memasang cengiran malu, Keleigh menjawab, "baru saja sebelum dad turun ke ruang makan."
Bennedict mengangguk-anggukkan kepala paham. "Hmm ... Hari ini puas ya menguras uang-ku." sindir Bennedict sambil mengulum senyum.
Merasa tersindir, Keleigh mencebik lalu membalas, "uang dad tidak akan habis hanya karena ku pakai hari ini."
"Tetap saja kau terlalu boros, Ke." bukan Bennedict yang menegur, tapi dari suara datar Kenneth.
Langsung menundukkan kepala, "maaf. Aku berjanji ini yang terakhir kali-nya." Keleigh berguman lirih karena takut, tapi tetap tidak menyesal.
"Jangan berjanji jika tidak mampu kau tepati." cibir Kenneth dengan tajam.
Melihat jika Keleigh sudah terpojok, Donna akan menengahi, tapi suara Bennedict lebih dulu terdengar, "sekali-sekali tidak masalah, Ken. Adik-mu sedang senang."
Mendengus kasar, Kenneth langsung membalik garpu dan meletakkan pisau makan-nya. "Dad selalu memanjakan-nya. Dia tidak akan pernah mencoba mengerti apapun jika dad terus seperti ini."
"Kenneth ...," Tegur Donna lembut.
"Demi Tuhan, Keleigh sudah dewasa tapi kalian tetap mengikuti segala keinginan-nya seperti dia masih bocah berusia lima tahu. Dia tidak pernah dewasa dan hanya bisa menghamburkan uang." lanjut Kenneth setengah mengeram.
"Kenneth!!" kali ini, Keyla ikut menegur dengan tegas. Sebelah tangan-nya dengan cepat mengusap punggung Keleigh yang sedikit menunduk, karena posisi gadis itu yang semakin menundukkan kepala.
Kembali mendengus kasar, Kenneth meraih gelas wine. "Baiklah-baiklah." ucapnya tidak peduli sebelum menyesap isi gelas.
Tangan Donna bergerak, langsung mengusap lembut sebelah bahu tegap Kenneth. "Sayang, jangan terlalu keras. Ok?" pinta Donna dengan lembut.
Kenneth hanya menjawab dengan anggukan singkat dan tidak peduli.
Setelah itu, meja makan hanya di isi keheningan hingga selesai.
Meletakkan napkin, Bennedict menoleh ke arah Keyla yang sedang mengusap anggun sudut bibirnya. "Key, setelah ini dad ingin bicara."
Menatap Donna sejenak, lalu akhirnya menatap Bennedict sambil mengangguk, "iya, dad."
"Setelah aku berbicara dengan Keyla, aku juga ingin berbicara dengan-mu, son. Jadi pastikan kau tidak sedang keluar sebelum kita selesai berbicara." ujar Bennedict sambil menatap Kenneth, lalu mengalihkan tatapan pada Donna sambil tersenyum, "bersama kau juga, sayang."
Kenneth hanya mengangguk. Sedangkan Donna langsung menjawab, "iya, sayang. Tapi setelah drama kesukaan-ku selesai, ya." pinta-nya.
Masih dengan senyum yang tercetak di bibir, Bennedict mengangguk. "Sure. Selesaikan saja dulu serial drama iblis tampan-mu itu, sayang."
Dan ucapan Bennedict berhasil membuat Keyla dan Donna terkekeh. Sedangkan Keleigh hanya tersenyum singkat, masih takut karena masih berada di sekitar Kenneth. Dan Kenneth hanya diam dengan berwajah datar khas miliknya.
***
Keyla dan Bennedict sudah duduk berdua di dalam ruang kerja. Setelah mengambil sesuatu dari laci meja kerjanya, Benndict meletakkan apa yang ia ambil ke atas meja.
Keyla melirik sebuah map coklat tanpa logo yang membuatnya penasaran, "ada apa, dad?"
Menyunggingkan senyum tipis, Bennedict memulai pembahasan. "Keyla, apa kau tahu jika aku dan ibu-mu akan selalu menyayangimu?"
Pertanyaan Bennedict membuat Keyla langsung mengangguk. Tentu ia tahu, bahkan sangat tahu. Selama ini memang apa yang bisa membuat Keyla berpikir jika Bennedict dan Donna tidak menyayangi-nya?
Membuang nafas panjang, Bennedict melanjutkan. "Apa kau tahu alasan yang membuat aku dan ibu-mu sangat memanjakan Keleigh, nak?"
Keyla kembali menggangguk. "Iya, dad. Aku tahu bagaimana kalian yang hampir kehilangan Keleigh saat baru lahir, dan bagaimana Keleigh bayi yang harus berjuang untuk selamat dari penculikan itu."
Bennedict mengangguk.
"Dan aku juga tahu kenapa dad tidak bisa marah pada Ke." ujar Keyla. "Karena Keleigh sangat mirip dengan mom-kan." goda Keyla, mengalihkan cerita agar Bennedict tidak terlalu lama kembali mengingat cerita kelam tentang Keleigh bayi. Kejadian yang membuat Bennedict dan Donna hampir kehilangan Keleigh jika saja Tuhan tidak memberikan kuasa ajaib-Nya.
Senyum di bibir Bennedict kembali tersungging tipis. "Keleigh memang manja dan sering kali egois. Tapi dia adalah putri-ku yang baik. Kalian putra dan putri-putri ku yang sangat membanggakan. Kalian mempunyai porsi masing-masing untuk selalu membuat-ku bangga dam beruntung karena memiliki kalian."
Merasa jika raut wajah Bennedict berubah, Keyla dengan gugup berpindah posisi duduk ke sebelah ayahnya. "Dad, ada apa?" tanya-nya dengan cemas.
Menggeleng singkat, Bennedict meraih kedua tangan Keyla ke dalam genggaman-nya. Lantas menatap Keyla dengan tatapan yang membuat Keyla entah kenapa menjadi sedih.
"Selama ini, Keleigh tidak pernah menginginkan dan meminta sesuatu dari kami. Dia tanpa protes selalu mengikuti dan menjalani segala aturan dan juga keinginan kami. Bahkan karena terlalu pengecut dan tidak ingin Keleigh berada terlalu lama di luar, ibu-mu tidak mengijinkan Keleigh untuk meneruskan pendidikannya agar bisa terus menghabiskan waktu berada di sisi kami."
Dengan perasaan sedih, Keyla berguman, "Dad ...."
"Secara tidak langsung kami-lah yang pengecut dan kekanakan, hingga membuatnya menjadi seperti sekarang. Aku dan ibu-mu tahu, jika Keleigh memang tidak dewasa dan bahkan egois. Tapi kami selalu tidak punya kuasa untuk memperbaiki, karena secara sadar kami tahu, kami yang membuatnya seperti itu. Dan yang terburuk, kami tidak pernah menyesalinya." sambung Bennedict dengan lirih.
Lekat-lekat, Keyla menatap Bennedict. Perasaan-nya semakin buruk. Seperti akan ada sesuatu yang sangat buruk sedang menunggu mereka.
"Tolong, dad. Sebenarnya ada apa?" Keyla bertanya dengan setengah memohon.
Selama hidup, Bennedict tidak pernah merasa se-pengecut seperti sekarang. Puluhan tahun ia memegang perusahaan hingga membuat perusahaan yang di bangun kakek-nya jadi mendunia seperti sekarang. Ia tidak pernah merasa jatuh seperti sekarang.
Menarik nafas panjang dan membuang nafas panjang sejenak, Bennedict menatap sendu Keyla. "Apa kau bersedia jika sekali lagi mengalah untuk Keleigh, nak?"
Dengan cepat tanpa kerguaan Keyla mengangguk dan langsung menjawab, "tentu saja, dad. Apa yang bisa-ku lakukan untuk Keleigh?"
Bibir Bennedict tersenyum miris, lalu menggeser amplop coklat ke depan Keyla.
Merasa cemas dan penasaran, Keyla menatap amplop dan Bennedict secara bergantian.
Lantas Bennedict mengangguk dan meminta, "bukalah, nak.".
Dengan gugup, Keyla membuka penutup amplop dan mengeluarkan isi. Foto. Yang membuat amplop coklat besar itu penuh adalah, ada banyak sekali foto dengan setiap foto yang memiliki tanggal tertera.
"I-ini ...," guman Keyla dengan tangan gemetar yang mencoba memasukan kembali foto-foto ke dalam amplop.
"Aku sering mengatakan, jika aku selalu mengetahui apapun tentang putra dan putri-putri ku. Termasuk hubungan kalian dari sepuluh tahun lalu."
Sebelum kembali untuk melanjutkan pembicaraan paling utama dan paling menyakitinya, Bennedict membuang nafas panjang.
"Keyla, Keleigh menginginkan dia." ujar Bennedict.
Jantung Keyla mulai berdegup nyeri. Menatap ayah-nya yang sudah menatap-nya dengan penuh permohonan dan penyesalan, "Keleigh menginginkan pria-mu, Key." sambung Bennedict dengan nada sangat pelan.
Tidak ada kata yang bisa Keyla ucapkan. Ia hanya terdiam sambil menatap kedua iris sebiru laut musim panas Bennedict.
Ketediaman Keyla membuat Bennedict merasa semakin buruk, tapi ia tidak akan menarik kembali segala keputusannya.
"Satu-satunya impian Keleigh adalah ingin menikah dengan Tristan."
"Kenapa, dad?" akhirnya, Keyla kembali bisa mengeluarkan suara. Meski arah pertanyaan itu entah menuju ke arah mana.
Apakah pertanyaan itu tertuju untuk alasan kenapa Keleigh bisa menginginkan kekasihnya. Ataukah yang terburuk, Keyla mempertanyakan kenapa ayah-nya begitu tega memintanya untuk memberikan pria yang selama sepuluh tahun ini secara diam-diam sudah menjalin hubungan dengan-nya.
Bennedict menjawab tanpa menatap Keyla. "Key, aku bukan sedang memaksa. Aku memang sedang meminta, tapi segalanya ada di keputusan-mu."
Tiba-tiba hati Keyla terasa hampa.
"Ini terakhir kali-nya aku meminta-mu untuk mengalah pada Keleigh. Tapi tetap, jika kau tidak bersedia, keputusan ada di tangan-mu. Dan aku tidak akan memaksa."
Tutup Bennedict. Untuk mengakhiri percakapan paling memberatkan selama hidup-nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Kaarimba
awal mula tragedi ni
2023-07-22
0
Tri Dikman
Adduuuhhh kenapa si bapak begitu ya,,kenap nggak mikirin perasaan key jg
2023-06-08
0
Akutanpanama
ohh keylaa aku padamu
2023-05-28
0